xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

Pilkada NTT dan Social Contract


Pilkada NTT dan Social Contract
(Oleh Wilson M. A. Therik & Ricky A. Nggili)


PEMERINTAH berasal dari persetujuan yang diperintah, demikian yang diajarkan oleh seorang pemikir liberalisme barat, John Locke (1632-1704), pada abad XVIII. Tidak saja membangkrutkan sistem pewarisan kepemimpinan politik praktis secara turun temurun yang pada masanya diakui sebagai yang tersahih, Locke pula mewanti bahwa barang siapa penguasa yang kemudian terbukti tak mampu, tidak mau, atau malahan ingkar pada kewajiban asasinya melindungi hak dan kebebasan dasar rakyat, maka ketidakmauan, ketidakmampuan, dan keingkaran semacam itu merupakan pembenaran bagi rakyat untuk melengserkannya.
     Pemikiran Locke mengilhami pula Rousseau (1712-1778) yang menyatakan bahwa kesepakatan masyarakat adalah dasar legitimasi kekuasaan di antara manusia (conventions form the basis of all legitimate authority among men). Karena eksistensi penguasa sesungguhnyalah berasal dari kesepakatan rakyat maka penguasa mempunyai tugas asasi melindungi hak dan kebebasan rakyat, sangat pemilik kekuasaan tertinggi. Pada saat yang bersamaan, sepanjang generasinya rakyat mempunyai hak untuk menerima atau menolak kekuasaan. Pada konstruksi pemikiran yang mendasari relasi normatif penguasa rakyat inilah paham perjanjian masyarakat menemukan relevansinya untuk direnungkan kembali di tengah semakin hangatnya suhu politik Nusa Tenggara Timur (NTT) menjelang serangkaian hajatan pemilihankepala daerah (Pilkada) yang akan digelar pada 2008 ini. Perlu diingat Pilkada 2008, merupakan Pilkada dimana masyarakat bertanggung jawab terhadap apa yang dipilih, sehingga kemajuan serta perbaikan merupakan tanggung jawab bersama, yang diawali dengan proses demokrasi dalam Pilkada.
     Dalam berbagai kesempatan yang mendahului berbagai pemilihan pejabat di Tanah Air, beberapa kalangan masyarakat mencoba mentransformasi ajaran perjanjian masyarakat menjadi suatu perjanjian konkret hitam-putih lengkap dengan materainya dan atau kertas segel sebagaimana perjanjian/kontrak yang kita kenal dalam kehidupan sehari-sehari. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah ada kepala daerah yang bertarung nantinya mau menandatangani perjanjian sosial dengan warga? Mereka yang menolak biasanya berargumen bahwa kewajiban untuk menandatangani perjanjian seperti itu tidak diatur dalam hukum. Akan halnya mereka yang menyetujuinya lebih melihat pada spirit perjanjian yang mengarah pada kebaikan yang telah menjadi common sense, tentu saja dengan segala skenario dan kalkulasi politik yang tak selalu diungkapkan. 


Kontrak Politik  
Dalam konteks politik, kontrak politik yang disusun untuk kemudian disodorkan oleh masyarakat dan partai politik terhadap calon kepala daerah barangkali adalah sesuatu yang dianggap wajar saja untuk dilakukan. Namun demikian, patutlah kiranya diingat bahwa perjanjian sosial sebagaimana dicita-citakan para teoritisi perjanjian masyarakat tidaklah dimaksudkan sebagai perjanjian dalam maknanya yang literal sebagai legal contract sebagaimana lazim dikenal dalam wilayah hukum keperdataan (private law). Kalaupun perjanjian semacam itu ada, maka ia tidak lantas serta-merta dapat disebut sebagai manisfestasi kesepakatan rakyat-penguasa dalam konteks rekrutmen calon kepala daerah.
     Dalam pemikiran Rousseau mensyaratkan adanya kontrak sosial dengan pemerintah. Baginya, Masyarakat memberikan mandat kepada pemerintah berdasarkan proses dan substansi kontrak sosial. Dengan demikian, menurut Rouseau, peran pemerintah adalah pada pelaksanaan keputusan-keputusan rakyat yang terungkap didalam kontrak sosial. Hal ini bertujuan untuk dipergunakan dalam membangun visi bersama, menuntut tanggung jawab dan konsistensi calon, serta menguji kapasitas dan integritas calon kepala daerah/ wakil kepala daerah. Pilkada merupakan suatu momen kotrak sosial yang menjamin hak dan kewajiban bagi pemilih disatu pihak, dan hak serta kewajiban para pemimpin dipihak lainnya. Dengan pengertian bahwa pemilih yang adalah rakyat memberikan kepercayaan kedaulatan kepada calon kepala daerah dan wakil, dengan keyakinan bahwa kedaulatan tersebut tidak akan disalah gunakan. Yang dituntut dalam kontrak sosial tersebut adalah moral, terutama sekali moral yang harus dimiliki calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Moral dalam menjalankan kewajibannya terhadap rakyat, sebagaimana yang disepakati dalam kontrak sosial. Dengan demikian kontrak sosial dapat digunakan sebagai sebuah kontrak politik antara rakyat dan kadidat kepala daerah/ wakil kepala daerah, yang nantinya dalam menjalankan fungsi masing-masing tetap secara moral menjalankan kehendak bersama.secara benar, serta bertanggung jawab. Rakyat akan menjadi penentu dalam pemilihan tersebut, namun bukan dikarenakan materi yang didapatkan (money politic, dan sebagainya). Akan tetapi dikarenakan kepastian dan tanggung jawab pemilih terhadap pilihan yang dipilihnya. Untuk itu dengan melakukan kontrak sosial, maka masyarakat dan kandidat akan bersama-sama menentukan perbaikan serta kemajuan yang diinginkan, asalkan kontrak sosial jangan jadi semacam “kontrak politik” yang hanya dilakukan untuk keinginan akan kekuasaan. Dalam melaksanakan kontrak sosial dibutuhkan suatu kontrol dari rakyat terhadap kandidat terpilih. Kontrol yang dimaksud adalah kon trol terhadap kesepakatan dalam melaksanakan kontrak yang telah dibuat. Kontrol ini yang harus dilakukan bersama oleh masyarakat. Sehingga proses demokrasi dapat terus berjalan seiring dengan jalannya kinerja pemerintahan daerah. Kontrol bersama menjad i suatu tanggung jawab dalam kontrak sosial yang harus dilakukan rakyat. Sehingga jaminan kemajuan daerah bukan hanya selesai diatas kertas, akan tetapi harus diaplikasikan dalam bentuk kinerja yang baik serta bertanggung jawab oleh kandidat terpilih.


Pilihan  
Bagi masyarakat, pilkada adalah momen untuk menimbang dan menentukan siapa di antara para kepala daerah yang pantas dijadikan pemimpin, calon mana diyakini bersedia mengabdikan dirinya untuk menyejahterahkan warga dan tak hendak mengambil untung dari jabatan yang akan diembannya. Bagi para calon, rangkaian pilkada adalah momen untuk meyakinkan warga bahwa merekalah pihak yang paling tepat untuk dipilih karena kapabilitas, kapasitas dan komitmennya untuk memenuhi apa yang menjadi komitmen warga menjatuhkan pilihan pada calon tertentu, pada saat itulah sebenarnya terjadi pertemuan kehendak antara warga dan calon, suatu perjanjian sosial yang meneguhtegaskan paham kedaulatan rakyat.
Oleh karenanya, sejak hari pertama menjabat sebagai kepala daerah harus memenuhi segala janji-janjinya saat berkampanye dengan segala hak dan kewenangan yang dimilikinya. Pada saat yang bersamaan para wakil warga diparlamen melaksanakan fungsi yang utama yakni mengawasi jalannya roda pemerintahan dan memastikan sang Gubernur dan Wakil Gubernur tidak melenceng dari apa yang pernah diperjanjikannya dalam kontrak yang telah disetujui warga. Sementara itu, warga tetap memiliki hak untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan melalui media massa dan aksi yang positiflainnya.
      Hasil penilaian warga akan menentukan keberlangsungan perjanjian kepala daerah dengan warga. Jika prestasinya dalam memenuhi perjanjian memuaskan, bisa jadi seorang kepala daerah akan dipercaya kembali dalam pemilihan berikutnya. Jika tidak, warga akan meninggalkannya dan mencari alternatif pemimpin baru sebagai gantinya. Bahkan, jika seorang kepala daerah nyata-nyata mengingkari kewajibannya sebelum masa kepemimpinannya usai, ia akan dianggap menyalahi perjanjian yang dapat mengakibatkan batalnya perjanjian tersebut dan diberhentikannya ia dari jabatannya sebagai kepala daerah saat itu juga.
      Dalam konteks hajatan Pilkada yang akan mewarnai NTT pada 2008 ini, menjadi penting untuk memaknai hakikat pilkada sebagai perjanjian masyarakat sebagaimana diuraikan di atas sehingga warga tidak sesat atau disesatkan dalam memilih tawaran perjanjian dari para calon kepala daerah yang hendak dipilihnya. Informasi, track record, maupun kritik tentang para calon berikut tawaran pe rjanjian perlu seluas-luasnya dibuka dan diwacanakan, sesuatu yang menuntut peran aktif warga yang berkesadaran dan media yang pro publik. Dengan demikian, masyarakat tidak akan mudah terbujuk untuk memilih kepala daerah yang tawaran perjanjiannya tak lebih dari sekedar jargon dan pepesan kosong dan tak dapat diharapkan mampu memecahkan masalah-masalah nyata yang dihadapi warga. Ini saatnya kita bersama-sama bertanggung jawab terhadap proses demokrasi yang akan kita lalui. 


(Tulisan ini dimuat di Harian umum POS KUPANG, tanggal 28 Mei 2008)

 

Link : http://ntt-academia.org/opini/Pilkada-NTT-dan-Social-Contract.pdf
Posting Komentar

Posting Komentar