xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

Cross Cultural Understanding (CCU)


Pendahuluan

Perbedaan budaya merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan manusia. Pluralitas dan kondisi dinamis memungkinkan budaya manusia terus berkembang serta memiliki keberagaman yang semakin banyak. Kepentingan individu seringkali berbenturan dengan budaya diluar komunitas atau lingkungan yang lebih luas. Hal ini memungkinkan terciptanya sebuah upaya pengenalan budaya-budaya baru yang merupakan hasil akulturasi maupun inkulturasi. Sebuah masyarakat trandisional dalam era global saat ini, tidak dapat terhindarkan untuk membuka diri dan bergelut dengan budaya baru yang membawa paradigma baru bagi perkembangan peradaban manusia. 
    Secara geografis, kondisi Indonesia yang terdiri dari kurang lebih 18.000 pulau dan 5 diantaranya merupakan pulau-pulau besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua). Memungkinkan Indonesia memiliki kekayaan budaya dan peradaban manusia. Dengan jumlah sebaran suku bangsa sekitar 1.340 suku bangsa di seluruh wilayah Indonesia, hal ini menyebabkan budaya, tradisi dan kebiasaan yang berbeda mungkin saja terjadi dalam relasi sosial. Hadirnya budaya pinggir pantai dan budaya gunung juga menambah kekayaan sosial berdasarkan garis geografis. Selain itu segmentasi sebaran masyarakat urban (kota), sub urban dan desa, menjadikan kompleksitas penerimaan budaya tertentu dengan mudah terjadi. Dengan kekayaan kompleksitas demikian, maka Indonesia sebagai negara kesatuan haruslah dikenalkan pada pemahaman sosial lintas budaya, untuk menjamin terciptanya kesatuan tujuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
    Era globalisasi juga memberikan tantangannya tersediri terhadap pluralitas budaya. Nilai-nilai universal yang melandaskan pada rasionalitas barat hadir dan diterima di era globalisasi. Hak Asasi Manusia yang juga memperjuangkan hak-hak LGBT, demokrasi barat yang mengedepankan suara terbanyak dan keadaban dalam berpolitik, kebebesan serta keterbukaan terhadap perdagangan internasional dan teknologi yang melewati batas-batas kemanusiaan, menciptakan budaya baru yang lain bentuknya. Budaya ini berkembang sangat cepat dan memiliki pengaruh sangat luas. Desa-desa yang telah terkoneksi dengan internet, mengalami perubahan cara pandang yang cepat. Barang-barang dari desa dapat diekspor ke luar negeri dan bersaing dengan produk sejenis lainnya dari negara lain. Budaya dan peradaban manusia berbagai jenis bertemu dan berinteraksi di era globalisasi. Hal ini tidak dapat terhindarkan oleh setiap masyarakat dimuka bumi ini.
    Melihat kondisi tersebut, maka pemahaman lintas budaya atau yang lebih dikenal dengan Cross Cultural Understanding (CCU) adalah salah satu kompetensi yang dibutuhkan oleh manusia abad ini. Aktivitas manusia merupakan produk dari budaya, dan produk ini akan saling berinteraksi dalam masyarakat plural tanpa batas. Hal positif dan negative berinteraksi dengan cara pandang yang baru. Budaya kekeluargaan orang Asia dipertemukan dan diperkenalkan dengan budaya individualistisnya orang barat (Amerika & Eropa). Budaya ketertutupan orang timur diperhadapkan dengan budaya keterbukaan orang barat. Dan masih banyak lagi pertemuan budaya antar kutub, bangsa dan suku bangsa di saat ini. Hal ini memungkinkan manusia perlu memahami budaya orang lain, agar dapat berkomunikasi secara efektif dan efesien. Dengan mengenal perbedaan budaya, aktivitas, kebutuhan dan kebiasaan, maka seseorang dibekali untuk memahami berbagai bentuk budaya, berkomunikasi dengan cara yang tepat dan tidak mengalami benturan budaya/ geger budaya (shock culture).
    Menurut Bennet, Bennet & Allen (2003), menyatakan bahwa pemaha­man lintas budaya adalah kemampuan untuk bergerak dari sikap etnosentrik menuju si­kap menghargai budaya lain, hingga akhirnya menimbulkan kemampuan untuk dapat ber­perilaku secara tepat dalam sebuah budaya atau budaya-budaya yang berbeda. Pemahaman lintas budaya pada dasarnya ibarat memiliki sebuah peran ganda. Corbett (2003) menyatakan bahwa pemahaman lin­tas budaya melebihi kemampuan untuk me­niru penutur asli. Pemahaman lintas budaya merupakan kemampuan yang memposisikan pembelajar bahasa pada posisi seorang utusan atau diplomat, yang mampu melihat dan berkomunikasi dengan budaya-budaya yang berbeda melalui sudut pandang orang yang memiliki kemampuan komunikasi tersebut.

Konsep Budaya 
Menurut Koentjaraningrat (2000) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sansakerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa. Selanjutnya kebudayaan itu sendiri adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu. Jadi kebudayaan atau disingkat budaya, menurut Koentjaraningrat merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Selanjutnya Koentjaraningrat membedakan adanya tiga wujud dari kebudayaan yaitu: (1) Wujud kebudayaan sebagai sebuah kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai- nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. (2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam suatu masyarakat. (3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Hawkins (dalam Liliweri, 2004) juga mengatakan bahwa budaya adalah suatu kompleks yang meliputi pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat-istiadat serta kemampuan dan kebiasaan lain yang dimiliki manusia sebagai bagian masyarakat
    Dalam budaya ada konsep tentang identitas dan etnisitas yang merupakan hasil konstruksi sosial. Dengan konstruksi sosial tersebut tercipta label atau identitas tertentu, yang menyimbolkan asal, budaya dan ciri khas kelompok tertentu. Pentingnya identitas ini bagi sebuah kelompok suku bangsa dan etnik, karena menjadi kesinambungan masa lalu dan masa depan. Oleh karena itu, hampir semua identitas kultural, dalam kaitan dengan identitas ikatan persaudaran, ras, ataupun etnik, dibangun dalam konteks yang berhadap-hadapan dengan yang lain. 
    Teori relasional mendasarkan pada pandangan bahwa kelompok etnik merupakan penggabungan dua entitas atau lebih yang memiliki persamaan maupun perbedaan yang telah dibandingkan dalam menentukan pembentukan etnik dan pemeliharaan batas-batasnya. Kesamaan-kesamaan yang ada pada dua atau lebih entitas yang disatukan akan menjadi identitas etnik. Menurut perspektif relasional ini, etnik ada karena adanya hubungan antara entitas yang berbeda-beda. Etnik tergantung pada pengakuan entitas lain di luar kelompok etnik tersebut.
    Pada perkembangan selanjutnya, budaya tidak hanya terfokus pada adat istiadat tradisional. Namun juga memasuki pada tahap budaya popular. Menurut O’Brien and Szeman (dalam Danesi, 2004) budaya populer adalah budaya yang ada karena sekelompok orang membuat atau melakukannya untuk diri mereka sendiri. Karena hal yang baru tersebut banyak diterima masyarakat maka muncullah budaya populer. Selanjutnya, menurut Kundera (dalam Danesi, 2012) budaya populer adalah sesuatu yang menarik untuk kita secara intuitif, karena tidak masalah seberapa banyak kita merendahkannya, tapi ini adalah sebuah bagian integral dari kondisi manusia. Adapun definisi budaya populer menurut Storey (2003) adalah sebagai berikut: A) Budaya populer merupakan budaya yang menyenangkan dan disukai banyak orang; B) Budaya populer adalah budaya sub standar yang mengakomodasi praktek budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi. Budaya tinggi merupakan kreasi hasil kreativitas individu, berkualitas, bernilai luhur, terhormat dan dimiliki oleh golongan elit, seperti para seniman, kaum intelektual dan kritikus yang menilai tinggi rendahnya karya budaya. Sedangkan budaya populer adalah budaya komersial (memiliki nilai jual) dampak dari produksi massal; C) Budaya populer merupakan budaya massa, yaitu budaya yang diproduksi oleh massa untuk dikonsumsi massa. Budaya ini dikonsumsi tanpa pertimbangan apakah budaya tersebut dapat diterima di dalam masyarakat atau tidak; D) Budaya populer berasal dari pemikiran postmodernisme. Hal ini berarti pemikiran tersebut tidak lagi mengakui adanya perbedaan antara budaya tinggi dan budaya populer dan menegaskan bahwa semua budaya adalah budaya komersial.
    Budaya memiliki peranan penting dalam era globalisasi saat ini, akan tetapi budaya memiliki hambatan yang dapat mempersulit dalam negosiasi dan berkomunikasi antar budaya. Berikut ini merupakan hambatan-hambatan dalam memahami budaya lainnya, yakni: 1) Etnosentrisme Northouse, mengemukakan bahwa etnosentrime adalah kecenderungan bagi individu untuk menempatkan kelompok mereka sendiri di suatu organisasi. Orang cenderung memberikan prioritas dan kepercayaan yang lebih dibandingkan orang atau kelompok yang memiliki (etnis, ras, atau budaya) yang berbeda. 2) Prasangka Northouse, mengemukakan bahwa prasangka adalah sikap, keyakinan, atau emosi yang dimiliki oleh seorang individu tentang individu lain atau kelompok yang didasarkan pada data yang tidak valid atau tidak berdasar.

Pentingnya Pemahaman Antar Budaya
Pemahaman antar budaya merupakan jembatan emas dalam menuju kesepahaman dalam perbedaan. Menurut Brett (2000) menyatakan bahwa budaya merupakan faktor kunci yang mempengaruhi sebuah proses negosiasi dan komunikasi. Selanjutnya menurut Salacuse (2004), praktik negosiasi berbeda dari budaya ke budaya. Budaya adalah faktor kunci yang mempengaruhi proses negosiasi dan hasil, selanjutnya nilai-nilai budaya dapat mempengaruhi negosiasi bisnis internasional dalam cara yang signifikan dan tak terduga dari tahap pertama sampai tahap terakhir dari negosiasi (Leung et al, 2005). Demi mencapai tujuan dalam berkomunikasi antar budaya, penting sekali untuk memahami budaya dari berbagai negara, daerah dan kelompok etnik. Pemahaman lintas budaya yang luas akan membantu para negosiator dan komunikator dalam melakukan dialog antar budaya. Pemahaman lintas budaya sebelum melakukan komunikasi lintas budaya akan meningkatkan peluang keberhasilan dari tujuan komunikasi tersebut. Pemahaman lintas budaya yang baik akan meningkatkan kemungkinan keberhasilan dalam negosiasi. Sesuatu hal sangat mudah untuk dipahami jika salah satu komunikator telah bertemu dengan partner komunikasinya sebelum komunikasi dimulai dan diasumsikan memiliki percakapan yang menyenangkan serta mengerti budaya masing-masing individu pada saat berkomunikasi. Dengan pola komunikasi seperti ini, akan memudahkan pencapaian dari tujuan komunikasi.
    Selain dari memudahkan komunikasi lintas budaya, dengan memahami antar budaya, akan memudahkan seseorang membuat stratetgi untuk survive dalam lingkungan yang plural. Seseorang yang bertahan dalam berbagai situasi adalah mereka yang mau belajar dan menerima budaya orang lain. Dengan penerimaan seperti ini, tiap orang akan dimudahkan dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Kemampuan adaptasi mampu menjadi strategi cerdas dalam mencapai sebuah tujuan kehidupan di lingkungan yang plural. 

Sikap Berkomunikasi Antar Budaya
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia. Saat ini kesadaran akan pentingnya fungsi bahasa dalam meningkatkan kualitas SDM mulai tumbuh di Indonesia. Banyak orang belajar Bahasa asing agar memahami budaya dan karakter bangsa tersebut, selain dari ada tujuan untuk belajar hal lain di wilayah negara tersebut. Upaya memahami Bahasa orang lain, merupakan bentuk dari komunikasi antar budaya.
    Komunikasi bertujuan untuk menyampaikan ide, gagasan, dan perasaan. Dalam komunikasi terdapat pesan-pesan atau informasi-informasi yang disampaikan. Namun, tidak selamanya komunikasi dapat berjalan dengan lancar sehingga pesan atau informasi-informasi tidak dapat tersampaikan dengan baik bahkan hal ini dapat menimbulkan kesalah pahaman antara kedua belah pihak. Komunikasi tidak terlepas dari peran interpretasi yang melibatkan makna. Sedangkan makna sendiri tidak pernah bersifat absolut. Perbedaan makna atas satu teks atau kata yang dihasilkan oleh seseorang dengan seseorang lain mungkin terjadi adanya dalam komunikasi. Hal ini disebabkan oleh adanya satu hal yang tidak pernah lepas dari makna, yaitu konteks. Kurangnya pemahaman konteks inilah yang menyebabkan gagalnya komunikasi dan tidak tersampaikannya pesan dengan benar.
    Fenomena kegagalan komunikasi ini menjadi inspirasi bagi pengkajian-pengkajian pembelajaran bahasa baik asing maupun daerah. Sehingga menguasai tatacara berkomunikasi atau kemampuan berkomunikasi menjadi hal wajib bagi para pembelajar bahasa masa kini. Dalam kemampuan berkomunikasi seseorang dituntut untuk tidak hanya sekedar mampu menghasilkan bahasa-bahasa yang benar sacara gramatikal saja, akan tetapi dalam kompetensi ini pembelajar diharapkan juga dapat memiliki kemampuan untuk menggunakan bentuk-bentuk bahasa tersebut sesuai dengan tujuan komunikasi atau untukmengungkapkan fungsi-fungsi komunikatif bahasa yang ingin disampaikan kepada pihak lain. 
    Dalam melakukan komunikasi antar budaya, ada menggunakan pendekatan dua jenis budaya dalam berkomunikasi, yaitu high culture context dan low culture context. Kedua jenis konteks berkomunikasi tersebut dapat diterangkan sebagai berikut (Nishimura et al., 2009): 
A. High Context Culture (budaya dengan konteks tinggi). Budaya ini sangat bergantung pada isyarat non-verbal dan halus dalam komunikasi. Apa yang disampaikan belum tentu maknanya seperti yang terungkapkan. Dalam budaya Jawa, hal yang seperti ini sangat sering digunakan. Orang berkomunikasi dengan sanepa, isyarat mata, bahasa tubuh, dan lain-lain. 
B. Low Context Culture (budaya dengan konteks rendah). Budaya yang ini sangat bergantung pada kata-kata untuk menyampaikan makna dalam komunikasi. Apa yang disampaikan, maknanya dengan dengan ucapan verbal. Oleh karena itu, biasanya orang dengan budaya seperti ini akan betul-betul memperhatikan apa yang dibicarakan oleh lawan bicaranya. 

Dalam berkomunikasi ada dua hal yang harus diperhatikan adalah: 
A. Komunikasi verbal. Dalam komunikasi verbal, pilihan kata yang digunakan dapat mempengaruhi baik tidaknya komunikasi kita. Meskipun disuatu daerah kata-kata yang digunakan dianggap normal, ada kemungkinan ditempat lain kata-kata tersebut dianggap kurang sopan atau kasar, sehingga ada kemungkinan akan menyebabkan ketersinggungan. Yang perlu diperhatikan juga adalah volume dan nada suara juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan komunikasi kita. Volume suara yang keras bisa menandakan ketegasan, yang lemah berarti kurang tegas. Nada suara tinggi secara umum dianggap sedang marah dan lain sebagainya. 
B. Komunikasi non verbal. Selain Bahasa verbal, hal yang menentukan dalam keberhasilan berkomunikasi adalah komunikasi non-verbal. Pada saat kita berkomunikasi dengan orang lain harus diperhatikan: ruang pribadi (beberapa kebudayaan tidak suka apabila kita berbicara terlalu dekat jaraknya, sementara yang lain lebih suka kalau saling berdekatan), sentuhan (sentuhan di beberapa bagian tubuh merupakan penghinaan bagi beberapa budaya, sentuhan antara lelaki dan perempuan juga harus diperhatikan), ekspresi wajah (bisa menunjukkan emosi kita), kontak mata (orang-orang berkebudayaan barat lebih menginginkan kita untuk menatap mata mereka apabila sedang berbicara karena itu menunjukkan keseriusan kita), sikap tubuh (termasuk cara duduk, posisi tangan ketika berbicara, dan lainnya).
    Adapun sikap berkomunikasi yang tepat menurut Grice (dalam Sumarmo, 1988), agar percakapan dapat dilakukan secara efektif dan efesien yakni dengan selalu berpegang pada prinsip kerjasama dalam komunikasi. Untuk itu sebagai komunikator harus selalu : 1) Mengatakan sesuatu yang telah terbukti kebenarannya; 2) Mengatakan apa yang diperlukan saja; 3) Mengatakan sesuatu yang relevan dan berguna; 4) Mengatakan sesuatu secara jelas dan singkat. Sikap ini menuntut komunikator dan partner-nya untuk saling menyumbangkan ide-ide dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan komunikasi. 
    Menurut Gumperz (1982) menyatakan bahwa dalam percakapan yang melibatkan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda, memungkinkan kesalahapahaman ini dapat terjadi karena komunikator menerapkan pola-pola komunikasi yang biasa diterapkan dalam budayanya, akan tetapi tidak biasa dengan budaya lainnya. Komunikator antar budaya yang efektif tidak hanya memiliki kompetensi Bahasa dan kompetensi komunikatif, melainkan juga kompetensi budaya yang mengarah pada empati dan rasa hormat terhadap adanya perbedaan budaya. Dengan menerapkan komunikasi seperti ini, maka tujuan dari keuda belah pihak akan terwujud. 
    Selanjutnya, yang perlu diperhatikan juga adalah sikap dalam berkomunikasi. Yang dimaksud disini adalah bagaimana cara menghormati sikap berkomunikasi antar budaya, misalnya memperhatikan cara menyela pembicaraan, durasi dalam berbicara, apakah etis jika semua berbicara secara bersama-sama, dan memperhatikan bahasa non verbal dalam bekomunikasi. Dengan memperhatikan sikap-sikap ini, maka kita berupaya melakukan perbandingan budaya kita dengan budaya lain yang menjadi partner komunikasi kita. 

Culture Shock (Benturan/ Gegar Budaya)
Culture shock (benturan/ gegar budaya) merupakan hal yang juga perlu diperhatikan ketika seseorang akan melakukan komunikasi atau memasuki wilayah baru. Culture shock adalah kondisi dimana seseorang tidak terbiasa dengan budaya baru/ setempat. Benturan atau gegar budaya sering menjadi hambatan bagi seseorang dalam mencapai sebuah tujuan di luar daerah wilayahnya. Culture shock seringkali dianggap sebagai hal yang wajar bagi sebagian besar orang, namun hal tersebut tidak boleh dianggap remeh karena dapat memicu timbulnya depresi dan rasa stress bagi sebagian orang yang mengalaminya. Culture shock sangat berkaitan dengan keadaan dimana ada kekhawatiran dan galau berlebih yang dialami orang-orang yang menempati wilayah baru dan asing. Biasanya, orang yang mengalami culture shock adalah mereka yang relatif labil dalam beradaptasi. Keadaan lingkungan yang berbeda dengan yang biasanya terdapat di tanah air, seperti lingkungan rumah, jenis makanan yang berbeda, suasana kampus dan perkuliahannya, pergaulan dengan orang-orang yang tidak sesuai harapan dikenal menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya gejala culture shock. Culture shock dibagi dalam 4 tahap, yakni : 
1. The honeymoon phase (fase bulan madu) 
Dalam fase ini, orang yang baru pertama kali memasuki sebuah wilayah baru, biasanya akan merasa bahagia setibanya di wilayah yang baru tersebut. Biasanya, semua hal yang baru terasa menarik dan menyenangkan. 
2. The crisis phase (fase krisis) 
Dalam fase ini, perbedaan di wilayah baru mulai terasa tidak pas atau membosankan. Hal yang tidak pas ini bisa berupa makanannya (kesulitan mencari makanan yang sesuai dengan lidah dan lainnya), bahasa yang susah dimengerti, pergaulan dengan lingkungan yang baru serta kebiasaan-kebiasaan baru serta mulai kesepian karena jauh dengan kerabat dan keluarga. Dalam fase ini sering sekali terjadi benturan-benturan seperti yang dianalogikan dengan dua gunung es berbenturan di atas. 
3. The adjustment phase (fase penyesuaian) 
Fase ini sangat penting karena sukses tidaknya kita melewati masa culture shock tergantung dari kemampuan kita untuk melakukan penyesuaian. Dalam fase ini, diharapkan mereka yang masuk wilayah baru sudah mulai bisa berinteraksi dengan lingkungan di wilayah baru tersebut dan mencari jalan untuk melakukan penyesuaian. 
4. Bi-cultural phase (fase dwi budaya) 
Setelah sukses melewati tiga fase sebelumnya, maka seseorang akan masuk dalam fase keempat ini. Ia akan sudah terbisa merasa nyaman hidup dengan dua kebudayaan sekaligus. Ia sudah bisa menyesuaikan diri dengan budaya di wilayah baru. Meskipun demikian, harus ada keseimbangan antara memahami kebudayaan asing tanpa meninggalkan identitas aslinya.
    Untuk mengantisipasi dan mengatasi culture shock, maka ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yakni : 1) Menambah wawasan mengenai daerah baru yang akan dimasuki; 2) Mencari informasi mengenai budaya, kebiasaan hidup dan aktivitas yang populer di daerah tujuan hingga topik pembicaraaan sehari-hari serta bahasa tubuh yang biasa digunakan; 3) Setibanya di daerah tujuan, segera berusaha mengenali kehidupan setempat.

Penutup

Memahami budaya bangsa lain bukanlah berarti menghilangkan budaya bangsa sendiri. Cross Cultural Understanding merupakan konsep dalam memahami komunikasi antar budaya, sehingga tercapai tujuan pembelajaran tingkat tinggi. Pada era globalisasi saat ini, pemahaman akan budaya dan karakter bangsa lain adalah sangat penting. Dengan memahami karakter bangsa lain, kita mampu menjadi leader dalam ruang global. Karena leader mensyaratkan komunikasi yang dipahami oleh semua orang yang dipimpinnya. Cross Cultural Understanding menempatkan nilai kemanusiaan melampaui batas-batas etnik, negara dan suku-suku bangsa. 

Daftar Pustaka
  • Bennet, J. M., Bennet, M. J., & Allen, W. (2003) Developing Intercultural Competence In The Language Classroom. In lange, D. L., & Paige, M. (Eds.). Culture As The Core: Perspectives On Culture In Second Language Learning (pp. 237- 270). Greenwich: Information Age Publishing. 
  • Brett, J. M. (2000) Culture and Negotiation. International Journal of Psychology Vol. 32 No. 2.
  • Corbett, J. (2003). An Intercultural Approach To Second Language Education. In Corbett, J. (Ed.). An Intercultural Ap­proach To English Language Teaching (pp. 1-30). Clevedon, England : Multi­lingual Matters.
  • Danesi, Marcel. (2004) Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Besar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta : Jalasutra
  • Danesi, Marcel (2012) Popular Culture: Introductory Perspectives. Maryland: Rowman and Littlefield Publishers, Inc,
  • Gumperz, John. J. (1982) Discourse strategies. New York : Cambridge University Press 
  • Koentjaraningrat (1986) Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Penerbit Aksara Baru
  • Koentjaraningrat (2000) Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (cetakan kesembilan belas). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
  • Liliweri, Alo. (2004) Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
  • Leung.K, Rabi S.B., Buchan, N.R, Erez., M & Gibson, C.B. (2005) Culture and International Business: Recent Advances and Their Implications for Future Research. Journal of International Business Studies, Vol 36, No. 4.
  • Nishimura, S., Anne Nevgi and Seppo Tella. (2009) Communication Style and Cultural Features in High/Low Context Communication Cultures:A Case Study of Finland, Japan and India. Artikel dapat diunduh di: www.helsinki.fi/~tella/nishimuranevgitella299.pdf.
  • Salacuse, J. W. (2005) Negotiating: The Top Ten Ways That Culture Can Affect Your Negotiation. Ivey Business Journal, Vol. 69, No. 4.
  • Sumarno, Marno. (1988) Pragmatik dan perkembangan mutakhirnya dalam Pelba. Lembaga Bahasa Unika Atmajaya : Jakarta
  • Storey, J. ( 2003) Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Yogyakarta : CV. Qalam Yogyakarta

(Materi ini disusun dan dibawakan oleh Ricky Arnold Nggili, S.Si-teol.,M.M dalam Pelatihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa Gel. 2 Fakultas Teknologi Informatika UKSW dengan tema "Be brave to be a leader", tanggal 12 Februari 2017 pukul 13.00-15.00 WIB di Audiotorium Teologi UKSW)

Link: Mmemahami komunikasi dalam CCU

Posting Komentar

Posting Komentar