xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

EKOTEOLOGI : Menuju Pada Keharmonisan Dengan Alam



PENDAHULUAN 
Alam merupakan ciptaan Tuhan yang memiliki kesatuan dan kesaling bergantungan. Kesaling bergantungan yang menjadikannya satu, dan tidak saling terpisahkan. Perubahan radikal yang terjadi di alam, merupakan akibat dari ketidak seimbangan dalam kebergantungan antar makluk hidup. Adanya dominasi salah satu makluk hidup menyebabkan alam menjadi berubah wajahnya dan mengurangi populasi jenis makluk hidup lainnya, bahkan ada yang menuju pada kepunahan. 
     Kondisi ketidak seimbangan tersebut berdampak hingga saat ini, saat bumi mengalami perubahan wajahnya. Perubahan iklim yang tidak menentu dan menipisnya lapisan pelindung ozon bumi merupakan bentuk dari ketidak seimbangan alam. Dominasi manusia menyebabkan alam berubah. Pemenuhan kebutuhan yang tak penah selesai oleh manusia, menyebabkan manusia mendominasi alam, Ketidak seimbangan terjadi dan alam mulai goyah serta rapuh. Penebangan hutan secara liar dengan kapasitas yang sangat tidak terbatas, pengerukan sumber daya mineral yang merusak lingkungan sekitarnya dan pembangunan dengan mengorbankan keseimbangan alam merupakan bentuk dominasi manusia yang menyebabkan hubungan antar makluk hidup dialam semakin tidak bersahabat. 
     Lalu dimanakan peran teologi, saat terjadi dominasi tidak terbatas atas alam oleh manusia? Apakah teologi turut membiarkan alam rusak ataukah juga berperan didalamnya? Dalam makalah ini akan memuat peranan teologi dalam keterhubungannya dengan lingkungan alam. Teologi merupakan wujud penalaran akan nilai-nilai ilahi (yang transenden), juga mengambil perannya dalam ketidak seimbangan dan kemenyatuan alam. Dari antroposentrisme menuju ekoteologi, teologi berupaya untuk membangun kembali keseimbangan manusia dengan alam. Sehingga tidak ada lagi dominasi, namun kesaling bergantungan dalam keharmonisan. 

PANDANGAN ANTROPOSENTRISME TENTANG LINGKUNGAN 
Pandangan mengenai manusia sebagai pusat edar dari makluk hidup ciptaan tuhan lainnya disebut dengan antroposentris. Pandangan antrposentrisme merupakan sebuah pandangan yang bermula dari filsuf Aristoteles, yang berpandangan bahwa keberadaan lingkungan dan etika terhadapnya hanya berlaku bagi manusia. Manusia menjadi poros dari alam semesta dan seluruh makluk hidup mengelilinginya. Manusia menjadi satu-satunya pusat pertimbangan dalam bertindak moral dan diluar dari manusia tidak ada yang relevan untuk bertindak moral. Dengan demikian lingkungan haruslah mendukung keberadaan manusia, dan akan dipertahankan keberlangsungannya jika membantu manusia dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan jika lingkungan tidak menjamin keberlangsungan manusia maka dia akan diabaikan oleh manusia. Padahal seringkali tindakan manusia terhadap lingkungan yang mendukungnya, membuat lingkungan semakin rusak dan tidak terjadi keberlangsungan kehidupan pada lingkungan tersebut. 
     Hal ini berakibat pada banyaknya pandangan teologis bermunculan yang dihasilkan untuk menunjukkan peran lingkungan dalam mendukung manusia untuk menjalani kehidupan dan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kewajiban dan tanggung jawab manusia terhadap alam merupakan perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap sesama manusia dan bukan terhadap alam itu sendiri. Alam hanyalah menjadi alat kepentingan manusia. Antroposentrisme menyebabkan etika lingkungan yang dibangun bersifat egoistis dan hanya mengutamakan kepentingan manusia. 
     Krisis lingkungan yang berakibat pada kerusakan lingkungan dan ketidak seimbangan ekosistem terjadi karena perilaku manusia yang dipengaruhi oleh antroposenstrisme. Cara pandang ini menyebabkan perilaku manusia menjadi eksploratif dan dekstruktif terhadap alam. Manusia dapat melakukan tindakan apa saja kepada alam, sejauh tidak merugikan kepentingan manusia. Hal ini menjadi lebih buruk lagi dengan gaya hidup hedonis dan tidak terbatasnya kepuasan manusia. Pengerukan sumber-sumber daya bumi tanpa memperhatikan lempengan dibawahnya dan kehadiran polutan yang disebabkan oleh aktivitas tersebut; penebangan hutan untuk pemenuhan kebutuhan seperti perumahan tanpa batas; kebutuhan tambahan seperti korek api, kertas, tissue dan lainnya, yang menyebabkan kebutuhan akan kayu meningkat; pembangunan tanpa memperhatikan kondisi tanah dan daerah serap air; pembukaan lahan pertanian (yang luas) dengan mengesampingkan ekosistem hutan. Hal-hal tersebut hanyalah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder manusia. Manusia semakin tidak bersahabat dengan alam. Alam hanyalah menjadi alat pemuas kebutuhan dan kerasukan manusia. 
     Pandangan antroposentrisme didukung juga dalam argumen ke-Kristenan. Berpatokan pada kitab Kejadian 1:26-28, orang-orang Kristen menafsirkan bahwa Allah memberikan kewenangan kepada manusia untuk berhak mengeksploitasi alam demi kehidupan manusia. Manusia mengintervensi lingkungan alam demi kepentingannya. Hal ini dikarenakan manusia merupakan makluk paling rasional dan bebas. Untuk itu manusia memandang, lingkungan yang baik adalah lingkungan yang mendukungnya, dan yang jahat/ buruk adalah yang mengancam kehidupan manusia. Kitab kejadian menceritakan pendelegasian Allah terhadap manusia, yang berakibat pada kesewenang-wenangan terhadap alam. Alam memiliki strata kehidupannya sendiri-sendiri, dan manusia berada ditingkatan strata paling atas. Antroposentrisme dalam kitab suci menempatkan manusia sebagai superioritas. 
     Antroposentrisme tidak sepenuhnya salah, karena manusia sebenarnya ditempatkan diporos sebagai pengeolah dan penjaga keberlangsungan alam. Akan tetapi dikarenakan kesalahan dalam penafsiran, maka manusia menjadi egoistis dan menempatkan dirinya sebagai superioritas yang tidak terkontrol. Etika lingkungan menempatkan pengetahuan etika antroposentrisme merupakan pengetahuan terendah untuk memahami hubungan manusia dengan alam. 

PANDANGAN EKOSENTRISME TENTANG LINGKUNGAN 
     Setelah adanya penafsiran yang salah terhadap antroposentrisme dalam memahami hubungan manusia dengan alam, maka muncul paham selanjutnya yakni ekosentrisme. Ekosentrisme memusatkan etika dan perilaku moralnya pada ekologis, baik yang hidup maupun mati. Ekosentrisme berbeda dengan Biosentrisme, yang lebih mengedepankan perilaku moral pada hanya makluk hidup. Paham ekosentrisme menganggap bahwa makluk hidup dan benda-benda abiotis (mati) lainnya saling berkaitan dan mendukung. Oleh karena itu tidak dapat dipisahkan. Dan karena itu manusia memiliki kewajiban dan tanggung jawab moral untuk berlaku terhadap seluruh realitas ekologi. 
     Salah satu bentuk dari etika ekosentrisme adalah etika lingkungan yang dikenal sebagai deep ecology. Etika ini diperkenalkan pertama kali oleh Arne Naess, seorang filsuf dari Norwegia pada tahun 1973. Arne mengembangkan prinsip-prinsip moral yang menyangkut seluruh komunitas ekologi. Etika ini menyangkut suatu gerakan yang jauh lebih dalam, dari hanya memandang alam sebagai rekan sesama makluk hidup. Deep ecology merupakan sebuah gerakan yang mendukung suatu gaya hidup selaras dengan alam dan memperjuangkan isu-isu lingkungan. Pengaruh dari Taoisme, Zen, dan Budhaisme sangat kuat dalam konsep gerakan deep ecology
     Menurut ekosentrisme, seluruh organisme di alam harus dijaga dan dilestarikan. Ekosentrisme tidak menempatkan unsur-unsur alam berdasarkan struktur hirarki, mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah. Namun ekosentrisme memandang seluruh organisme ekologi merupakan sebuah jejaring kehidupan yang harmonis dan saling melengkapi satu sama lainnya. 

EKOTEOLOGI 
Selanjutnya bagaimana dengan orang Kristen ? apakah orang Kristen tidak memiliki pemahaman keterhubungan yang harmonis dengan alam, ketimbang terpaku dengan antroposentrisme yang berujung pada rusaknya hubungan alam dan manusia. Krisis ekologi saat ini telah merambah setiap inci geografis dimuka bumi. Cepatnya naik permukaan air laut, akibat melelehnya es di Antartika; perubahan iklin yang tidak menentu; semakin panasnya bumi; dan lainnya merupakan sikap ketidak bersahabatan alam dengan manusia, serta sebagai akumulasi akibat dari keegoisan manusia terhadap alam. 
     Orang Kristen memiliki konsep tersendiri mengenai hubungan manusia dengan alam, dikala lingkungan semakin tidak bersahabat dengan manusia. Ekoteologi merupakan sebuah konsep teologi yang mendekatkan kembali pemahaman teologis Kristen, dengan jejaring lingkungan alam. Ekoteologi hadir sebagai sebuah tanggapan terhadap krisis lingkungan yang terjadi. Ekologi menandai sebuah era baru mengenai hubungan antara manusia dengan alam. Alam yang sebelumnya dieksploitasi oleh manusia. Hubungan manusia dan alam dalam ekoteologi dimaknai sebagai rekan sekerja, dan relasi dalam mewujudkan kerajaan Allah. 
      Konsep ekoteologi ini berangkat dari asumsi bahwa manusia sebagai pusat ciptaan yang ditugaskan Allah untuk merawat keutuhan ciptaan. Manusia mendapatkan tanggung jawab baru dalam membangun relasinya dengan alam dan menjaga keberlangsungan alam. Para teolog berkomitmen untuk melibatkan diri dalam ranah akademis maupun praktis secara global untuk menebus ekologi dari ancaman kematian dan kepunahan. 
       Ekoteologi digagas oleh seorang teolog eko-feminis Amerika Serikat, yakni Sallie McFague. McFague menempatkan alam seperti perempuan yang juga ditindas oleh kaum patriaki. Alam sama-sama menderitanya dengan kaum perempuan, yang terus dieksploitasi, tanpa memiliki jaminan keberlangsungan hidup. Disini McFague melihat kondisi alam pada abad 21 menghadapi kematian, dan mengharuskan sebuah tindakan penyelematan ciptaan-ciptaan Allah dari ancaman kematian. McFague memandang alam semesta merupakan tubuh dari Roh ilahi (The Body of God). Ia mengacuh pada kejadian 1:2 “Roh Allah yang melayang-layang diatas permukaan air”. Aktivitas Roh Allah dalam tubuh dunia berlapis dua, yakni pertama, roh itu sumber kehidupan dan nafas seluruh ciptaan, serta sekaligus juga kedua, Roh Kudus sumber pembaharuan hidup manusia. Menurut McFague, kehadiran Allah dimediasi oleh tindakan melalui gejala alam. Untuk itu harus ada hubungan yang baik antara manusia dengan alam sebagai bagian dari ciptaan Allah. 
       Ekoteolog menggambarkan kisah penciptaan secara kosmosentris. Bahwa makluk hidup lainnya telah diciptakan terlebih dahulu, sebelum manusia diciptakan. Dengan demikian manusia menyusul kehadirannya dimuka bumi ini, untuk itu harus ada relasi antara manusia dengan makluk ciptaan lainnya. Ekoteolog menolak pencintraan manusia sebagai tuhan atas ciptaan lainnya, karena hal tersebut tidak sejalan dengan kisah penciptaan. Manusia memang hadir dan berinteraksi dengan makluk hidup lainnya yang telah diciptakan Allah sebelumnya, namun bukan menjadi tuhan atas mereka. 
       Budaya partiaki menurut para ekoteolog merupakana sumber pemicu rusaknya hubungan antara manusi  dengan alam. Alam mengalami penderitaan seperti manusia dalam sejarah. Seorang feminis, Rosemary Radford Ruether menyatakan bahwa, budaya patriaki bukan saja memberikan konstruksi negatif terhadap ciptaan, tapi juga pencemaran terhadap alam. Ruther mengusulkan agar laki-laki dan perempuan berbagi kesetaraan dalam tanggung jawab sebagai wakil Tuhan dalam mengelolah alam. Ekoteologis melukiskan kembali relasi antara Tuhan dengan semua ciptaan dan relasi antar semua ciptaan. Manusia harus mengenakan kasih Tuhan dalam menyapa dan memelihara ciptaan Tuhan lainnya. Eksploitasi manusia terhadap cipataan lainnya, merusak relasi ciptaan dengan pencipta-Nya dan merusak ekologi. Menurut Ruether, ekologi akan pulih dari kerusakannya, hanya jika manusia merubah perannya dari penguasa atas ciptaan menjadi pelayan bagi mereka. 
      Pada kisah dalam Perjanjian Baru, mengungkapkan bahwa penebusan yang dilakukan oleh Yesus bukan saja dilakukan bagi manusia, namun juga ciptaan Tuhan lainnya. Allah telah melihat hubungan yang sangat buruk antara manusia dengan dirinya dan ciptaan-Nya yang lain, untuk itu Ia mengorbankan anak-Nya yang tunggal, agar relasi tersebut kembali baik, dan manusia memahami secara benar konsep pelayanan holistik. Ekoteologi mmbawa orang-orang Kristen pada pemahaman yang lebih dalam akan keberpihakan Allah pada seluruh ciptaan, dan bukan hanya pada manusia. Manusia yang merupakan ciptaan paling sempurna diberikan mandat untuk meneruskan karya pelayanan Allah kepada sesama manusia dan seluruh ciptaan Allah lainnya. Pemeliharaan akan lingkungan dan alam akan menjadi sebagai tanda syukur kita atas pembaruan dan penebusan yang telah dilakukan Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus, serta menjadi wujud solidaritas dengan semua makluk ciptaan Allah dalam kasih dan keadilan. 

PENUTUP
Ekoteologi memberikan pemahaman baru bagi manusia dalam memahami keberadaannya diantara makluk hidup lainnya. Manusia menjadi sama dengan makluk hidup lainnya, dan diberikan peran untuk merawat dan memelihara alam, sebagai bagian dari tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh Allah. Manusia tidak lagi akan menjadi superioritas, namun akan menjadi bagian dari kekuatan jejaring cipataan Allah. Allah sebagai Roh hadir dalam setiap gejala-gejala alam, dan berinteraksi dengan makluk hidup ciptaann-Nya. 
      Ekoteologi membawa dunia pada refleksi akan masa lampau (pada saat penciptaan) dan masa depan (masa pelayanannya). Didalam manusia juga ada roh Allah yang bekerja. Bekerja untuk menjamin kelangsungan alam, dan menjaga keutuhan ciptaan Allah. Tindakan praktis manusia terhadap alam, merupakan wujud perilaku ibadahnya terhadap Allah, karena Allah hadir dalam bentuk roh dan ada dalam setiap individu makluk yang ada di alam. 


DAFTAR PUSTAKA 
P. Mutiara Andalas SJ, “Lahir dari rahim”, Kanisius-Yogyakarta, 2009 
P. Louis Leahy, SJ., editor : J. Sudarminta & S. P. Lili Tjahjadi, “Dunia, Manusia dan Tuhan”, Kanisius-Yogyakarta, 2008 
Sallie McFague, “An Earthy Teheological Agenda” dalam Carol J. Adams (Ed.), Ecofeminism and the Sacred, Continuum- New York, 1993


* Dibawakan oleh Ricky Arnold Nggili pada Pendidikan & Pelatihan Dasar (DikLatSar) KMPA Teo Avant-Garde, pada tanggal 29 September 2012 di Kali Pancur Getasan-Kabupaten Semarang
1 komentar

1 komentar

  • Anonim
    Anonim
    30 September 2013 pukul 23.22
    go green ... peduli lingkungan
    Reply