xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

Rendahnya Kecerdasan Emosional dan Tingginya Sikap Prososial Tentara Indonesia




Perilaku TNI yang akhir-akhir ini seperti bertindak “liar”, menjadi berita diberbagai media massa dan media elektronik. Kasus penyerangan Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU) hingga penyerangan Lapas Cebongan Sleman, membuktikan bahwa ada sifat psikologis TNI yang sulit dikendalikan, dan dapat berdampak buruk pada kondisi di masyarakat. Kedua peristiwa penyerangan tersebut berkaitan erat dengan kasus sebelumnya yang melibatkan meninggalnya rekan anggota TNI, dan memicu aksi balas dendam hingga penyerangan pun terjadi. Peristiwa ini berkaitan dengan faktor psikologis oknum TNI yang belum mampu mengelola kecerdasan emosionalnya dalam mengaktualisasikan sikap prososial. Rendahnya pengontrolan emosional oknum TNI dan tingginya sikap prososial yang mengarah pada sikap negatif berdampak pada hilangnya kesadaran tugas dan tanggung jawab menjaga kedaulatan negara, memunculkan sikap prososial dalam bentuk solidaritas dan jiwa korsa yang disalah artikan. 

     Salah satu keberhasilan agenda reformasi yakni berhasilnya pemerintah dan DPR mengembalikan TNI ke barak. Peran TNI dipersempit untuk menjaga kedaulatan NKRI dan membantu kepolisian dalam mengatasi konflik-konflik horizontal yang terjadi seperti di Ambon, Poso dan lainnya. Reformasi membawa TNI kembali keranahnya untuk menjaga integrasi NKRI dari bahaya eksternal maupun internal.
     Akan tetapi akhir-akhir ini, berbagai kasus kekerasan kembali melibatkan oknum-oknum TNI hingga meresahkan masyarakat. Kasus penyerangan Mapolres OKU dan Lapas Cebongan Sleman menyimbolkan bahwa TNI tidak dapat selamanya hanya tinggal di barak, akan tetapi sekali-kali juga “turun gunung” dan menjadi pemberitaan di berbagai media. Mengapa oknum-oknum anggota TNI tidak terkontrol pada kedua kasus penyerangan tersebut? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan penting untuk melihat kembali pola pembinaan SDM anggota TNI dan kompetensi penjaga kedaulatan NKRI. Kompetensi SDM berpengaruh pada kemampuan anggota TNI yang profesional dalam medan perang untuk melakukan pengendalian terhadap kecerdasan emosional dan memahami sikap prososial yang mereka tampakkan lewat jiwa korsa mereka.
     Kecerdasan emosional sangat penting bagi anggota TNI dalam membaur ditengah-tengah masyarakat. Berbagai kompetensi yang didapat pada saat latihan di kesatuan, seperti kemampuan survival, kerjasama tim, menggunakan strategi dan taktik merupakan kemampuan yang membentuk anggota TNI untuk siap berperang dan memiliki keberanian untuk melakukan segala tindakan. Dengan kompetensi seperti itu, maka diperlukan juga kompetensi mengelola emosional sebagai bagian dari kecerdasan emosional untuk mengontrol segala kompetensi yang dimilikinya. Menurut Daniel Goleman (ahli psikologi), kecerdasan emosional merupakan kemampuan emosi yang meliputi kemampuan untuk mengendalikan diri, memiliki daya tahan ketika menghadapi suatu masalah, mampu mengendalikan impuls, memotivasi diri, mampu mengatur suasana hati, kemampuan berempati dan membina hubungan dengan orang lain. Dengan kecerdasan emosional yang tinggi, diharapkan seorang anggota TNI mampu bersikap secara positif pada saat berada ditengah-tengah masyarakat, dan mampu menempatkan dirinya ketika tidak berada dalam kesatuannya. Dengan kecerdasan emosional anggota TNI mampu mengendalikan diri dan memiliki daya tahan secara psikologis pada saat menghadapi masalah dimedan perang maupun masalah dalam lingkungan masyarakat.
    Lalu bagaimana dengan kecerdasan emosional anggota TNI saat ini? Beberapa oknum TNI yang terlibat dalam kasus di OKU dan Sleman, membuktikan bahwa masih kurangnya pembinaan terhadap anggota TNI sehubungan dengan kecerdasan emosional. Hal ini berakibat pada maraknya perilaku kekerasan dengan melibatkan senjata api oleh oknum anggota TNI ditengah-tengah masyarakat, seakan-akan mereka berada ditengah-tengah medan perang. Oknum anggota TNI yang terlibat dalam penyerangan dengan kekerasan memiliki kecerdasan emosional yang rendah dan tidak mampu mengendalikan diri dari masalah yang mereka hadapi.
    Rendahnya kecerdasan emosional oknum anggota TNI akhir-akhir ini juga dikaitkan dengan semangat jiwa Korsa yang dimiliki oleh seluruh anggota TNI. Jiwa Korsa menempatkan sikap solidaritas, tidak pernah meninggalkan rekan dan rela berkorban bagi rekan seperjuangan. Dalam ilmu psikologi jiwa semangat Korsa ini dekat dengan konsep perilaku prososial. Menurut Robert A. Baron & Donn Byrne, perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolongnya. Dalam jiwa Korsa TNI, perilaku ini tampak jelas dalam perjuangan dan pola tindak anggota TNI.
     Sikap kekerasan yang ditampilkan oleh oknum TNI menunjukan penyimpangan sikap Korsa dari nilai yang positif menuju pada sikap prososial yang negatif yang berakibat pada timbulnya ketakutan dalam masyarakat. Oknum TNI menunjukan sikap solidaritas sebagai bagian dari sikap prososial terhadap rekan anggota TNI mereka yang telah meninggal akibat salah tembak, maupun sikap premanisme. Dengan kecerdasan emosional yang rendah dan tingginya perilaku prososial yang diidentikan dengan jiwa Korsa, para oknum mengambil langkah sendiri dengan mengesampingkan hukum dan norma yang berlaku dimasyarakat, mereka melakukan tindakan kekerasan dan pembunuhan. Masyarakat dipertontonkan sikap prososial anggota TNI, sama seperti sikap prososial yang dipertontonkan dalam tawuran antar sekolah. Perbedaannya hanyalah pada senjata dan strategi yang digunakan.
     Sikap prososial ini juga ditunjukan oleh mantan Panglima Kodam IV/ Diponegoro Mayjen TNI Hardiono Saroso, yang mengaku bangga dengan kesebelas anggota Kopassus yang membunuh empat tahanan di Lapas Cebongan. Walaupun tindakan tersebut merupakan tindakan kekerasan yang juga dekat dengan aksi terorisme (atau bisa juga premanisme), karena menyerang Lapas dan mencederai beberapa penjaga Lapas Cebongan. Anggota TNI yang seharusnya menjaga kedaulatan NKRI dan taat pada norma serta hukum yang berlaku di Indonesia, menjadikan dirinya pantas dihargai dan dihormati dengan mengambil jalan kompas untuk memotong proses hukum yang berlaku di NKRI. Tindakan ini akibat dari rendahnya kecerdasan emosional anggota TNI dan kesalahan dalam memahami sikap prososial yang dijiwai lewat semangat korsa.


1 komentar

1 komentar

  • Anonim
    Anonim
    22 November 2018 pukul 12.09
    Thank you
    Ini sangat membantu
    Reply