xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

GMKI: Nasionalisme dan Oikumenisme


Pendahuluan
Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) yang didirikan pada 9 Februari 1950, merupakan sebuah bentuk gerakan yang hadir dari tanggung jawab dalam menjalankan identitasnya. Kesadaran sebagai warga negara Indonesia dan warga negara Gereja, menjadikan tokoh pendiri seperti Johanes Leimena, menginginkan agar kaum terpelajar seperti mahasiswa tidak pernah melepaskan tanggung jawabnya dalam melaksanakan tindakan dalam dua identitas tersebut. Sebagai warga negara Republik Indonesia yang pada saat itu sedang memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankannya, maka sudah merupakan kewajiban bagi para generasi muda untuk terlibat secara aktif mengambil bagian dalam tindakan politik ini. Sebagai warga Gereja yang menjalankan misi bersama menciptakan Kerajaan Allah dimana pun kita berada, maka para generasi muda Kristen harus bersatu padu dan bahu membahu untuk bekerjasama menjawab serta mewujudkan misi Kristus. Identitas ke-Indonesiaan dan ke-Kristenan menjadikan GMKI berjalan dengan sebuah tindakan yang penuh integritas dengan rasa tanggung jawab.
     Menurut Leimena, sebagai orang Kristen yang juga merupakan bagian dari bangsa Indonesia, harus bertanggung jawab dalam menjalankan dua kewarganegaraan ini. Dalam dwi kewarganegaraan, GMKI menjalankan kewajibannya sebagai warga negara. GMKI turut serta mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan turu dalam pembangunan dengan semangat patriotisme yang didasarkan pada nasionalisme yang tinggi. Serta juga tidak pernah melepaskan tanggung jawabnya sebagai warga negara Gereja, dengan turut serta menciptakan keesaan Gereja dan mewujudkan Kerajaan Allah dalam bentuk memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan kesejateraan bagi seluruh makluk hidup. GMKI hadir dan bertindak sebagai warga negara yang bertanggung jawab.
     Untuk memahami identitas dwi kewarganegaraan tersebut dan tanggung jawab yang dipikulnya, maka kesadaran akan pemaknaan konsep kecintaan dwi kewarganegaraan tersebut harus dikembangkan. Generasi baru GMKI harus selalu diperkenalkan dengan konsep Nasionalisme sebagai bentuk kecintaan terhadap negara Republik Indonesia, dan konsep Oikumenisme sebagai bentuk kecintaan dalam menjalankan misi ke-Kristenan di muka bumi. Dengan memahami kedua konsep ini, maka generasi baru GMKI akan terus membawa perubahan dan tidak pernah akan lupa tanah air dan tujuan yang harus diperjuangkannya. Ke-Indonesiaan dan ke-Kristenan merupakan dua identitas yang tidak harus dilupakan, namun harus dipertanggung jawabnya. Seperti apa yang telah dilakukan oleh para pendahulu dan pendiri GMKI.

Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia
Sebelum kita memaknai konsep Nasionalisme dan Oikumenisme dalam GMKI, maka mari kita ketahui dahulu makna kehadiran GMKI. GMKI yang didirikan pada tahun 1950, merupakan bentuk dari gerakan mahasiswa Kristen sebelumnya yang telah ada, dengan nama Christelijke Studenten Vereeniging (CSV) op Java. Organisasi ini terbentuk pada tahun 1932. Sebelum itu kader-kader GMKI yang memprakarsai terbentuknya GMKI, juga telah berkecimpung dengan berbagai organisasi-organisasi mahasiswa yang bersifat kedaerahan maupun nasional. Aktivitas dalam organisasi ini bertujuan untuk mendiskusikan dan menyatukan tindakan, untuk menuju pada kemerdekaan sebuah negara yang dinamakan Indonesia. Pada tahun 1928, pendiri GMKI seperti Johanes Leimena telah turut serta dalam kongres pemuda 1928 yang melahirkan konsep Sumpah Pemuda. Namun pada saat itu Leimena mewakili organisasi pemuda Jong Ambon. Upaya untuk menciptakan semangat nasionalisme yang menempatkan persatuan perjuangan telah dipercikan oleh pendiri GMKI, jauh sebelum GMKI berdiri. Untuk itu kehadiran GMKI menambah kelengkapan kesatuan gerak mahasiswa Kristen dalam mempertahankan kemerdekaan di bumi Indonesia.
     GMKI dalam kesadarannya memiliki identitas dwi kewarganegaraan, menjalankan tanggung jawab dalam bentuk aktivitas berupa diskusi dan kegiatan Pemahaman Alkitab (PA). Kedua akivitas ini selalu menjadi rutinitas GMKI dalam menjaga kekerabatan dengan identitasnya yang ganda. Kader-kader GMKI selalu diperkenalkan dengan konsep “tinggi iman, tinggi ilmu dan tinggi pengabdian”, yang merupakan satu kalimat dengan pengintegrasian makna yang sempurna. Sebagai kader Kristen yang berintelektual, maka GMKI haruslah menunjukan bentuk iman, ilmu dan pengabdiannya di Negara Kesatuan Indonesia. Bagaimana caranya? Menurut Leimena memaknai iman dalam konteks ke-Indonesiaan, yakni dengan cara menjawab maksud Tuhan menempatkan kita sebagai orang Kristen di bumi Indonesia. Sebagai orang Kristen yang beriman kepada Yesus Kristus sebagai Kepala Gerakan, berpengetahuan dan terpelajar, serta memiliki rasa pengabdian yang tinggi, maka sudah seharusnya GMKI turut serta dalam membangun dan mempertahankan keberlangsungan bangsa ini. Kader-kader GMKI harus secara aktif ikut serta dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi bangsa, dan mencari solusi terbaik bagi tiap persoalan yang dihadapi. Serta juga turut serta mengambil bagian dalam pelayanannya untuk menuju pada cita-cita luhur bangsa, yang sama dengan cita-cita menghadirkan Syaloom Allah, yakni menciptakan keadilan, kesejahteraan, kebenaran dan kemanusiaan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, GMKI hadir dalam mewujudkan tanggung jawabnya sebagai warga negara Indonesia dan gereja in cognito.

Nasionalisme Indonesia
Nasionalisme merupakan salah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara, dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Ikatan nasionalisme tumbuh ditengah-tengah masyarakat sebagai satu pola pikir untuk menjaga persatuan dan kesatuan gerak dalam mempertahankan kedaulatan negara yang telah dan akan terbentuk. Jika kita berbicara mengenai GMKI, maka nasionalisme yang terbentuk dalam dirinya adalah nasionalisme Indonesia. Dengan nasionalisme ini, GMKI turut serta memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankan kedaulatan bangsa Indonesia. Indonesia, yang telah menjadi sebuah negara yang berdaulat dari Sabang sampai Merauke. Serta memiliki cita-cita luhur untuk menuju pada masyarakat adil dan makmur.
     Pendiri GMKI, Johanes Leimena menyadari bahwa tantangan dalam gerakan pemuda adalah naluri kebangsaan yang rendah, yakni sikap nasionalisme yang sempit. Gerakan pemuda selalu terjebak dengan perkembangan intelektualitas dan selalu bersembunyi dibalik konsep-konsep yang dibawa dari luar Indonesia. Seperti pada saat perjuangan kemerdekaan, banyak pemuda Kristen yang merasakan bahwa ia menjadi bagian dari orang asing karena ke-Kristenannya. Menurut Leimena, pandangan ini merupakan pola pikir yang sangat sempit. Sebagai orang Kristen, kita harus memaknai karunia Allah, yang telah menempatkan diri kita ditengah-tengah bumi Indonesia. Allah menempatkan kita dengan maksud untuk menjadi sebuah bangsa. Bangsa yang besar yang memiliki tujuan dan didalamnya menjamin kelangsungan hak dari tiap warga negaranya. Untuk itu janganlah terjebak pada pemikiran-pemikiran yang mampu memecah belah dan menjadikan kita kehilangan jati diri atau identitas asali kita.
     Sebagai kader GMKI, kita harus menyadari bahwa ketika kita dengan iman Kristen hadir di Indonesia, maka ada juga usaha untuk menjalankan wujud iman tersebut dalam konteks pengabdian di bangsa Indonesia. Dengan demikian iman tidak hanya membangun hubungan vertikal dengan Yesus Kristus, namun juga membangun hubungan horizontal dengan masyarakat dimana kita ditempatkan. Untuk itu, kader GMKI dimanapun haruslah menjadi seorang nasionalis. Leimena dalam suatu laporan pernah menekankan agar gerakan mahasiswa Kristen harus berpegang teguh pada nasionalisme, yang merupakan akar dari diri mereka :

"Kekristenan ditempatkan orang Indonesia sejajar dengan Eropaisme dan Kapitalisme; pada pihak lain, nasionalisme dianggap sebagai Komunisme dan pengungkapan dari suatu rasa rendah diri oleh banyak orang Eropa, suatu kecongkakan yang harus ditolak. Para mahasiswa Kristen tidak boleh memerlihatkan bahwa karena mereka Kristen maka mereka juga termasuk pada “kaum sana” (Kelompok Eropa), melainkan bahwa panggilan mereka dan dan kewajiban Kristen adalah untuk bekerja sama sebagai kawan-kawan sekerja dalam membangun bangsa Indonesia, yang ke dalamnya mereka juga terhisab, dan bahwa mereka juga harus menyadari bahwa karena mereka telah memiliki pendidikan yang maju maka mereka merupakan suatu golongan istimewa. […] Pengaruh nasional terus berkembang, dan tidak ada fasal hukum yang dapat merintanginya; dan nasionalisme yang menginginkan suatu Kesatuan melawan pemerintah-pemerintah asing, dan menginginkan suatu negara Kesatuan, memelihara dan saling menghargai kebudayaan, sifat dan kemampuan masing-masing, yang menghendaki suatu bahasa kesatuan, bahasa Melayu yang akan menjadi jembatan di atas banyak bahasa yang kaya, nasionalisme ini juga menuntut dari orang Kristen suatu keyakinan nasional yang murni dan suatu kegiatan nasional".

Dari pemikiran tersebut, tampaklah bahwa GMKI pada masa itu telah dimulai suatu pendekatan baru dari sisi ke-Kristenan terhadap gerakan nasionalisme.
      Nasionalisme GMKI hadir saat adanya kesadaran untuk menyatukan CSV kedalam GMKI. Dengan demikian perjuangan para mahasiswa bukan lagi hanya sebagai orang Kristen, namun juga sebagai bangsa Indonesia. Perjuangan ini memperluas wawasan gerakan pemuda Kristen di Indonesia agar tidak hadir secara ekslusif, namun mencari makna positif kehadiran agama Kristen dalam kebersamaan dengan agama yang berbeda lainnya dalam memperjuangkan keadilan. Yakni keadilan dalam mendapatkan kemerdekaan sebagai sebuah bangsa yang berdaulat, dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Pengabdian terhadap masyarakat, bangsa dan negara merupakan wujud dari menegakkan kehendak Allah didalam kehidupan nasional. Dengan imannya, para mahasiswa Kristen bergerak menegakkan keadilan, dengan menunjukan sikap kritis terhadap kolonialisme dan bentuk penjajahan lainnya.
     Nasionalisme GMKI yang hadir dari kesadaran dan pemaknaan baru dalam mewujudkan iman di bumi Indonesia, terus berlanjut pasca terbentuknya GMKI tahun 1950. Kader-kader GMKI berupaya mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia dengan menjaga persatuan dalam pluralitas. Dalam pelayanan selanjutnya, GMKI membangun kerjasama dengan berbagai institusi, seperti universitas, LSM, media massa dan lainnya. GMKI juga berperan dalam terbentuknya kelompok Cipayung pada tanggal 22 Januari 1972, yang merupakan kebersamaan dalam menjaga nasionalisme antar sesama gerakan mahasiswa. Kelompok Cipayung terdiri dari: HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), dan GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). Selain itu GMKI juga mengambil peranan untuk melahirkan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia). Pembentukan kedua organisasi ini diawali dengan dialog dan keinginan bersama untuk turut serta dalam proses pembangunan nasional. GMKI juga terlibat dalam pembentukan FKPI (Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia), yang merupakan jaringan strategis GMKI dalam pergerakan kepemudaan di Indonesia, untuk membahas berbagai permasalahan bangsa dengan berbagai program kerjasama. Dalam pergerakannya diranah nasionalisme, GMKI menempatkan prinsip moralitas dalam melayani. Ia tidak pernah terjebak dalam politik praktis. Kader-kader GMKI didoktrin untuk melayani dengan ciri ke-Kristenan yang tulus dan penuh akan pengabdian.
      Masih banyak bentuk pelayanan GMKI dalam memaknai nasionalisme yang dimilikinya. GMKI juga turut serta mengumandangkan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) dan GMKI juga hadir dalam pergerakan reformasi. Ideologi nasionalisme Indonesia membawa GMKI untuk terus bergerak tanpa henti dalam menjaga kedaulatan bangsa Indonesia, dan mengawal pembangunan yang terjadi. Kader-kader GMKI yang kental akan rasa nasionalisme kebangsaan Indonesia hadir di berbagai bidang untuk menyemarakkan pembangunan bangsa Indonesia. Rasa cinta akan satu tanah air, satu bahasa dan satu bangsa menggerakan iman dan intelektualitas GMKI untuk selalu hadir dalam pelayanannya dibumi Indonesia. Pelayanan bukan sebagai orang asing, namun pelayan sebagai anak-anak bangsa yang ikut memperjuangkan kemerdekaan dan menjaga kemerdekaan tersebut, agar tetap ada dalam bumi Indonesia.

Oikumenisme GMKI
Oikumenisme adalah sebuah inisiatif untuk mewujudkan kesatuan atau kerjasama diantara berbagai denominasi yang ada dalam keKristenan. Secara epistemologi, kata Oikumenisme berasal dari dua kata Yunani, yakni oikos yang berarti rumah, dan menein yang berarti tinggal atau mendiami. Dengan demikian oikumenisme secara literal berarti tinggal dan berdiam dalam satu rumah. Untuk itu oikumenisme merupakan usaha untuk menjaga kesatuan Gereja (Efesus 4:3). Dan Atau jika kita memaknai dalam Matius 24:14, maka gagasan ini adalah upaya untuk menjadikan dunia sebagai tempat yang layak dihuni oleh semua orang.
     Sejarah Oikumenisme dunia tidak lepas dari usaha WSCF (World Student Christian Federation) yang hadir bersama dalam antar denominasi untuk membawa pemahaman baru dalam kebersamaan dari abad-19 hingga masa kini. Dewan Gereja Dunia dapat berdiri, tidak lepas juga dari peran WSCF. GMKI sebagai salah satu anggota WSCF, sudah barang tentu membawa karakter oikumenisme dalam pergerakannya. Keberagaman dalam pemaknaan ajaran dan doktrin Kristus tidak membuat seluruh denominasi dalam Kristen harus bekerja sendiri-sendiri. Pemahaman bahwa kita merupakan satu tubuh, dan Yesus Kristus adalah kepalanya, merupakan ciri oikumenisme yang menghadirkan bentuk kerjasama sebagai sebuah Gereja. Tidak ada satu denominasi lebih unggul dari denominasi lainnya. Dan tidak ada satu denominasi memimpin denominasi lainnya. Gereja Kristus hadir untuk mewujudkan Kerajaan Allah, dan untuk itulah perlu ada kesatuan gerak bersama dalam satu iman. Antar sesama orang Kristen tidak ada yang ekslusif dan melebihi lainnya. Keberagaman menyatukan kita dalam satu tubuh Kristus.
     Lalu bagaimana peran GMKI dalam makna oikumenisme? Tokoh-tokoh CSV (cikal bakal GMKI), sepertu Johanes Leimena, Nona A.L Franz, dan Sultan Gunung Mulia, telah ikut serta dalam perjuangan menghadirkan oikumenisme didunia dengan hadir dalam konferensi pekabaran Injil sedunia di Yerusalem pada tahun 1928. Setelah itu pada saat lahirnya GMKI, secara sadar GMKI bergabung dengan WSCF sebagai upaya bersama untuk memperjuangkan semangat oikumenisme.
     Didalam negara Indonesia, GMKI juga berperan dalam menjaga kesatuan dan kebersamaan sebagai orang Kristen antar berbagai denominasi. GMKI berperan dalam pembentukan Dewan Gereja Indonesia (DGI) yang selanjutnya diganti nama PGI (Persatuan Gereja-gereja di Indonesia). Hal tersebut tidak lepas dari peran serta Johanes Leimena yang berkeinginan untuk menjaga kerjasama antar denominasi Gereja. DGI dibuat dengan tujuan membentuk Gereja Kristen yang esa di Indonesia. Selain DGI, GMKI juga berperan dalam pembentukan PIKI (Persatuan Intelektual Kristen Indonesia). Selanjunya kader-kader GMKI terus menerus bekerjasama dalam membangun semangat oikumenisme antar denominasi di Indonesia. Ada berbagai bentuk lembaga dan institusi yang merupakan peranan dari para kader GMKI untuk menyatukan kerjasama dan gerakan berbagai institusi Gereja di Indonesia.
     Oikumenisme membawa gerakan mahasiswa Kristen untuk memahami dan memaknai iman Kristen dalam semangat sinergisme pelayanan. Sinergisme ini diakibatkan dari mengoptimalkan potensi keberagaman dibawah kendali iman kepada Kristus, dan meminimalisir adanya persaingan antar denominasi. Semboyan GMKI, ut omnes unum sint merupakan semboyan untuk terus selalu mengingatkan tubuh Kristus (dalam hal ini Gereja) untuk selalu bekerja bersama dan menjaga persatuan dalam pelayanannya.

Tantangan Nasionalisme dan Oikumenisme pada Masa Sekarang
Perkembangan pemikiran dan intelektualitas membawa tantangan bagi ideologi nasionalisme dan konsep oikumenisme. Kedua hal yang mengedepankan kehidupan bersama dalam menuju tujuan bersama, mendapatkan tantangan berat pada kemajuan era saat ini. Teknologi dan keterbukaan informasi membawa terciptanya perubahan semakin cepat. Dan apabila tiap generasi muda Kristen tidak memiliki dasar pijak nasionalisme dan oikumenisme yang tepat, maka akan terjadi kesalahan pemaknaan dalam mencapai sebuah tujuan. Ada beberapa tantangan yang perlu diantisipasi secara bersama.
     Tantangan pertama adalah tidak terkontrolnya perkembangan teknologi informasi, yang mengarah pada keterbukaan dan kebebasan informasi. Hal ini membuat nasionalisme mengalami pergeseran makna. Nasionalisme Indonesia, menjadi hanya sebuah sejarah dalam cepatnya pergerakan teknologi. Nasionalisme Indonesia hadir pada saat ada kompetisi olah raga, dan atau sebuah ancaman secara konkret dari luar negara. Namun ancaman terbesar dari dalam bangsa sendiri yang telah terpengaruh dengan keterbukaan informasi tidak dapat diantisipasi. Kapitalisme merongrong nasionalisme Indonesia. Kecintaan terhadap produk-produk luar negeri, melebihi kecintaan terhadap kualitas produk bangsa sendiri. orang-orang asing lebih mencintai dan bangga bila bercerita tentang Indonesia, ketimbang warga negara Indonesia sendiri yang berada diluar negeri. Masalah-masalah yang terjadi dimasyarakat, dimanfaatkan untuk menaikan rating diskusi di berbagai stasiun televisi. Yang mengakibatkan masyarakat terpengaruh dengan diskusi-diskusi tersebut dan tidak mencintai pemimpinnya sendiri, serta tidak terlibat aktif dalam pembangunan. Masyarakat dicekoki dengan opini dan asumsi yang bisa mengarahkan kepada disintegrasi bangsa.
     Tantangan berikutnya yakni semakin kuatnya budaya hedonis ditengah-tengah generasi muda. Budaya untuk bersenang-senang dan menikmati kehidupan yang gemerlap, menenggelamkan kobaran api nasionalisme untuk berperan serta dalam pembangunan. Budaya mendapatkan ilmu lewat plagiasi, merupakan contoh dari hilangnya integritas sebagai orang Indonesia yang beriman kepada Tuhan. Pesta pora dan kenyamanan hidup menjadi tujuan yang ingin dicapai oleh semua orang. Sikap mau berkorban dan melayani tidak lagi tampak dalam budaya hedonis. Nasionalisme dan oikumenisme menjadi sebuah santapan yang hanya dapat dinikmati dalam buku dan diskusi ruang kelas. Sedangkan diluar kelas, budaya hedonislah yang menguasai.
     Tantangan selanjutnya, yakni dikarenakan kesimpang siuran arah dan tujuan yang dibawa oleh berbagai pemimpin bangsa, membuat muncul ide untuk kembali mempertahankan primodialisme ketimbang nasionalisme. Sikap-sikap mempertahankan kepentingan golongan dan kelompok tertentu menjadi ciri masyarakat Indonesia saat ini. Sekali lagi ini merupakan tantangan besar bagi nasionalisme dan oikumenisme GMKI.
     Semangat nasionalisme dan oikumenisme harus dikembalikan dalam diri tiap kader GMKI dimana saja. sehingga semangat pelayanan ketiga medan layan (Gereja, Masyarakat dan Perguruan Tinggi) dapat dioptimalkan dengan ciri ini. Dan dengan aktivitas kader ditiga medan layan, maka akan mengurangi ancaman terhadap hilangnya jiwa luhur bangsa Indonesia.

Penutup
Kehadiran GMKI di bumi Indonesia adalah merupakan bagian dari rencana dari Kristus sebagai Kepala Gerakan. Untuk itu sebagai kader-kader GMKI, kepemilikian pemahaman dan pemaknaan yang benar akan identitas ke-Kristenan dan ke-Indonesiaan, akan membawa semangat bergerak dengan jiwa nasionalisme dan oikumenisme. Dalam bidang, profesi dan ranah apapun, kader-kader GMKI harus selalu menyadari bahwa tanggung jawab imannya adalah mewujudkan syaloom Allah dibumi Indonesia. Untuk itu peran serta dalam pembangunan masyarakat dan menjaga kesatuan Gereja harus terus dikedepankan dalam menyongsong tantangan perubahan yang semakin cepat.

(Tulisan ini dibawakan Ricky Arnold Nggili, sebagai salah satu materi dalam Masa Perkenalan & Penerimaan (MAPPER) anggota baru GMKI Cabang Salatiga, di Kampus Bina Darma-Salatiga, tanggal 23 Maret 2014)
1 komentar

1 komentar

  • Unknown
    Unknown
    11 Maret 2021 pukul 23.21
    Oikumenisme dan Nasionalisme, semoga senantiasa jadi inspirasi dan pedoman hidup pemuda kristen secara praktik sehari-hari. Amin.!
    Reply