xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

Pendekatan System Thinking dalam Kepemimpinan Transformasional


Abstract
Transformational leadership is expected to continuously create change in this fast-paced world. Comunication technology creates globalization era that is limitless and moving more dynamically. To help trasformation leader in this era, system thinking can be an effective approach to realize the desired goal and vision. System thinking is an intelectual approach to holistically understand the world complexity. Using this approach, change will be created faster and universal values of leader remain sustainable.

Keywords: Transformational leadership, System thinking

Pendahuluan
Abad 21 merupakan masa yang memiliki perubahan sangat cepat dengan kompleksitas dinamika di dalamnya. Kehidupan manusia mengalami perubahan secara cepat dan fundamental. Pola pikir generasi abad ini semakin dinamis dan berkembang luas. Hal-hal konvensional mudah ditinggalkan tanpa ada penyesalan. Manusia abad ini berkemampuan mengaktualisasi diri sebagai bentuk pemberian penghargaan terhadap dirinya sendiri (Komariah, 2008:77).
    Tingginya kebergantungan pada informasi teknologi mengakibatkan generasi di abad ini semakin dinamis dalam berkorelasi dengan bentukan lain di luar dirinya. Thesis McLuhan pada 1960-an tentang masa digital dan komputer yang mengarahkan kepada sebuah perubahan pola komunikasi telah terbukti. Revolusi mengantar komunikasi antarindividu ke arah komunikasi massal. Komunikasi interpersonal dalam ruang pribadi, menjadi konsumsi massal, lalu membentuk identitas personal tertentu. Tren dunia berkembang dari desa menjadi global, dunia dengan keterbatasan menuju pada dunia tanpa batas, atau yang disebut dengan global village (McLuhan, 1999). Dengan kondisi demikian, karakter pemimpin yang perlu dibentuk saat ini tidak lagi sama dengan pola pembentukan karakter pemimpin di masa-masa lalu. Pemimpin saat ini hadir dalam konteks ruang dan waktu saat ini. Generasi saat ini sulit dipimpin dengan pendekatan konvensional dengan garis doktrin tegas. Kebiasaan resign dan membuka usaha sendiri berbasis teknologi atau yang biasa disebut perusahaan startup menjadi pola baru yang banyak diminati generasi abad ini. Hal ini disebabkan adanya kecenderungan banyak orang untuk berupaya bekerja sendiri tanpa tekanan pemimpin. Menurut Direktur Telkomtelstra, Erick Meijer, dibandingkan negara Asia tenggara lainnya, Indonesia pada 2016 tercatat sebagai negara pemilik startup tertinggi. Pola pembentukan karakter pemimpin haruslah juga memperhatikan kecenderungan-kecenderungan tersebut, sehingga mampu menjawab kebutuhan zaman dan siap mengarahkan generasi yang bertanggung jawab.
    Karakter pemimpin yang berintegritas dan bertanggung jawab masih dibutuhkan pada abad 21. Kedua karakter tersebut dapat menjadi kendali mengarahkan generasi sekarang untuk menciptakan masa depan yang lebih pasti. Kepemimpinan merupakan motor penggerak roda perubahan. Perubahan baik tercipta jika digerakkan oleh pemimpin yang baik pula. Kebutuhan karakter pemimpin berintegritas dan bertanggung jawab merupakan syarat mutlak mengarahkan gerak dunia saat ini. Sebagai pemimpin, haruslah mampu menerima, membarui, dan mentransformasi kebudayaan (Pidato Notohamidjojo pada perayaan Dies Natalis I PTPGKI, dalam Kreativitas yang Bertanggung Jawab, 2011). Dalam dunia yang semakin dinamis dan perkembangan teknologi yang semakin cepat, dibutuhkan pemimpin yang mampu melakukan perubahan menggunakan pendekatan system thinking. System thinking merupakan sebuah pendekatan teknis dalam mengelola kompleksitas dan kecepatan sebuah perubahan. Pendekatan system thinking sudah dikenal sejak 1900-an. Pendekatan ini digunakan untuk memahami pola gerak alam semesta dan makluk hidup di dalamnya. Pada awalnya, systems thinking muncul sebagai sebuah reaksi terhadap kesulitan-kesulitan sains untuk menghadapi berbagai permasalahan dalam sistem kompleks. Menurut Chapra (2001), penggagas awal systems thinking muncul dari para ahli biologi, yang memandang bahwa organisme hidup merupakan suatu keseluruhan dan sifat-sifatnya tidak dapat dipisahkan atau direduksi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.
    Kompleksitas tersebut tidak saja hanya tampak dalam sains, tetapi juga dalam kehidupan antara manusia. Sebagai pemimpin, kemampuan untuk mengelola kompleksitas tersebut, merupakan jalan keluar untuk mengarahkan perubahan dunia ke arah yang lebih baik. System thinking membantu sang pemimpin untuk mengelola segala sumber daya yang ada sehingga tidak sembrawut dan tidak terkontrol, namun menjadi teratur dan dapat dikendalikan. Senge (1990) dalam bukunya yang cukup terkenal, The Fifth Dicipline: The Art and Practice of the Learning Organization, menempatkan system thinking sebagai disiplin terakhir atau “disiplin kelima” dalam organisasi pembelajaran (learning organization). Dalam bukunya, Peter M. Senge juga menerapkan penggunaan pola-pola dasar sistem (systems archetypes) untuk membantu memecahkan persoalan-persoalan yang umum ditemukan dalam bidang bisnis dan manajemen. Memahami system thinking sebagai pendekatan dalam menjalankan fungsi kepemimpinan, merupakan upaya menjaga integritas dan tanggung jawab dalam memimpin. Selain system thinking telah diterapkan dalam cara kerja mekanis berbagai ilmu, dan digunakan oleh para filsuf untuk memahami kinerja alam semesta, serta oleh para manajer dalam penerapan manajemen organisasi secara efektif. Dalam pengembangan karakter kepemimpinan, system thinking belum mendapatkan tempatnya. Peter Senge berupaya menempatkan system thinking melalui lima prinsip praktis dalam mempelajari organisasi (Senge, 1990). Namun hal tersebut hanya menyentuh ranah organisasional dan tidak menyentuh ranah karakter pemimpin.
    Berpikir sistemik merupakan syarat mutlak untuk mengendalikan setiap komponen yang ada dalam percepatan gerakan dunia saat ini. Semua hal yang terdapat di sekitar kita dan kejadian yang terjadi di dunia ini merupakan sebuah sistem yang saling berkaitan dan terhubung satu dengan lainnya. Banyak unsur dan elemenelemen yang terkait satu dengan lainnya. Sistem merupakan suatu susunan elemen yang membentuk suatu kegiatan atau suatu prosedur/skema yang berorientasi ke arah tujuan yang sama. Dalam sistem ada suasana berinteraksi, saling terkait, dan saling ketergantungan guna membentuk suatu kelompok yang kompleks dan terpadu. Melalui pendekatan system thinking, pemimpin dapat mengoptimalkan karakter kepemimpinan transformasional pada ranah praktis. System thinking dapat secara praktis diterapkan dalam mengontrol dan mengembangkan karakter kepemimpinan seseorang.

Kepemimpinan Transformasional
Perkembangan paradigma kepemimpinan berhenti pada kepemimpinan transformasional. Gaya kepemimpinan ini menekankan pada ketepatan sang pemimpin dalam mengadakan perubahan. Paradigma kepemimpinan yang diperkenalkan oleh James MacGregor Burn dan Bernard Bass (Eisenbach, et al., 1999) ini, fokuskan perhatiannya pada kepemimpinan karismatik, yang mampu menciptakan visi dan lingkungan yang mampu memotivasi anggotanya untuk berprestasi melampaui harapan.
    Dalam kepemimpinan transformasional, seorang pemimpin dapat mentransformasi orang-orang yang dipimpinnya melalui empat hal (Bass & Avolio, 1994). Pertama, transformasi lewat idealized influence (charisma), artinya seorang pemimpin memiliki integritas perilaku terhadap kesesuaian esphased values dan eancted values. Pemimpin haruslah mampu menjadi role model positif. Hal tersebut tercermin dalam standar moral dan etika yang ditunjukkan oleh sang pemimpin. Ia tidak hanya mampu menanggung risiko, tapi juga memberi visi dan misi, serta menanamkan kebanggaan dalam diri tiap orang di sekelilingnya. Pemimpin seperti ini selalu memiliki kemampuan adaptasi dan mempengaruhi orang lain sangat baik. Kedua, transformasi lewat inspirational motivation. Pemimpin transformasional haruslah memiliki kemampuan komunikasi untuk memotivasi dan menginspirasi orang-orang yang dipimpinnya. Ia harus mampu mendeskripsikan tujuan-tujuan penting dengan cara-cara sederhana dan mudah dimengerti. Ia juga harus menjadi sumber inspirasi dalam bergerak, dan membangkitkan antusiasme semangat kerja sama dalam kelompok yang dipimpinnya. Ketiga, transformasi lewat intellectual stimulation, yang menempatkan pemimpin transformasional sebagai pencipta kondisi kondusif guna berkembangnya inovasi dan kreatifitas dari orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin mendorong orang-orang di sekitarnya memunculkan ide-ide baru dan solusi kreatif atas masalah-masalah yang dihadapi. Ia tidak memanfaatkan status quo yang dimilikinya, tapi menggunakan sharing of power yang melibatkan orang-orang di sekitarnya untuk melakukan perubahan. Ia yakin bahwa tiap individu memiliki intelektual berbeda berdasarkan pengalaman hidup mereka. Dengan menstimulasi pengalaman tersebut, maka tiap individu akan bekerja dengan kemerdekaan serta tingkat keberhasilan tinggi. Keempat, transformasi lewat individualized consideration. Dalam hal ini, pemimpin transformasional memberikan perhatian khusus terhadap kebutuhan setiap individu untuk berprestasi dan berkembang dengan jalan bertindak selaku pelatih atau penasihat. Pemimpin menghargai dan menerima perbedaanperbedaan individual dalam hal kebutuhan dan minat. Tugas yang didelegasikan akan dipantau untuk memastikan bahwa orang-orang yang dipimpinnya membutuhkan arahan atau dukungan tambahan dan untuk menilai kemajuan yang dicapai.
    Bass (1985) menegaskan bahwa kepercayaan bawahan merupakan konsekuensi logis dari kepemimpinan transformasional. Kepercayaan merupakan faktor mendasar dalam menerapkan manajemen perubahan, karena hal itu dibutuhkan untuk pengambilan risiko yang merupakan bagian terintegrasi dari transformasi organisasional. Kepemimpinan transformasional kerap diidentifikasi melalui pengaruhnya terhadap sikap, nilai, asumsi, dan komitmen para pengikut. Jika bawahan bersedia mengubah sikap, nilai, asumsi dan komitmennya untuk selaras dengan organisasinya, maka diyakini mereka memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi atas integritas dan kredibilitas pemimpinnya. (Kouzes &Ponser, 1997). Hasil riset deskriptif yang dilakukan oleh Tichy & Devanna (1990) menunjukkan pemimpin transformasional melakukan proses transformasi yang meliputi tiga tahap pokok. Pertama, mengidentifikasi kebutuhan perubahan. Pemimpin memperhatikan dan memahami lingkungan di sekitarnya, baik secara internal maupun eksternal. Ia mendeskripsikan secara komprehensif setiap variabel dalam lingkungan kekuasaannya, lalu menganalisis kebutuhan untuk masa akan datang. Kedua, pemimpin menciptakan visi baru demi menjawab kebutuhan perubahan. Ia mendefinisikan kembali capaian capaian yang akan digapainya di masa akan datang. Visi tersebut bukanlah sebuah target jangka pendek, tetapi sebuah keinginan tertinggi yang mampu memberikan dampak secara luas. Ia tidak hanya ikut dalam gerakan perubahan yang terjadi, namun juga menciptakan arus perubahan baru. Ketiga, melembagakan perubahan. Pemimpin transformasional berpikir dan bertidak secara sistematis sehingga mimpi perubahan dapat terwujud. Ia mengkomunikasikan, mendelegasikan, dan membuat kondisi yang kondusif dalam mewujudkan arus perubahan tersebut. Pemimpin transformasional selalu dapat berhasil melakukan perubahan dengan cara beradaptasi dengan setiap tahapan proses perubahan. Apabila cara-cara lama dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini, maka ia akan merumuskan visi baru untuk menciptakan masa depan dengan strategi yang tepat. Secara umum kepemimpinan transformasional menjanjikan perubahan dengan tujuan yang pasti, serta melibatkan seluruh komponen.
    Dalam masa yang mengedepankan kecepatan infomasi dan komunikasi, serta tingginya peluang kemungkinan untuk terciptanya perubahan, kepemimpinan transformasional merupakan paradigma yang tepat dalam menyongsong masa tersebut. Berbagai bentuk kecederungan merupakan potensi untuk terciptanya perubahan. Visi, strategi, peran dan pelibatan sumber daya merupakan tools yang harus diperhatikan secara efesien dan efektif untuk melakukan perubahan.

System thinking sebagai Sebuah Pendekatan
System thinking merupakan sebuah teori yang sudah berkembang sejak lama dalam dunia sains. Sistem berpikir memiliki silsilah intelektual yang panjang dan rumit, dan memiliki berbagai variasi pendekatan yang berbeda dari berbagai disiplin ilmu dan transdisiplin bentuk (Myers, 2006). Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyintesis sistem berpikir dalam paradigma teoritis menyeluruh, yang meliputi ilmu-ilmu alam dan manusia (Midgley ,2005). Teori ini memahami sistem secara universal sebagai proses terbuka untuk berubah melalui internal self-regulation dan atau interaksi umpan balik dengan lingkungan.
    Pemikiran sistem adalah cara memahami realitas yang menekankan hubungan antara bagian-bagian sistem, dari pada bagian yang berdiri sendiri. Dalam pengertian yang paling sederhana, system thinking memberi gambaran yang lebih akurat dari realitas, sehingga dapat bekerja semaksimal mungkin untuk mencapai hasil yang diinginkan. Hal ini mendorong kita untuk berpikir tentang masalah dan solusi dengan berpikir jauh ke depan. System thinking dibangun di atas dasar kompleksitas, dinamis dan holistik.
    Lingkungan sebagai sebuah sistem memiliki kompleksitas. Kompleksitas kata dasarnya dari kata bahasa Inggris yakni, complex yang berarti “rumit”. Sedangkan kompleksitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diberi arti kerumitan atau keruwetan. Guna memperoleh pengertian dasar, para peminat studi kompleksitas memberi batasan bahwa kompleksitas pada prinsipnya suatu keadaan antara keteraturan dan kesemrawutan (a condition between order and chaos). Hal ini merupakan ciri utama dalam sebuah sistem. Frederick Winslow Taylor (2004) mengatakan kompleksitas menjadi sesuatu yang membantu para pemimpin saat ini dan pemimpin masa depan untuk semakin memahami perkembangan teknologi, globalisasi, pasar, perubahan budaya, dan lebih banyak lagi. Teori sistem (the theory system) dikembangkan demi memahami kompleksitas dengan menggunakan pendekatan interdisiplin untuk mempelajari sistem kompleks tersebut. Teori Sistem dikembangkan oleh Ludwig von Bertalanffy, William Ross Ashby, dan lainnya pada dekade 1940-an sampai 1970-an. Teori sistem dikembangkan berbasiskan prinsip-prinsip ilmu fisika, biologi, dan maematika. Lalu berkembang juga teori berbasis ilmu filsafat, sosiologi, manajemen, psikoterapi, dan ekonomi. Dua objek yang menjadi fokus utama teori sistem adalah kompleksitas dan kesaling terhubungan. Selanjutnya, ciri system thinking berikutnya adalah holistik. Holistik berasal dari holism, yang merupakan suatu paham bahwa suatu sistem tidak bisa dipandang dari bagian-bagiannya saja. Sistem secara keseluruhan mempengaruhi bagaimana bagian bekerja. Prinsip holisme sendiri diutarakan Aristoteles “Keseluruhan lebih dari bagian dari anggota-anggotanya.” Suatu sistem besar maupun kecil dapat dilihat secara holistik dengan menggunakan helicopter view. Tools tersebut membantu seseorang memahami lingkungan dengan menyeluruh dan spesifik. Dengan memahami system thinking, maka perubahan dapat dikendalikan oleh seseorang. Dunia yang semakin kompleks dan dinamis dengan mudah diidentifikasi dan dikendalikan. System thinking memberikan sebuah pendekatan baru dalam menciptakan putaran transformasi.

Memahami Penerapan Hard System & Soft System dari system thinking
Dalam teori ini memahami lingkungan sebagai struktur dan sistem yang tidak pernah secara teoritis diselesaikan (Luhmann, 1988). Secara umum system thinking merupakan teori yang memahami sistem secara menyeluruh, memetakan dan menganalisisnya, serta memahami dan mengontrol perubahan dalam sistem. System thinking memahami dunia sebagai sebuah organisme yang saling memiliki keterhubungan satu sama lainnya. Dalam pendekatan fisika, dunia dipahami sebagai cybernetic yang terdiri dari dua sistem, yakni hard system dan soft system. Hard system fokus pada kinerja hukum fisika umpan balik energi negatif. Pada sistem ini mengedepankan controlling untuk menjaga stabilitas sistem. Sedangkan soft system fokus pada kemungkinan umpan balik positif yang berfokus pada terciptanya perubahan. Pada penerapannya dalam sistem yang terintegratif, kedua sistem dibangun dengan tujuan, sehingga ada penggabungan pendekatan dalam memahami masalah dan menciptakan solusi bagi masalah tersebut. Menurut Checkland (1999) berpikir sistem cenderung lebih objektif, integratif, dan mencakup pengamatan menyeluruh terhadap sebuah sistem.
    Dalam system thinking, kompleksitas dan dinamika merupakan syarat utama untuk mengetahui sebuah sistem bekerja. Sistem dalam alam semesta menurut Checkland (1999) tidak memerlukan campur tangan manusia, karena dapat secara sistemik dengan sendirinya. Akan tetapi dalam organisasi, sistem dapat dipelajari dan dikendalikan perubahan dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, bahwa sistem merupakan realitas ontologis yang dapat diamati, dan diselidiki untuk tujuan tertentu (Checkland& Scholes, 1990). Demi memahami perubahan yang terjadi begitu cepat dalam dunia saat ini, seorang pemimpin dapat menggunakan system thinking untuk menganalisa serta menyelidiki perubahan-perubahan tersebut. Guna memahami system thinking secara cybernetics perlu pendekatan hard system dan soft system. Dengan pendekatan hard system akan tercipta formula yang tepat sebagai hasil dari proses analisis sistem. Dalam hard system thinking dikategorikan dua aktivitas, yakni system engineering dan operations research. System engineering menitik beratkan optimasi sumber daya pada sebuah sistem, sedangkan operation research menitik beratkan pada langkah-langkah pemecahan masalah dalam sistem tersebut. System engineering terdiri dari empat tahapan metodologi dalam mengoptimalkan sistem, sebagaimana yang dijelaskan oleh A. D. Hall (dalam Jackson, 2003:51-54). Pertama, system analysis yang berisikan seperangkat pertanyaan untuk dianalisis jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti: mengapa itu bisa terjadi? Apa yang sedang terjadi? Apakah ada peluang untuk membuat sebuah sistem yang lebih baik? Ditambah lagi pertanyaan yang bertujuan mendefinisikan secara jelas cara kerja, tujuan dan tiap variabel dalam sistem. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan analisis tersebut, dibutuhkan data dan informasi yang obyektif. Kedua, system synthesis yang merupakan tahap dalam melakukan aktivitas peramalan lingkungan masa depan, pembuatan model perencanaan perubahan, pengembangan berbagai alternatif baru, dan pemilihan alternatif terbaik. Pada tahap ini terjadi penggabungan berbagai variabel dalam sistem yang sudah dianalisis, untuk merancang sebuah rencana aksi perubahan. Ketiga, implementation yang merupakan tahap mempresentasikan dan mengkomunikasikan alternatif terbaik untuk diimplementasikan. Pada tahap ini dibangun sebuah sistem yang optimal untuk mendukung efesiensi dan efektifitas dari sistem. Keempat, operation, tahap terjadinya pendelegasian atau penyerahterimaan sistem yang telah dibuat kepada mereka yang mendapatkan tugas untuk mengoperasikan sistem tersebut secara rutin. Pada tahap ini dihindarkan ambiguitas pengertian terhadap sistem yang baru, dan in-efesiensi yang mungkin terjadi pada masa transisi perubahan. Dengan membangun system engineering yang optimal, maka akan tercipta sebuah sistem kontrol yang baik terhadap perubahan sistem. Hard system membantu pengamat untuk mendeskripsikan sistem dan perubahan yang sedang terjadi. Dengan membangun sistem seperti ini, maka organisasi secara internal akan optimal dalam bekerja.
    Lalu bagaimana agar organisasi dapat menghadapi lingkungan luar yang semakin cepat berubah? Seorang pemimpin perlu memahami juga soft system yang sebenarnya terintegrasi dengan hard system. Dalam soft system dirancang sebuah sistem yang menghubungkan antara sistem berpikir dan dunia nyata (real world). Hal ini membantu seorang pemimpin untuk mengimplementasikan idealismenya dengan dunia riil yang sarat akan kompleksitas. Dalam soft system secara tegas ia membagi dua bagian dunia, yakni dunia pemikiran dan dunia riil.



Ada lima tahapan yang dilakukan di dunia riil dan dua tahapan di dunia pemikiran. Tahapan pertama dalam membangun soft system adalah kesadaran adanya masalah atau perubahan. Seorang pemimpin harus memahami bahwa sedang terjadi masalah atau sebuah perubahan. Dengan kesadaran inilah maka akan tercipta langkah-langkah berikutnya. Tahapan kedua, pemimpin harus mampu untuk mengekspresikan atau memaparkan perubahan tersebut. Pada tahapan pertama dan kedua ini, pemimpin menyadari adanya perubahan dalam masyarakat yang sedang terjadi. Hal tersebut terjadi dalam dunia riil dan dapat ditangkap atau dideteksi dengan indera sang pemimpin. Hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai tanda-tanda terjadinya perubahan, yakni perilaku pada struktur, proses, iklim, orang, isu yang ditunjukan oleh banyak orang, dan konflik. Tanda-tanda tersebut dapat digambarkan dalam rich picture, yang merupakan gambaran keseluruan perubahan. Tahapan ketiga, mendefinisikan akar dari masalah yang tampak dalam dunia riil. Pada tahapan ini pemimpin dapat menggunakan analisis CATWOE (Customer, Actor, Transformation, Weltanschauung, Owner, Environment). Dengan menganalisis dan mendefinisikan kembali masingmasing variabel perubahan yang terjadi, maka pemimpin membangun kerangka intelektualitas dalam memahami realitas. Tahap keempat, membuat dan membangun model. Dengan menggunakan hasil identifikasi dari CATWOE, lalu dibangunlah model relasi dan korelasi antara tiap variabel. Tahap ketiga dan keempat ini dibuat dalam dunia pemikiran, karena membangun model representasi dari realita dan dibuatkan model solusi perubahan baru yang diinginkan. Tahap kelima adalah membandingkan kembali antara model yang telah dibuat dengan dunia riil. Model perubahan yang diinginkan disandingkan dengan sistem yang riil dalam lingkungan, dan melihat kesesuaiannya. Bagaimana sistem yang baru tersebut bekerja dalam dunia riil? Bagaimana cara mengukur capaiannya? Apakah prosesnya akan berlangsung secara baik? Pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk melihat perbandingan sistem baru dengan dunia riil. Tahap kelima kembangkan perubahan yang nyaman, aman dan dapat diterima oleh lingkungan. Pada tahapan ini perlu diperhatikan faktor lainnya yang juga berpengaruh secara tidak langsung, seperti politik dan orangorang berkepentingan lainnya. Tahap keenam yakni tindakan untuk meningkatkan situasi. Apabila lingkungan sudah ada dalam kendali sistem, maka pemimpin harus meningkatkan kekuasaan kendali terhadap lingkungan sehingga makin luas cakupan pengaruh dari sistem tersebut.
Soft system menciptakan sebuah sistem baru yang dapat diterima dan diinginkan oleh masyarakat. Perubahan akan mudah dilakukan, apabila realitas mampu didefinisikan secara intelektual dan mendapatkan solusi cerdas tanpa mengganggu tatanan dasar dari lingkungan. Apabila seorang pemimpin mampu membangun hard system dan soft system secara bersamaan, maka ia akan menciptakan kelangsungan kepemimpinan dan orang-orang yang dipimpinnya. System thinking mampu untuk melihat secara komprehensif tantangan dan peluang dari seluruh sistem didunia ini.

Penerapan Operasional System Thinking dalam Kepemimpinan Transformasional
Dalam lingkungan dunia yang serba kompleks dan dinamis saat ini, dibutuhkan sebuah pendekatan yang tepat untuk memahami lingkungan tersebut. Setiap individu dapat menjadi pengendali perubahan sebagaimana setiap orang dapat membentuk dirinya menjadi permimpin. Kepemimpinan tidak lagi dengan cara mempertahankan status quo, namun memperluas jangkauan kekuasaan dan pengaruh. Dibutuhkan pula kemampuan lebih dari seorang pemimpin untuk mewujudkan perubahan yang terarah dalam lingkungan yang serba mandiri. Paradigma kepemimpinan transformasional dengan pendekatan system thinking dapat membantu seorang pemimpin mengoptimalkan kepemimpinannya. Bernard Bass, et al (2006) menyatakan : “Transformational leaders transform the personal values of followers to support the vision and goals of the organization by fostering an environment where relationships can be formed and by establishing a climate of trust in which visions can be shared.”
    Informasi dan komunikasi tidak lagi dikuasai oleh satu orang atau sebuah lembaga, namun menjadi konsumsi kendali setiap individu yang memiliki kemampuan mengendalikannya. Startup company, socio-preneurs, komunitas silicon company dan masih banyak lagi perubahan yang tercipta dengan secara sengaja untuk mengendalikan masyarakat luas, demi capaian tujuan tertentu. Para individu yang masuk menjadi transformer dalam dunia saat ini tak lagi melihat kematangan usia, tetapi fokus pada kematangan ide dan strategi. Melihat kondisi tersebut, maka pemimpin yang tercipta saat ini haruslah para individu yang mampu menguasai pendekatan dan tools dalam memimpin. Pemimpin trasformatif bukanlah seorang pemimpin yang memiliki aura spiritual, tetapi sosok pemimpin yang berkarakter dan berintegritas. Karakter dan integritas tersebut tampak dari cara dia melihat kondisi sekitar dan menangkap peluang untuk menciptakan perubahan di masa datang. Transformatif bukanlah situasional, namun memiliki pegangan dasar yakni tujuan dan visi. Dengan melakukan perubahan untuk mencapai visi serta tujuan, maka seorang pemimpin menyadari keterpanggilannya tanpa takut pada kondisi dimana ia berada.
    System thinking merupakan sebuah pendekatan dengan kekayaan tools yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan karakter kepemimpinan transformasional. Dunia yang bergerak serba cepat dengan relasi antar individu yang sangat dinamis, menuntut seseorang yang memiliki kepekaan, insisiatif dan kreativitas dalam menciptakan perubahan. Dengan system thinking, seorang pemimpin dapat menjalankan karakter kepemimpinan dengan sistem manajemen yang tepat. Tools sederhana system thinking yang dapat digunakan dalam untuk melihat kondisi dan situasi sekitar pemimpin transformasional yakni helicopter view. Helicopter view dapat digunakan untuk melihat secara holistik lingkungan yang bergerak sangat cepat (Edson, 2008). Helicopter view dapat melihat kondisi sebuah sistem dari jarak 100 meter, 500 meter, 1000 meter bahkan lebih, berdasarkan kebutuhan data dan informasi yang dibutuhkan oleh penggunanya. Dengan melihat dari tempat yang lebih tinggi, maka sistem akan jelas terpampang secara holistik. Untuk itu gambaran umum dari sebuah lingkungan akan mudah dipetakan. Jika turun lebih rendah lagi, maka akan tampak lebih jelas variabel-variabel independent dan dependent. Pemimpin akan lebih mudah melihat tiap komponen dan perilaku yang bersinggungan dalam komponen-komponen tersebut. Sistem masyarakat khusus dan umum akan teridentifikasi dengan sangat jelas.Tidak dapat dipungkiri oleh siapapun juga bahwa kita semua menghadapi lingkungan yang dinamis, kompleks, dan tingkat ketidakpastiannya tinggi. Untuk itu dengan memahami lingkungan tersebut, dapat membantu untuk mewujudkan visi dan tujuan dari seorang pemimpin. Seorang pemimpin dapat mengamati secara menyeluruh kondisi dan situasi yang dihadapinya di masyarakat. Ia tinggal memainkan tombol up dan atau down untuk melihat secara komprehensif dan atau detail untuk memahami lingkungan di sekitarnya. Pada saat ia berada di atas tiga tingkatan view, maka ia akan memahami kondisi masyarakat secara menyeluruh, dan memahami keterhubungan dari tiap bagian dari sistem di masyarakat. Hal sebaliknya terjadi, saat ia berada di tingkatan view ke dua dan ketiga, sang pemimpin akan lebih detail melihat situasi dalam sudut yang lebih sempit dan terfokus. Dengan menggunakan tools ini untuk mengenal lingkungannya, maka sang pemimpin telah memahami secara detail keterhubungan dan komplesitas situasi yang dihadapinya. Hal ini memudahkan ia dalam menerapkan kepemimpinan yang tepat.



Setelah itu mulailah dengan membangun sebuah sistem untuk menciptakan perubahan. Perlu untuk membangun hard system yang berhubungan dengan pola komunikasi dan interaksi dalam sistem. Dibangun sebuah sistem yang merupakan sintesa dari berbagai komponen dalam sistem. Sintesa tersebut haruslah mampu untuk menjawab tujuan dan visi dari seorang pemimpin. Karena merupakan system engineering maka sintesa tersebut haruslah mampu untuk diimplementasikan secara optimal. Perlu diketahui bahwa system engineering merupakan mesin utama dari visi sang pemimpin. Apabila system engineering-nya tidak benar, maka gerak seluruh anggota tidak akan menunju pada tujuan dan visi yang diciptakan, namun menjauh dari arah yang diharapkan. Setelah itu perkuat juga sistem dengan operation system, hal ini untuk membantu sistem dalam mengatasi masalah-masalah yang mungkin saja terjadi pada saat sistem sedang bekerja. Dengan operation system, maka tercipta autophoesis yang merupakan imun pelindung bagi sistem dalam bekerja. Sistem ini membantu keseluruan kerja sistem untuk bergerak secara optimal, dan tidak terjebak pada masalah-masalah yang kecil pada saat bergerak.
    Hal pertama yang dilakukan individu agar dapat menjadi pemimpin adalah melakukan analisis terhadap dirinya, seperti membangun pertanyaan, sistem apa yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin transformasional dalam diri? Sehingga ia dapat hadir dalam berbagai situasi; apa yang terjadi dalam masyarakat saat ini? Sehingga sistem ini dapat diolah untuk membuat perubahan; apakah ada peluang terjadinya perubahan? Dan beberapa pertanyaan detail lagi berdasarkan hasil pengamatan yang dilihat lewat helicopter view. Setelah itu maju ketahap kedua, yakni system synthesis. Pada tahap ini sang pemimpin melakukan pemodelan karakter kepemimpinan dalam dirinya. Karakter kepemimpinan transformasional seperti integritas, tanggung jawab, kejujuran, memiliki visi perubahan dan lainnya, haruslah menjadi model utama dari sistem. Model utama tersebut di gabungkan dengan situasi dan kondisi yang relevan di luar diri sang pemimpin. Kondisi masyarakat yang kontekstual dan kompleks haruslah menjadi target perencanaan perubahan. Dengan menggabungkan model kepemimpinan dalam diri dan kondisi konteks di luar diri, maka terciptalah sebuah alternatif perubahan yang lebih efektif. Pada tahap ketiga adalah menerapkan bentuk komunikasi dan presentasi diri yang baik, sehingga rencana perubahanan dapat terwujud. Tahap keempat adalah jadikanlah model tersebut menjadi aktivitas rutin dan diterapkan secara bertanggung jawab, sebagai bagian dari pemimpin transformasional, hingga perubahan yang diharapkan terwujud.


Berikutnya kembangkan soft system yang mampu memperluas jangkauan kekuasaan dan pengaruh dari sang pemimpin. Karena soft system bekerja dengan mempertimbangkan realitas kondisi sekitar pada waktu tertentu. Sistem ini merupakan upaya dari seorang pemimpin untuk melakukan ekspansi pengaruh dari visi idealnya. Soft system merupakan pemodelan dari realitas yang membantu seseorang untuk menemukan solusi dan perilaku yang tepat dalam bertindak di dunia riil.
   Untuk membangun soft system sebagai bentuk pemecahan masalah realitas dalam event tertentu, maka sang pemimpin dapat menjadikan masalah sebagai sarana perubahan. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah sang pemimpin harus memahami secara umum masalah yang sedang dihadapi. Masalah tersebut dapat berupa fenomena dan atau perubahan yang bersifat event. Selanjutnya pada tahapan kedua, sang pemimpin harus menggambarkan dengan menggunakan tool rich picture (Edson, 2008), ekpresi dari masalah atau perubahan yang terjadi. Kompleksitas masalah harus tergambarkan secara detail dalam tahap ini. Awal membuat rich picture dengan menetapkan batasan dari sistem masalah dan atau perubahan yang tampak. Selanjutnya lukiskan dan tulis tiap variabel masalah dan perubahan yang ada dalam sistem tersebut. Tiap variabel tersebut haruslah dapat ditangkap dengan indera dan memang benar-benar terjadi di dalam sistem. Tahapan selanjutnya yakni, mendefinisikan akar masalah, dengan cara menganalisis CATWOE. Masing-masing variabel harus dianalisis dan didefinisikan guna menentukan bagian variabel mana yang customer, actor, transformation, weltanschauung, owner dan environment. Dengan melakukan tahap ini, maka sang pemimpin telah melakukan deskripsi secara jelas masalah dan variabel-variabelnya. Tahap keempat adalah tahap membangun model perubahan dan atau problem solving. Pada tahap ini pemimpin transformasional akan membuat sebuat pendekatan yang tepat terhadap situasi dan kondisi masalah. Model yang diciptakan akan melampaui hal-hal konvensional yang sering dilakukan dalam penyelesaian masalah dan membuat perubahan. Model tersebut disesuaikan dengan kondisi riil, sehingga indikator ketercapaian penyelesaian masalah dan perubahan terukur secara jelas. Setelah hal tersebut dilakukan, maka tahap kelima yakni kembangkan perubahan secara efesien dan efektif. Dan pada akhirnya, apabila masalah dan atau perubahan sudah terjadi, maka aktivitas sang pemimpin selanjutnya dalam sistem adalah meningkatkan situasi kendali dalam sistem. Sehingga perubahan tidak hanya terjadi dalam skop yang kecil, namum meluas ke skop yang lebih besar. Model perubahan tersebut dapat menciptakan masyarakat transformasional.
    Dengan membangun sistem seperti ini, maka seorang pemimpin mampu secara spesifik dan terukur mewujudkan tugas dan panggilannya di manapun dia berada. Ia dapat menciptakan sebuah dunia tempat semua manusianya belajar untuk menghadapi sekaligus menaklukkan lingkungannya. Dalam sebuah sistem membutuhkan arahan, motivasi, dan panduan dari seorang pemimpin untuk menuju pencapaian tujuan organisasi. Untuk itu dalam hard system sudah tercakup di dalamnya cara dan nilai (value) yang sudah ditetapkan dalam sistem.  Pemimpin sebagai individu memiliki berbagai karakter yang memengaruhi efektifitas kepemimpinannya. Salah satu bentuk kepemimpinan yang mampu mengefektifkan organisasi belajar (learning oganization) adalah kepemimpinan transformasi. Saat ini kita hidup pada era bisnis yang sangat kompetitif, saat ekonomi berbasis pengetahuan dan kewirausahaan yang didorong oleh teknologi inovatif menjadi sangat mendominasi. Kelangsungan hidup tergantung kepada seberapa cepat beradaptasi dengan perubahan. Maka dengan demikian, model sistem organisasi yang terus belajar seperti ini, menjadi model yang tepat dan diharapkan memiliki kapasitas untuk berubah dan memperbaiki diri karena adanya proses belajar untuk memperoleh pengetahuan dan kemampuan bersaing. Peter Senge (1990) telah mengidentifikasi beberapa peran pemimpin dalam organisasi pembelajar, yaitu pemimpin sebagai perancang (as designers), pemimpin sebagai guru (as teachers) dan pemimpin sebagai pramugara (as stewards).

Penutup
Pemimpin-pemimpin yang tidak adaptif dan fleksibel terhadap tuntutan perubahan yang dihadapi dunia saat ini, akan tersingkir secara alamiah karena dunia membutuhkan pemimpin baru yang bersedia untuk membuat perubahan revolusioner yang akan memungkinkan mereka untuk tetap kompetitif dalam lingkungan yang kompleks dan dinamis. Pemimpin harus memberikan perhatian secara menyeluruh terhadap orang-orang yang dipimpinnya, dan lingkungan yang menjadi wadah ia untuk mewujudkan visi idealnya. Untuk itu pendekatan system thinking dapat menjadi tools yang tepat dalam menjawab kebutuhan manajerial.
    Ada beberapa hal yang dapat dicatat sebagai upaya menjadi pemimpin trasnformatif menerapkan pendekatan system thinking di era yang penuh persaingan saat ini. Pertama, kepemimpinan transformasional bukanlah hanya berkaitan dengan karisma seorang pemimpin, tetapi juga berkaitan dengan keberlanjutan visi sang pemimpin. Untuk itu sang pemimpin haruslah melihat secara holisitik dan berkelanjutan karakter kepemimpinan yang diterapkan oleh dirinya. Kepemimpinan transformatif dapat menjaga hal tersebut dengan menjaga sikap integritas dan tanggung jawab. Hal tersebut dapat ditampakkan juga dalam wujud sebuah sistem kerja. Kedua, pada tataran manajerial, para pemimpin transformasional seringkali mengalami kesulitan untuk menjamin keberlanjutan visi. Hal ini dikarenakan orang-orang yang dipimpinnya sering termotivasi hanya oleh dirinya. Untuk itu sistem transformasi tidak berlanjut pada saat ia tidak memimpin. Dibutuhkan sebuah pendekatan yang tepat dalam mengendalikan karakter kepemimpinan, sehingga tidak tercipta pengultusan terhadap sang pemimpin. Dengan system thinking, seorang pemimpin dapat membangun sebuah mesin raksasa yang dapat bekerja secara otomatis dalam menjaga karakter dan jiwa kinerja untuk pewujudan visi sang pemimpin. System thinking dapat membantu seorang pemimpin untuk membangun sebuah sistem belajar yang terus bergerak menunju pewujudan visi dan mampu untuk melakukan evaluasi diri dengan sendirinya. Sistem tersebut terkontrol di atas dasar karakter transformasional sang pemimpin. Namun tidak hanya dipahami oleh sang pemimpin, namun juga dipahami oleh seluruh orang-orang yang dipimpinnya. Hal ini membantu organisasi dan atau institusi yang dipimpin oleh seorang pemimpin terus bertahan dalam dunia yang akan berubah secara cepat. Ketiga, pendekatan holistik dalam system thinking merupakan pengembangan kepemimpinan secara utuh, menyeluruh, selaras dan terpadu mencakup pengembangan personal mastery (bagaimana menjadi pribadi yang efektif ketika memimpin orang lain), leadership mastery (bagaimana mempengaruhi dan memberdayakan orang lain), business mastery (bagaimana memiliki wawasan dan pemahaman bisnis), dan governance mastery (bagaimana mengelola bisnis berdasarkan tata kelola yang baik dan benar). Keempat, kompleksitas dan dinamika dalam dunia saat ini bukanlah sesuatu yang salah, namun merupakan peluang untuk mewujudkan visi dan tujuan seorang pemimpin. Kompleksitas yang ditunjukkan dunia lewat semakin tingginya independensi tiap individu, lalulintas relasi antar individu yang semakin padat, menjadi peluang bagi para pemimpin untuk lebih cepat mewujudkan visinya. Selain itu suasana dinamis yang tercipta sebagai akibat dari interaksi antar individu membuat terciptanya lingkungan yang kondusif untuk pewujudan tujuan dari seorang pemimpin. Kompleksitas dan dinamika yang dikelola secara tepat oleh system thinking mampu menjadi sumber energi positif bagi kepemimpinan transformasional.
    Perubahan akan lebih mudah tercipta dengan system thinking. Pendekatan engineering, organisme dan mathematic dapat membantu seseorang memahami makna kehadirannya dalam sebuah lingkungan. Apa yang harus ia lakukan agar tercipta perubahan? Dan ia harus memulai dari mana? Dan akan ke arah manakah perubahan yang diciptakan olehnya? Jawaban atas semua pertanyaan itu adalah, semua perubahan dapat terwujud saat setiap komponen dalam dunia ini mampu teridentifikasi. Hasil identifikasi tersebut membuat seorang pemimpin dapat menggerakkannya ke arah yang seharusnya dituju. Pemimpin transformasional merupakan seseorang yang mampu mewujudkan perubahan dan mengendalikan arah dari perubahan tersebut.

Daftar Pustaka
  • Bass, B.M. 1985. Leadership and Performance Beyond Expectations. New York: The Free Press
  • Barry, Richmond. 1991. Systems Thinking:Four Key Questions. USA: High Performance Systems, Inc.
  • Bass, B.M., Avolio, B.J. 1994., Improving Organizational Effectiveness through Transformasional Leadership. Thousand Oaks : Sage
  • Bass, Bernard M., Riggio, Ronald E. 2006. Transformational Leadership, Second Edition. London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers
  • Bartalanfy, Ludwig Von. 2004. General System Theory. New York: George Braziller
  • Capra, Fritjof. 1982. The Turning Point: Science and the Rising Culture. New York: Bantam Books
  • ____________ 2001. Jaring-Jaring Kehidupan: Visi Baru Epistomologi dan Kehidupan (diterjemahkan oleh Saut Pasaribu). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru
  • ____________ 2001. Tao of Physics : Menyingkap Paralelisme Fisika Modern dan Mistisisme timur. Yogyakarta: Jalasutra
  • Checkland., Scholes, Jim. 1990. Soft System Methodology in Action. England: John Wiley & Sons, Ltd
  • Checkland. 1999. System Thinking, System Practice. England: John Wiley & Sons, Ltd
  • Edson, Robert., 2008. System thinking. Applied. A primer. ASysT Institute
  • Eisenbach, R., Watson, K., and Pillai, R. 1999. Transformational Leadership in The Context of Organizational Change. Journal of Organizational Change Management, 12 (2): 80-88
  • Forrester, Jay W. 1961. Industrial Dynamics. The MIT Press & John Wiley & Sons.
  • Komariah, Aan, et al., 2008. Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif. Jakarta : Bumi Aksara
  • Kouzes, JM., andPonser, BZ. 1997. Kredibilitas (Terjemahan Anton Adiwiyoto). Jakarta: Professional Books
  • Luhmann, N. 1988. Familarity, confidence, trust: problems and alternative. In D. Gambetta (Ed.), Trust: making and breaking coorperative relations (pp. 94- 107). Oxford, UK: Basil Blackwell. M.
  • Senge, Peter. 2006. The fifth discipline, the art and practice of the learning organization. Random house: Doubleday
  • McLuhan, Marshall. 1999. Understanding Media, the Extention of Man. London: Routledge
  • Midgley, James. 2005. Social Development : The Development Perspective in Social Welfare. London: PAGE Publication Inc
  • Myers. D., 2006. Surfactant Science and Technology. 3rd Edition. New Jersey: Jhon Wiley and Son, Inc
  • Notohamidjojo, Dr. O., 2011 Kreativitas yang Bertanggung Jawab Dr. O. Noohamidjojo. Salatiga: UKSW
  • Richardson, Kurt A., Midgley, Gerald. Systems theory and complexity: The evolution of systems thinking. E:CO Issue Vol. 9 Nos. 1-2 2007 pp. xx–xx
  • Senge, Peter, 1990. The Fifth Dicipline. Field Book. New York: Doubledey
  • Taylor, Frederick W. 2004. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
  • Tichy, N.M. and Devanna, M.A. 1990. The Transformational Leader. New York: John Wiley & Sons, inc

(Tulisan ini disusun oleh Ricky Arnold Nggili, dan dimuat dalam : Jurnal Ilmiah Pax Humana Vol. 3, No. 2, (2016))

Link : http://www.jurnalilmiah-paxhumana.org
Posting Komentar

Posting Komentar