xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

Persatuan Indonesia: Ciri Masyarakat Inklusif yang Bergotong Royong


Absraksi
Indonesia merupakan negara yang kaya akan perbedaan. Perbedaan tersebut bukanlah penghambat dalam menuju tujuan bernegara, akan tetapi merupakan peluang dan kekuatan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang dicita-citakan. Sila ke tiga Pancasila, Persatuan Indonesia, merupakan kunci dalam mengelolah perbedaan tersebut. Kekayaaan akan suku, ras dan agama memunculkan karakter asali bangsa, yakni rasa saling tolong menolong, menghormati dan menghargai. Karakter ini muncul dalam kesamaan makna pesartuan Indonesia, yakni gotong royong. Inklusivitas menyebabkan gotong royong menjadi kekayaan yang tidak dapat dihindari untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan bersama. Persatuan dalam tujuan dan gerak menjadi karakteristik persatuan Indonesia yang tidak sama dengan kesatuan bangsa lainnya didunia ini.

Kata Kunci : Inklusivitas, Gotong Royong


Pendahuluan 
Dinamika sosial politik dalam kehidupan bernegara saat ini, turun hingga menerpa kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Politik yang merupakan alat untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh, dimainkan hingga menyentuh ranah identitas pluralitas kebangsaan. Warna-warni identitas digunakan oleh kelompok tertentu untuk memenuhi berbagai bentuk tujuan yang diinginkan. Disisi lain identitas sosial seperti kelas, gender, etnis, ras dan agama, dibenturkan dengan identitas kewarganegaraan, dengan maksud tertentu. Kedua identitas utama dalam sosiologi ini, yakni identitas sosial dan nasional (Setyaningrum, 2005: 19), dengan sengaja diangkat ke ruang publik untuk didiskusikan dan dipertanyakan kembali oleh berbagai kelompok yang berkepentingan.
    Hal ini menyebabkan muncul berbagai politik identitas, yang mengarahkan kehidupan bermasyarakat ke arah chaos. Menurut Stuart Hall (dalam Setyanigrum, 2005: 26), mendeksripsikan bahwa identitas seseorang tidak lepas dari kesadaran terhadap ikatan kelompok. Identitas idnividu tertentu disusun berdasarkan persamaan dengan orang lainnya. Hal ini menyebabkan terbentuknya identitas yang berbeda, dan atau sesuatu yang berada diluar persamaan-persamaan tersebut. Dengan demikian karakteristik identitas tidak hanya dibentuk oleh ikatan kolektif, akan tetapi juga oleh kategor-kategori pembeda. Konteks ini membuat terbentuknya “kelompok saya” dan “kelompok diluar saya.” Kondisi seperti inilah yang memungkinkan terjadinya banyak perpecahan di tengah keberagaman.
    Makna pesatuan Indonesia dalam sila ke tiga menjadi kehilangan makna dan arah saat politik identitas terjadi. Dengan berbungkus jubah memperjuangkan keadilan, kelompok-kelompok identitas sosial tertentu turun kejalan-jalan dan melakukan politik identitas. Demonstrasi sebagai bentuk kebebasan menyampaikan pendapat, digunakan sebagai media untuk menunjukan kekuatan kelompok identitas tertentu. Persekusi sebagai bentuk tindakan kriminal, dibenarkan untuk diterapkan dalam melakukan intimidasi terhadap individu-individu tertentu, yang berseberangan pendapat dengan kelompom tersebut. Sweeping terhadap kelompok lain, dilakukan oleh beberapa kelompok identitas sosial untuk menjaga keadaban nilai-nilai doktrin, ajaran dan kepercayaan. Tindakan-tindakan tersebut dibenarkan dengan secara sengaja, untuk memberi makna bahwa pluralitas identitas sosial perlu dihargai dan dijaga oleh sang pemiliki identitas. Hal ini menyebabkan persatuan Indonesia tercerabut dari makna hakikinya. “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai identitas persatuan seluruh rakyat Indonesia, menjadi kabur dan disangsikan kembali maknanya. Apakah pluralitas dapat disatukan menjadi satu bangsa? Apakah keberagaman dapat disatukan menjadi satu Negara? Dan apakah arti keberagaman dalam persatuan? Pertanyaa-pertanyaan tersebut diungkapkan kembali untuk mencari tahu makna persatuan dalam pluralitas di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
    Persatuan merupakan kunci untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Tanpa persatuan, Pancasila tidak dapat dijadikan fondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perjuangan mewujudkan persatuan di Indonesia bukanlah hal mudah. Dalam salah satu pidatonya, Soekarno, Presiden pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengungkapkan bahwa “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Tapi perjuanganmu akan lebih sulit, karena melawan bangsamu sendiri.” Kondisi yang dikuatirkan oleh Presiden Soekarno, mulai terjadi saat ini. Pluralitas menutup mata tiap individu dari persatuan, dan perbedaan menyebabkan bangkitnya politik identitas. Persatuan Indonesia haruslah menjadi kunci untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera adil dan makmur. Hanya dengan paradigma demikian, Indonesia akan menjadi bangsa yang besar. Persatuan Indonesia haruslah ditunjukan dalam kesamaan tujuan dan kesamaan gerak menuju pada cita-cita bersama. Dan hal tersebut dapat terwujud lewat inklusivitas yang bergotong royong. 

Inklusivitas di Indonesia
Inklusi sosial merupakan identintas asali bangsa Indonesia. Bangsa yang menurut Benedict Anderson sebagai imagined communities (Anderson, 2001), memunculkan rasa nasionalisme terhadap kelompok masyarakat yang baru. Bangsa Indonesia yang telah digagas sejak tahun 1928 lewat event “Sumpah Pemuda,” memunculkan rasa nasionalisme ke-Indonesiaan kepada setiap pemuda dan rakyat Indonesia dari sebelum masa kemerdekaan. Hingga tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan dan kedaulatan imagined communities tersebut menjadi sebuah lembaga yang diakui diantara bangsa-bangsa di dunia. Kebangsaan Indonesia bukanlah kebangsaan yang sederhana, dengan gerak arah yang linear. Akan tetapi kebangsaan yang kompleks dengan gerak arah yang plural. Indonesia merupakan kesatuan dari kumpulan berbagai kelompok etnis, agama, dan ras. Keperbedaan sejarah, geologi dan budaya membentuk inklusi sosial Indonesia semakin kaya. Kurang lebih 1340 jumlah suku bangsa dengan kepercayaannya masing-masing, enam agama besar yang ada di Indonesia (Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghuchu), serta pengaruh gesekan budaya global membuat inklusi semakin tinggi. Inklusi tesebut merupakan konstruksi sosial dan menjadi identitas bangsa Indonesia. 
    Dengan tingginya inklusivitas ditengah-tengah masyarakat Indonesia, maka memunculkan karakter asali bangsa Indonesia. Karakter yang lahir dari pemahaman akan kebersamaan dalam perbedaan. Bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang plural memahami benar sikap-sikap keterbukaan, toleransi, saling hormat menghormati, saling menghargai, dan saling menolong. Inklusi sosial membuat karakteristik ini masuk dalam nilai-nilai Pancasila. Menurut Lenoir (1974), lingkungan inklusif akan memunculkan masyarakat yang terbuka, ramah, meniadakan hambatan dan menyenangkan. Hal ini disebabkan oleh karena, setiap masyarakat saling menghargai dan merangkul dalam perbedaan. Hal tersebut juga yang terjadi di bumi Indonesia sejak dahulu. Kedatangan bangsa-bangsa luar ke Indonesia, diterima dengan tangan terbuka dan tanpa kecurigaan. Hal ini menyebabkan banyaknya agama-agama dari luar diadopsi dan diterima lewat proses akulturasi di Indonesia. Inklusivitas merupakan sesuatu yang tidak dapat ditolak tapi harus diterima sebagai wujud identitas sosial bangsa Indonesia. 
    Dengan menghargai inklusivitas, maka bangsa ini memahami makna persatuan Indonesia. Indonesia tidak akan bersatu apabila seragam dan homogen. Sebagai bangsa yang besar, kita akan bersatu apabila kekuatan-kekuatan pluralitas dan keberagaman disinergiskan menjadi kekuatan bangsa. Inklusivitas ditengah tantangan global saat ini, haruslah menjadi kekuatan besar untuk memajukan bangsa Indonesia, dan bukan sebaliknya. Kemanusiaan Indonesia ditunjukan lewat penghargaan terhadap keberagaman dan penerimaan akan perbedaan. 
    Di Indonesia saat ini perlu dibangun oleh kesadaran kolektif para pendahulu bangsa. Generasi saat ini merupakan para pewaris yang bertanggung jawab merawat inklusivitas bangsa Indonesia dan tidak boleh menelantarkannya. Inklusivitas harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan oleh mereka yang merasa lebih kuat, lebih besar, atau bahkan lebih benar dibanding warga, kelompok, atau golongan lain. Dan lewat tindakan pelindungan terhadap inklusivitas tersebutlah, akan memunculkan nasionalisme persatuan Indonesia.

Makna Persatuan Indonesia dalam kehidupan berbangsa
Setelah memahami bahwa inklusivitas merupakan kekasayaan yang harus dijaga, maka selanjutnya persatuan Indonesia juga harus dimaknai dalam makna kesatuan dalam perbedaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran presiden Soekarno tentang persatuan Indonesia sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial, budaya, politik dan ekonomi di Indonesia. Pluralitas ras, suku, kelas, agama dan strata ekonomi sangat mempengaruhi konsep persatuan Indonesia. Penggagas Pancasila ini memperhatikan kelompok ekonomi tinggi dan ekonomi rendah, mempertimbangkan agama mayoritas dan minoritas, melihat pluralitas ras dan suku bangsa di Indonesia. Persatuan yang tercipta di Indonesia haruslah melampaui keseluruan inklusivitas tersebut. 
    Masyarakat Indonesia yang mendirikan Negaranya ditahun 1945 haruslah menempatkan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara diatas tujuan kelompok dan atau golongan. Kepentingan politik kelompok haruslah searah dengan politik Negara. Politik sebagai kendaraan menuju pada cita-cita luhur bangsa, haruslah ditunggangi secara beradab dan bermartabat diatas falsafah persatuan bangsa. Meningkatkan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam ketertiban dunia, merupakan tujuan dalam kehidupan bebangsa dan bernegara. Tujuan inilah yang menjadi alasan dari persatuan Indonesia. Dimana ada kemiskinan, disitu ada suara keberagaman untuk menariknya agar tidak terpuruk. Disaat ada kebodohoan, disana ada aktivitas keberagaman dalam membangkitkan kepintaran. Dan dimana ada penindasan, disana ada kemajemukan yang bersama-sama satu suara menentang berbagai bentuk penindasan. Dengan kesamaan tujuan, dan kesamaan gerak, persatuan Indonesia dapat diwujudnyatakan serta diteruskan pada generasi berikutnya. 
Selain persatuan dalam mencapai tujuan, ada juga makna persatuan Indonesia lainnya, yakni sebagai bentuk gotong royong. Gotong royong merupakan ide asali persatuan Indonesia yang diprakarsai oleh presiden Soekarno. Gotong royong merupakan sikap positif bangsa Indonesia, yang telah dimiliki turun temurun sejak nenek moyang dulu. Sikap ini merupakan pewujudan kebiasaan untuk melakukan suatu pekerjaan secara bersama-sama (Kusnadi, 2006: 16). Masyarakat diseluruh wilayah di Indonesia memiliki konsep gotong royong dengan pengistilahan yang berbeda-beda. Di Aceh dikenal dengan istilah Alang tulung, di Sumatera Utara dikenal dengan istilah Siadapari, di Padang dikenal dengan Hoyak Tabuik, di Jawa Barat dikenal dengan Sabilulungan, di Yogyakarta dikenal dengan Gugur Gunung, di Bali dikenal dengan istilah Ngayah, di Kalimatan Selatan dikenal dengan Nyempolo, di Kalimantan Timur dikenal dengan Paleo, di Sulawesi utara dikenal dengan Mapalus, Sulawesi Selatan istilahnya Ammossi, di Papua dikenal dengan Helem Foi Kenambai Umbai, dan masih banyak istulah diberbagai wilayah di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa gotong royong dipahami dan mengakar dalam budaya bangsa Indonesia.
    Sikap gotong royong muncul karena adanya banyak perbedaan ditengah-tengah masyarakat. Kesadaran akan perbedaan dan rasa kekeluargaan menyebabkan tiap individu rela untuk saling menolong dan membantu. Kerelaan tersebut merupakan bentuk dari partisipasi aktif masyarakat Indonesia dalam menunjukan makna persatuan. Koentjaraningrat (1993) menunjukan bahwa di Indonesia ada dua jenis gotong royong. Pertama, gotong royong untuk menolong orang lain (seperti membangun rumah, panen sawah, mempersiapkan pesta pernikahan, acara dukacita dan lainnya). Kedua, gotong royong dalam makna kerja bakti (seperti bersihkan selokan air, bangun tempat ibadah, sekolah dan lainnnya). Kedua jenis gotong royong ini mewarnai aktivitas kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam menjalankan karakter ini, tidak ada batasan identitas sosial yang mewarnai. Yang ada hanyalah rasa kekeluargaan, kebersamaan dan kemanusiaan. Kesadaran akan keterbatasan dalam perbedaanlah yang menjadi alasan sikap gotong royong dilakukan. Apabila setiap individu Indonesia adalah “makluk super”, maka gotong royong tidak dibutuhkan. Akan tetapi karena keterbatasan tiap individu dan perbedaan kompetensi membuat sikap gotong royong dibutuhkan untuk menjamin ketercapaian tujuan bersama. 
Persatuan dalam gotong royong membuat Indonesia tidak takluk pada tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta dan pada ancaman kekeringan di Yahokimo. Dan bahkan pada saat Indonesia didatangi oleh para pengungsi dari Rohingya pun, rakyat Indonesia bersatu padu untuk membantu para pendatang yang membutuhkan bantuan. Sikap gotong royong mampu melewati inklusivitas dan menekan politik identitas kelompok tertentu. Untuk itu di era globalisasi yang semakin gencar mengganggu nasionalisme Indonesia, maka diperlukan sikap persatuan dalam makna gotong royong, untuk membangun Indonesia secara bersama-sama. Indonesia tidak bisa dibangun dan dipertahankan oleh enis tertentu, agama tertentu, dan kelompok tertentu. Hanya dengan kebersamaan dalam rasa kekeluargaanlah Indonesia dapat menyongsong kepastian masa depan bernegara. 

Penutup
Persatuan Indonesia tidaklah dimaknai sebagai keseragaman dalam perbedaan, akan tetapi dimaknai sebagai penghormatan terhadap perbedaan. Inklusivitas merupakan kekuatan yang harus dikelola dengan semangat gotong royong untuk menuju pada cita-cita dan atau tujuan bernegara. Generasi saat ini haruslah menanamkan semangat gotong royong kepada generasi berikutnya. Makna kebersamaan dalam perbedaan warna kulit, ras, suku, agama, gender, dan kelompok, harus ditempatkan sebagai upaya membangun bangsa. Mulailah sejak dini, anak-anak telah diperkenalkan dengan rasa persatuan ini. Pengkotak-kotakan pendidikan, politik, tujuan identitas dan lainnya, akan menghambat persatuan di Indonesia. Sebaliknya persamaan memperoleh pendidikan, persamaan dalam memperoleh pekerjaan dan persamaan dalam kebebasan beraktivitas menciptakan peluang untuk menumbuhkan semangat gotong royong dan menanamkan rasa kekeluargaan. Pada akhirnya Indonesia bukanlah saya, anda dan mereka, akan tetapi Indonesia adalah “kita”. “Kita” yang bersama-sama mewujudkan mimpi kita. “Kita” yang bersama-sama memperjuangkan kehidupan yang layak bagi masa depan anak-anak kita.

Daftar Pustaka
  • Anderson, B. (2001) Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar
  • Bagir, Z. A., Dwipayana, A., Rahayu, M., Sutanto, T., & Wajidi, F. (2011) Pluralisme Kewargaan. Bandung: Mizan. 
  • Kusnadi, (2006). Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Bandug : Humaniora
  • Koentjaraningrat. (1993) Kebudayaan, Mentalitas dan pembangunan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
  • Latif, Yudi. (2011) Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Lenoir, R. (1974). Les Exlus: Un Francais Sur Dix, Paris : Seuil Publication.
  • Setyaningrum, Arie. (2005). Memetakan Lokasi bagi ‘Politik Identitas’ dalam Wacana Politik Poskolonial. Jurnal Mandatory Politik Perlawanan. Edisi 2/ Tahun 2/ 2005
  • Thomson, A. (2001) Nations, National Identities and Human Agency: Putting People Back Into Nations. Sociological Review, 18-32 
  • (Disusun dan ditulis oleh Ricky Arnold Nggili dalam buku "Pancasila Rumah Bersama," yang diterbitkan oleh Penerbit Libri BPK Gunung Mulia & Suara GMKI, Jakarta, tahun 2017, halaman 72-78)
(Tulisan ini disusun dan ditulis oleh Ricky Arnold Nggili, dipublikasikan dalam buku "Pancasila Rumah Bersama," diterbitkan oleh Penerbit Libri BPK Gunung Mulia, Jakarta dan Suara GMKI, tahun 2017, halaman 72-78)

Posting Komentar

Posting Komentar