xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

MEMAHAMI BERPIKIR KRITIS DALAM MEMBANGUN PENGETAHUAN


Pendahuluan
Berpikir merupakan sebuah tindakan yang selalu dilakukan oleh manusia. Manusia selalu aktif dalam melakukan tindakan merenung, menganalisis dan menarik sebuah kesimpulan. Realitas selalu menjadi media dari pemikiran untuk mengaktualisasi dirinya, sehingga manusia mendapatkan tingkat pengetahuan yang tertinggi. Dan berpikir kritis merupakan salah satu karakteristik dari manusia untuk menemukan pengetahuan yang lebih sahih.
   Berpikir kritis merupakan tindakan sadar untuk menemukan dan membahasakan kembali hasil temuan manusia atas pengetahuan. Dengan memiliki kemampuan ini, seseorang akan mampu mengobyektifkan berbagai kebenaran, dan tidak mudah terjebak pada pengaruh informasi yang salah. Kemampuan berpikir kritis mampu menciptakan kreativitas dan inovasi baru bagi dunia masa depan. Hal ini akan membantu manusia untuk mengembangkan pengetahuannya, sehingga membantu meningkatkan kualitas kehidupan saat ini dan dimasa datang. Perilaku kritis tidak menghilangkan keyakinan, namun meneguhkan keyakinan lewat pembuktian dan pengujian yang valid. Dalam tulisan ini akan memaparkan secara sederhana komponen-komponen pengetahuan yang didalamnya menggunakan cara berpikir kritis.

Rasionalisme, empirisme & Kritisime
Untuk lebih memahami makna berpikir kritis dalam membangung kebenaran pengetahuan, maka kita perlu mengetahui sebelumnya tentang kerangka berpikir kritis sebagai upaya mencari tahu kebenaran pengetahuan. Perdebatan panjang antara akal dan indera sebagai alat untuk mendekati pengetahuan, dijembatani oleh sintesa tindakan kritis. Akal tidak dapat berdiri sendiri dan sebaliknya pun sama dengan idera, dalam memahami kebenaran yang ada di alam semesta ini. Berpikir kritis merupakan kemampuan dalam menggunakan akal dan indera untuk mengungkapkan setiap fakta kebenaran yang ada.
   Rasionalitas merupakan paham yang menekankan akal sebagai sumber pengetahuan manusia. Pengetahuan didapatkan dan diukur dengan menggunakan akal, sehingga akal menjadi dasar dari kebenaran sebuah pengetahuan. Paham ini dikembangkan oleh Rene Descartes, Spinoza, Leibniz dan pemikir barat lainnya. Menurut Rene Descartes, sumber pengetahuan dibawah oleh ide bawaan (innatie idea), yang dibawa oleh manusia sejak lahir. Ide bawaan tersebut terdiri dari tiga kategori, yakni pertama, pemikiran (cogitas). Dimana manusia merupakan maklum yang selalu berpikir. Bahkan pada saat ia meragukan dirinya, disitu ia sedang berpikir untuk menemukan sebuah kebenaran. Kedua, tuhan (deus). Dimana manusia memiliki ide tentang wujud yang sempurna, dan wujud tersebut adalah tuhan. Ketiga, keluasan (extensia), yakni ide tentang materi yang memiliki keluasan. Dengan ide-ide tersebutlah manusia membangun pengetahuan tentang segala sesuatu.
   Selanjutnya yakni empirisme, yang mengandung makna sebagai pengalaman. Manusia beranggapan bahwa pengetahuan hanya dapat diperoleh dari pengalaman, dan bukan dari akal. Hanya lewat inderalah sebuah pengetahuan dapat ditemukan dan diukur kepastiannya. Pemahaman ini dikembangkan oleh Francis Bacon, Thomas Hobbes, David Hume dan pemikir barat lainnya. Menurut John Locke, manusia pada mulanya tidak memiliki pengetahuan. Ia seperti kertas kosong, yang selanjutnya melalui pengalaman, ia mengisi kertas kosong tersebut dan menjadi sebuah pengetahuan. Sumber utama pengetahuan adalah empirisme, dan hal tersebut menekankan pada proses eksperimen dalam upaya memperoleh pengetahuan manusia.
   Paham rasionalisme dan empirisme berdebat tentang keunggulan dan keutamaannya. Perdebatan tersebut berlangsung sangat lama. Hingga Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman mencoba untuk mendamaikan perdebatan panjang kedua paham tersebut. Menurut Kant rasionalisme tidak dapat diterima, karena tidak memiliki pembuktian-pembuktian terhadap hasil olah akal. Sedangkan empirisme tidak dapat diterima begitu saja, karena dapat membawa keraguan pada akal. Untuk itu menurut kant dalam kritisisme, akal dan pengalaman dapat digunakan secara bersama-sama untuk memperoleh pengetahuan. Pengalaman menjadi bukti untuk menangkap gejala-gejala yang diamati, dan akal digunakan untuk mengkategorikan gejala-gejala tersebut, menjadi bangunan pengetahuan, dan inilah kritisisme. Selanjutnya Kant membagi pengetahuan menjadi tiga tahap. Tahap pertama yakni tahap pencapaian idera. Disini indera memamhami gejala-gejala yang ditampakkan dalam realitas. Tahap kedua yakni tahap akal budi. Tahap ini bekerja bersamaan dengan tangkapan indera terhadap realitas. Tahap ini akal budi menyusun dan menghubungkan data-data inderawi dengan fantasi manusia, sehingga menjadi kategori-kategori yang tepat. Tahap ketiga adalah tahap rasio, yakni kemampuan manusia untuk menciptakan pengetahuan umum berdasarkan kategori-kategori akal budi. Pada tahap ini, manusia bisa menarik kesimpulan berdasarkan pernyataan-pernyataan ditahap sebelumnya.

Logika dan Penalaran
Logika berasal dari Bahasa Yunani, logos, yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang dinyatakan dalam Bahasa. Logika merupakan cara penarikan kesimpulan, sehingga pemikiran lebih valid. Ada juga yang berpendapat bahwa logika merupakan ilmu kecakapan untuk menalar, agar pengetahuan yang kita terima, dapat mencapai kebenaran. Suatu pemikiran dikatakan tepat bila dilakukan dengan penganalisaan, pembuktian dengan alasan-alasan tertentu dan adanya kaitan antara yang satu dengan lainnya. Pemikiran yang demikianlah disebut dengan logis. Logika merupakan ilmu yang fundamental yang secara sistematis menyelidiki, merumuskan dan menerangkan asas-asas yang harus ditaati agar orang dapat berfikir dengan tepat, lurus dan teratur. Maksud dan tujuan logika adalah kecakapan menerapkan aturan-aturan pemikiran yang tepat terhadap persoalan-persoalan yang kongkrit yang kita hadapi, serta pembiasaan sikap ilmiah, kritis dan obyektif. Logika dapat dibagi menjadi dua, yakni logika naturalis. Yaitu kemampuan berlogika berdasarkan akal bawaan manusia sejak lahir. Tiap manusia memiliki logika naturalis yang berbeda-beda berdasarkan tingkat pengetahuan masing-masing. Berikutnya yakni logika artifisial atau ilmiah. Logika ilmiah digunakan untuk memperdalam pengetahuan dari akal budi, atau alat untuk berpikir secara benar. Sehingga tidak terjadi kesesatan dalam berpikir.
   Logika tersusun dari tiga poin. Pertama: Konsep atau istilah, yaitu sebuah tangkapan akal manusia mengenai suatu obyek, baik bersifat material, maupun non-material. Ia juga sering dimaknai sebagai sebuah makna yang dikandung oleh suatu obyek. Kedua: Proposisi atau kalimat pernyataan, yaitu sebuah pemikiran yang dinyatakan dalam bentuk bahasa, meskipun tidak semua yang ada dalam pikiran manusia mampu diungkapkan dalam kata-kata. Ketiga: Silogisme atau suatu penalaran yang terbentuk dari hubungan dua buah proposisi, yang akhirnya akan menghasilkan sebuah kesimpulan.
   Selanjutnya penalaran, yang berbeda dengan logika. Banyak yang menganggapnya sama, namun hal ini berbeda. Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Nalar merupakan salah satu corak berpikir untuk menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru dengan memperhatikan asas-asas pemikiran, yaitu principium identitas, principium contradictionis, principiumtertii exclusi dan principium kompromi. Jadi penalaran merupakan salah satu atau proses dalam berpikir yang menggabungkan dua pemikiran atau lebih untuk menarik sebuah kesimpulan untuk mendapatkan pengetahuan baru. Penalaran merupakan suatu pemikiran jenis yang khusus, yang didalamnya penyimpulan terjadi, atau didalamnya kesimpulan ditarik dari premis-premis yang ada atau penalaran merupakan proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan empiris atau sesuai fakta di lapangan) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Adapun prinsip dalam penalaran menurut Aristoteles ada tiga yaitu prinsip identitas yaitu suatu hal adalah sama dengan halnya sendiri, prinsip kontradiksi yaitu sesuatu tidak dapat sekaligus merupakan hal itu dan bukan hal itu pada waktu yang bersamaan dan prinsip eksklusi tertii yaitu prinsip penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak adanya kemungkinan ketiga.
   Penalaran dan logika saling berhubungan dalam membangun pengetahuan. Dengan penalaran akan ditemukan kesimpulan-kesimpulan yang berdiri diatas berbagai premis. Dan dengan logika, penalaran tersebut disusun kembali untuk dikomunikasikan sehingga menjadi sebuah pengetahuan yang valid. Penalaran logika dibagi menjadi dua, yakni deduktif dan induktif. Kedua bentuk penalaran tersebut akan membuktikan kesahihan dari sebuah pengetahuan.

Penalaran Deduktif & Penalaran Induktif
Penalaran Deduktif adalah suatu kerangka atau cara berfikir yang bertolak dari sebuah asumsi atau pernyataan yang bersifat umum untuk mencapai sebuah kesimpulan yang bermakna lebih khusus. Pola penarikan kesimpulan dalam metode deduktif merujuk pada pola berfikir yang disebut silogisme. Yaitu bermula dari dua pernyataan atau lebih dengan sebuah kesimpulan. Yang mana kedua pernyataan tersebut sering disebut sebagai premis minor dan premis mayor. Serta selalu diikuti oleh penyimpulan yang diperoleh melalui penalaran dari kedua premis tersebut. Namun kesimpulan di sini hanya bernilai benar jika kedua premis dan cara yang digunakan juga benar, serta hasilnya juga menunjukkan koherensi data tersebut.
   Adapun kelemahan penalaran deduktif terletak pada aktifitas penarikan kesimpulan yang dibatasi pada ruang lingkup tertentu. Serta jika salah satu dari kedua premisnya, atau bahkan keduanya salah, maka kesimpulan yang didapat berdasarkan premis tersebut akan salah pula. Kelemahan lainnya adalah kesimpulan yang diambil berdasarkan logika deduktif tak mungkin lebih luas dari premis awalnya, sehingga sulit diperoleh kemajuan ilmu pengetahuan jika hanya mengandalkan logika deduktif. Selain itu manakala argumennya diuji kebenarannya, maka yang mungkin teruji hanya bentuk atau pola penalarannya tapi bukan materi premisnya, jadi benar salahnya premis tersebut tidak dapat diuji.
   Selanjutnya penalaran induktif merupakan cara berfikir untuk menarik kesimpulan dari pengamatan terhadap hal yang bersifat partikular kedalam gejala-gejala yang bersifat umum atau universal. Sehingga dapat dikatakan bahwa penalaran ini bertolak dari kenyataan yang bersifat terbatas dan khusus lalu diakhiri dengan statemen yang bersifat komplek dan umum. Ciri khas dari penalaran induktif adalah generalisasi. Generalisasi dapat dilakukan dengan dua metode yang berbeda. Pertama, yang dikenal dengan istilah induksi lengkap, yaitu generalisasi yang dilakukan dengan diawali hal-hal partikular yang mencakup keseluruhan jumlah dari suatu peristiwa yang diteliti. Kedua, yang dilakukan dengan hanya sebagian hal partikular, atau bahkan dengan hanya sebuah hal khusus. Poin kedua inilah yang biasa disebut dengan induksi tidak lengkap. Induksi lengkap dicapai manakala seluruh kejadian atau premis awalnya telah diteliti dan diamati secara mendalam. Namun jika tidak semua premis itu diamati dengan teliti, atau ada yang terlewatkan dan terlanjur sudah diambil suatu kesimpulan umum, maka diperolehlah induksi tidak lengkap. Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada suatu masalah tersendiri, yaitu banyaknya kasus yang harus diamati sampai mengerucut pada suatu kesimpulan yang general. guna menghindari kesalahan yang disebabkan karena generalisasi yang terburu, Bacon menawarkan empat macam idola atau godaan dalam berfikir: Pertama, idola tribus, yaitu menarik kesimpulan, tanpa dasar yang cukup. Artinya, kesimpulan diperoleh dari pengamatan yang kurang mendalam, dan memadai, sehingga ia diambil dari penelitian yang masih dangkal. Kedua, idola spesus, yakni, kesimpulan yang dihasilkan bukan berdasarkan pengamatan yang cukup, namun lebih sebagai hasil dari prasangka belaka. Ketiga, idola fori, poin ketiga ini cukup menarik, karena kesimpulan lahir hanya sebatas mengikuti anggapan ataupun opini public secara umum. Dan terakhir, idola theari, anggapan bahwa dunia ini hanyalah sebatas panggung sandiwara, makanya kesimpulan yang diambil hanya berdasarkan mitos, doktrin, ataupun lainnya. Jika seandainya keempat idola ini dapat dihindari oleh seorang peneliti, maka kesimpulan yang dihasilkan dapat dikategorikan sebagai sebuah hasil yang valid. Namun perlu disadari juga bahwa dalam pengambilan kesimpulan secara induktif juga tidak luput dari kekeliruan. Penggunaan penalaran induktif, kadangkala tidak bisa menghindari adanya error seperti adanya ketidak telitian dalam pengamatan. Yang dipengaruhi banyak faktor, sebut saja alat atau panca indra yang tidak sempurna

Kesesatan dalam berpikir
Kesesatan dalam berpikir sering terjadi tanpa disadari oleh seseorang, pada saat proses membangun pengetahuan. Kesesatan terjadi dikarenakan penggunaan Bahasa yang tidak tepat, ataupun dikarenakan tidak adanya hubungan logis antara premis sebagai landasan berpikir dan kesimpulan yang diambil. Kesesatan akibat dari tidak adanya hubungan antara premis dan kesimpulan sering sekali dilakukan untuk tujuan tertentu. Apalagi pada waktu-waktu sekarang ini, yang banyak menghadirkan berita-berita hoaks. Kesesatan seperti ini, sering juga disebut kesesatan relevansi. Alsaan dan atau pembuktian tidak relevan dengan kesimpulan yang diambil sebagai sebuah pengetahuan. Berikutnya ada juga kesesatan karena komposisi, yakni disebabkan karena seseorang menganggap bahwa apa yang benar bagi satu atau beberapa individu dalam suatu kelompok tertentu, maka pastilah benar pula bagi keseluruan kelompok tersebut sebagai satu kesatuan. Hal ini merupakan satu kekeliruan dalam memperoleh pengetahuan, dikarenakan argumentasi yang dibangun keliru, sehingga membawa kekeliruan bagi keseluruan kelompok.
   Kesesatan dalam berpikir selalu membawa kekeliruan besar dalam memahami sebuah kebenaran. Peperangan, konflik, rasa saling curiga dan perilaku anti sosial lainnya, dapat terjadi karena sesat pikir. Dalam dunia politik, sesat pikir selalu dengan sengaja digunakan untuk mencapai tujuan tertentu oleh sebuah kelompok. Tidak relevan dan komposisi yang tidak tepat dapat menyebabkan cara berpikir yang salah, dan berakibat pada kekacauan pengetahuan.

Penutup
Berpikir kritis membantu manusia untuk membangun pengetahuan. Dengan menghindarkan diri dari kesesatan berpikir dan kesalahan dalam berlogika, maka setiap orang akan mendekati situasi ilmiah yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Berpikir kritis mampu mengarahkan seseorang untuk mengidentifikasi, mengklasifikasi, mengkategorisasi, hingga menarik kesimpulan yang tepat. Pengetahuan dapat dipertanggung jawabkan secara baik, apabila dalam setiap dialektika, setiap orang selalu menggunakan cara berpikir kritis.

Daftar Pustaka
  • Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002
  • Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta : Raja Grafind Persada, 2012.
  • Fautanu, Idzam, Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, Jakarta : Referensi, 2012.
  • Hadi, Protasius Hardono et al. Epistemologi, Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
  • Lubis, Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta : Rajawali Pers, 2014.
  • Mundiri, Logika. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
  • Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, cet. 6, 2002.
  • Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat, Jakarta : Bumi Aksara, 2000.
  • Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer,Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13.
  • Susanto, A., Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Jakarta : Bumi Aksara, 2011.
(Materi ini dibawakan oleh Ricky Arnold Nggili, dalam LDKM FTI UKSW, tanggal 18 November 2017, pukul 07.15-09.15 WIB di ruang FTI 300 Gedung FTI, UKSW (Blotongan-Salatiga)) 

Link tulisan terkait: berpikir-kritis & critical writing sebuah pendekatan
1 komentar

1 komentar

  • EkSa
    EkSa
    16 November 2018 pukul 14.58
    Mantaapp.. Bermnfaat mas
    Reply