Anti korupsi merupakan salah satu tema yang menjadi penting pasca reformasi. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka tahun 1945, menciptakan perjuangan kemerdekaan baru, yakni merdeka dari korupsi dan penyalahgunaan pendapatan Negara. Semua lembaga negara hingga partai-partai politik melakukan kampanye anti korupsi sebagai bagian dari identintas mereka. Korupsi menjadi musuh bersama, dan menjadi obyek politik identitas dari semua lembaga di Indonesia. Bahkan beberapa partai politik yang kader-kadernya telah terindikasi dan menjadi pelaku koruptor, tetap mengkampanyekan anti korupsi sebagai bentuk perjuangan partai. Hal ini menunjukan bahwa tema anti korupsi menjadi tema yang marketable dalam era saat ini. Korupsi secara sederhana dipahami sebagai upaya menggunakan kemampuan campur tangan karena posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan untuk kepentingan keuntungan dirinya (Haryatmoko:2010). Korupsi terjadi karena penyalahgunaan kewenangan kekuasan tidak untuk kepentingan bersama, melainkan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya.
Dengan banyaknya kampanye anti korupsi, apakah mengurangi jumlah tindakan korupsi di Negara ini? Hal ini perlu dijawab dengan sebuah analisis kritis yang dalam. Korupsi bukanlah budaya bangsa Indonesia. Namun, jika segelintir anak-anak bangsa terus menerus menunjukkan kepongahan dan kesombongan mereka dalam menggunakan harta benda dan kekuasaan hasil korupsi. Maka suatu saat korupsi akan menjadi budaya baru yang dikenal dan diterapkan sebagai bagian dari keadaban di Indonesia. Upaya meminimalisir tindakan korupsi terus dilakukan oleh Negara dan masyarakat yang sadar akan pentingnya melindungi Negara. Secara Yuridis, korupsi telah dijadikan sebagai tindakan pidana khusus, yang sanksi hukumannya tahanan fisik dan dapat sampai pada sita harta para pelaku koruptor. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus melakukan tindakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap para koruptor, dari para pejabat negara, pejabat daerah, wakil rakyat, pengusaha, pejabat lembaga peradilan hingga PNS. Selain itu sebagai tindakan preventif, secara formal disekolah-sekolah, korupsi diposisikan sebagai musuh bersama oleh para pelajar. Akan tetapi berbagai pendekatan tersebut belum menunjukkan hasil yang optimal. Tindakan korupsi makin banyak terjadi dan bahkan ada juga upaya untuk membenturkan tindakan anti korupsi sebagai tindakan anti demokrasi. Hal ini dikarenakan, makin banyaknya pejabat publik yang tertangkap melakukan korupsi, merupakan produk dari pemilihan secara langsung yang demokratis di masyarakat. Sungguh sangat disayangkan, namun inilah realitas kepemimpinan di bangsa Indonesia saat ini.
Untuk melawan tindakan pembenaran terhadap perilaku korupsi, maka perlu adanya literasi anti korupsi kepada generasi muda Indonesia sedini mungkin. Mengapa generasi muda yang disasar? Karena generasi muda merupakan iron stock, agent of change dan pemimpin masa depan bangsa ini. Mereka harus memiliki karakter dan kompetensi yang berprinsip para kemutlakan kebenaran nasionalisme Indonesia, sehingga tidak terjebak pada pencaharian identitas dalam harta dan kekuasaan. Bentuk-bentuk perjuangan dengan idealisme suci yang menjadi ciri khas pahlawan-pahlawan masa lalu, harus melekat juga dalam idealisme generasi masa sekarang. Hal ini mampu membuat mereka jauh dari tindakan korupsi dan tindakan melanggengkan cara-cara sesat dalam menunjukkan eksistensi mereka.
Generasi muda harus menjadi masyarakat intelektual yang memiliki nalar kritis dalam memahami tujuan kebangsaan Indonesia, dan bukan sesat pikir dalam melanggengkan tujuan pribadi atau kepentingan kelompok. Sesat pikir dengan sudut pandang tujuan yang sempit, akan mengarahkan generasi muda pada tindakan-tindakan kriminal yang tidak bertanggung jawab. Pertanggung jawaban sebagai makluk berketuhanan dan berkemanusiaan akan jauh dalam sikap sesat pikir dan tujuan yang sempit. Sedangkan karakter kebangsaan yang takut akan Tuhan dan memanusiakan manusia akan terwujud, apabila generasi muda intelektual mampu untuk menggunakan nalar kritis dan tujuan ideal sebagai semangat dalam mengarahkan bangsa ini. Korupsi merupakan tindakan sesat pikir yang mampu menjerumuskan individu hingga kehidupan sosial bernegara pada keterjajahan manusia kepada bentuk harta benda dan kekuasaan. Dan inilah bentuk penjajahan baru pasca kemerdekaan yang harus dilawan oleh seluruh generasi antar jaman.
Korupsi sebagai masalah kultural
Budaya masyarakat Indonesia adalah budaya masyarakat yang berkeinginan untuk hidup secara bersama, dan harmonis. Hal ini menyebabkan, masyarakat Indonesia sering menghindarkan diri pada tindakan yang berakhir pada konflik. Menurut Magnis Suseno (1999:43), masyarakat Indonesia sebagai masyarakat agraris, cenderung memiliki sikap untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung. Dengan pendekatan kebudayaan dalam penanganan korupsi tidak hanya bermanfaat untuk mencegah terjadinya korupsi, namun juga dapat digunakan sebagai upaya penciptaan strategi budaya dalam mencegah korupsi secara komprehensif. Pendekatan ini akan menyentuh berbagai kondisi mentalitas, moralitas dan pemikiran setiap anak bangsa, sehingga dapat melawan berbagai bentuk peristiwa korupsi yang begitu mudah terjadi dan sulit diberantas di bangsa ini. Untuk itu pendekatan dalam pemberantasan korupsi, tidak hanya lewat tindakan yuridis, namun juga dengan pembentukan mental bangsa. Sebuah tindakan korupsi dilakukan karena didorong oleh mentalitas kelangkaan dan mentalitas miskin seseorang. Mentalitas kelangkaan berdasarkan asumsi bahwa kekuasaan dan harta hanya dimiliki oleh seseorang, dan tidak dimungkinkan untuk semua orang. Hal ini membuat, tiap individu berupaya untuk melanggengkan segala cara untuk memenuhi dan memiliki kedua hal tersebut. Selain itu makna “harta” dan “kekuasaan” juga mengalami pergeseran. Kedua hal tersebut harusnya merupakan reward dari karakter dan kinerja yang baik, dan bukan hasil manipulatif. Apabila bentuk kebudayaan seperti ini yang dimaknai, maka korupsi merupakan bentuk dari penyimpangan budaya dan harus dihindari. Berikutnya, mentalitas miskin merupakan karakter yang mengarahkan seseorang pada ketidak cukupan. Ketercapaian yang digapai saat ini, tidak dilihat sebagai bagian dari proses, namun merupakan cerminan dari kemiskinannya. Ia akan berupaya terus memperkaya diri tanpa batas, karena batas kemiskinan yang tidak terhingga dalam dirinya. Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan alam yang luar biasa, hal tersebut seharusnya tidaklah tampak dalam mentalitas individu Indonesia.
Secara mendalam, korupsi itu juga terkait dengan suatu perilaku yang didorong oleh mentalitas kebudayaan dan pemikiran yang menjadikan harta dan kekuasaan sebagai hal yang utama, yakni sebagai alat untuk memperkaya diri bukan untuk pengabdian kepada kepentingan publik. Korupsi terjadi karena pelaku menganggap bahwa dibalik kekuasaan yang dimilikinya, termasuk kekuasaan pengelolaan keuangan, adalah suatu berkah bagi kehidupannya. Kekuasaan tidak lagi menjadi janji jabatan yang suatu saat harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan publik. Itulah sebabnya, orientasi kekuasaan yang demikian lebih cenderung menitikberatkan pada pemuasaan hasrat kepemilikan pribadi, daripada hasrat menyalurkan manfaat bagi publik yang lebih luas. Pendekatan kebudayaan merupakan perihal penting dalam setiap upaya membangun peradaban bangsa yang lebih baik, termasuk di dalamnya adalah soal pemberantasan dan pencegahan korupsi. Menurut Bakker (1984:11), dalam setiap soal, kebudayaan menampakkan diri sebagai faktor yang tidak dapat dielakkan, yang mau tidak mau harus diperhatikan agar setiap usaha (merancang masa depan) tidak menjadi gagal. Dari dalam kebudayaan orang menggali motif dan perangsang untuk menjunjung perkembangan masyarakat. Dari dalamnya juga berasal kebiasaan yang menyebabkan rusaknya tatanan sosial, seperti korupsi. Untuk itu nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat menjadi penting dalam menggapai tujuan bernegara. Menurut Lawrence E. Harrison and Samuel P. Hutington (2000), mengatakan bahwa nilai dalam setiap budaya memiliki andil yang menentukan keberhasilan perubahan yang hendak ditentukan. Hutington et al (2000) mendefinisikan budaya sebagai istilah yang subjektif seperti nilai-nilai, sikap, kepercayaan, orientasi, dan praduga mendasar yang lazim di antara orang-orang dalam suatu masyarakat. Tahun 1990-an, Hutington melakukan penelitian dan menemukan fakta mengejutkan, bahwa tidak diragukan lagi ternyata budaya memainkan peran besar dalam membentuk peradaban masing-masing. Contohnya dalam budaya masyarakat Korea Selatan menghargai hidup hemat, investasi, kerja keras, pendidikan, organisasi, dan disiplin. Dan sebaliknya contoh lain, negara Ghana mempunyai nilai yang berbeda yang justru menghambat terjadinya kemajuan bagi negara tersebut. Dalam konteks ini, strategi kebudayaan bisa dilakukan melalui dua cara; (1) teknologisasi kebudayaan dan; (2) rekayasa kebudayaan. Teknologisasi kebudayaan merupakan strategi bagaimana memaksa orang agar sesuai dengan prinsip nilai yang hendak dicapai, sedangkan rekayasa kebudayaan adalah melalui cara mendorong orang agar berbuat sesuai dengan prinsip nilai yang ditetapkan. Cara yang pertama bersifat mewajibkan, sedangkan cara yang kedua bersifat penyadaran. Dalam masyarakat yang serba permisif dan tidak memiliki semangat untuk hidup dalam tertib sosial, dibutuhkan kelompok penekan yang memaksa dan mewajibkannya mengikuti aturan main yang disepakati. Michel Foucault dalam Dicipline and Punish (1975) mengatakan bahwa melalui pemaksaan diri, sebuah kekuasaan dapat mengontrol orang yang dikuasainya agar kian mudah dikuasai. Sementara rekayasa kebudayaan diperlukan pada masyarakat dalam situasi normal, masyarakat yang sejak awal memiliki kesadaran tentang pentingnya aturan main itu.
Dengan demikian korupsi sebagai budaya perusak, haruslah dihindari dengan membangun teknologisasi kebudayaan bangsa Indonesia yang luhur. Generasi masa depan harus dipekenalkan pada sebuah sistem berbangsa dan bernegara yang betanggung jawab terhadap individu dan kehidupan bersama. Hukum Negara dan hukum agama harus dipatuhi sebagai bagian dari teknologi yang menjaga kebudayaan bangsa ini, untuk menuju pada tujuan bernegara. Teknologisasi kebudayaan dapat diterapkan dengan cara membangun cara berpikir kritis masyarakat. Masyarakat harus mampu untuk melihat diri mereka sebagai subyek, yang harus kritis terhadap obyek budaya yang merusak seperti korupsi. Masyarakat harus kritis terhadap konsep sosial, yuridis dan etika dalam Negara Indonesia, serta tujuan seperti apa yang dibangun oleh negara ini? Dengan memahami hal tersebut, maka teknologisasi budaya akan lebih efektif dalam penerapannya. Selain itu perlu juga terus dilakukan rekayasa kebudayaan yang mampu untuk menembus lintasan generasi dengan tantangannya tersendiri. Globalisasi dan kapitalisasi bukanlah sebuah alasan untuk memperkaya diri, namun merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi sebagai bagian dari tanggung jawab warga Negara di era yang serba maju.
Berpikir Kritis merupakan kompetensi yang harus dimiliki generasi muda dalam memerangi korupsi
Dalam era globalisasi, karakteristik identitas merupakan suatu hal yang sangat penting. Semua orang memiliki peluang yang sama, namun berdiri diatas identitas dan tujuan yang berbeda. hal inilah yang perlu dikawal dan dihidupi dalam era milenial saat ini. Berpikir kritis merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap generasi intelektual muda Indonesia, sehingga tidak menyebabkan seseorang hilang dalam dunia tanpa gravitasi globalisasi. Generasi muda Indonesia harus memasuki era globalisasi dengan karakteristik identitas Indonesia. Banyak orang yang memahami berpikir kritis sebagai kemampuan untuk melihat peluang. Dan hal inilah yang sering diterapkan oleh para koruptor. Dan ini merupakan sebuah kesalahan besar. Berpikir kritis merupakan sebuah proses menata instrument-instrumen dalam berpikir, sehingga tidak mengalami kesesatan atau ketidak jelasan.
Menurut Plato, proses berpikir adalah berbicara dalam hati. Kalimat ini dapat dimaknai bahwa berpikir merupakan proses kejiwaan yang menghubung-hubungkan atau membanding-bandingkan antara situasi fakta, ide, atau kejadian dengan fakta, ide atau kejadian lainnya. Selanjutnya Richard Paul (2001) mendefinisikan berpikir kritis adalah memikirkan kembali hasil dari pemikiran yang kita lakukan. Menurut Plato, berpikir kritis merupakan sebuah proses tanpa lelah untuk menghasilkan sebuah kebenaran pengetahuan yang sahih. Untuk itu dalam berpikir kritis, seseorang harus berpikir secara jelas, akurat, relevan, logic, dalam, lengkap, luas, dan signifikan, sebagai standar intelektual, yang akan membentuk penalaran yang tepat. Dengan penalaran yang tepat, maka akan memunculkan intelektual yang bertanggung jawab dan fairminded. Dengan demikian berpikir kritis sangat berbeda dengan tindakan korupsi atau menguntungkan diri sendiri.
Dengan berpikir kritis maka generasi muda akan mengembangkan sebuah lingkungan masyarakat yang ideal. Masyarakat yang digambarkan oleh Richard Paul (2002) sebagai masyarakat yang memiliki kerendahan hati, kemandirian, integritas, empati dan selalu menciptakan keadilan. Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena sebagai mahkluk yang kritis, manusia mampu melihat keterhubungan antara dirinya dengan lingkungan disekitarnya. Dan serta merta ia mampu untuk melihat tujuan besar dari kehadirannya di muka bumi ini. Kondisi seperti inilah yang harus mampu diciptakan dan diperjuangkan oleh generasi muda. Hal tersebut akan menjauhkan masyarakat dari tindakan korupsi atau mencari keuntungan untuk diri sendiri.
Tindakan korupsi merupakan sebuah tindakan sesat pikir atau kerancuan dalam berpikir (fallacy). Sesat pikir atau kerancuan dalam berpikir adalah jalan pikiran yang belum runtut dan tertata sesuai dengan kaidah-kaidah dalam berpikir. Hal ini disebut juga kekeliruan penalaran. Dalam sesat pikir ada dua bentuk yakni formal dan informal. Tindakan korupsi lebih pada kesesatan berpikir dalam bentuk informal, karena para pelaku dengan sengaja melanggar Undang Undang dan hukum untuk mencapai tujuan pribadi. Hal ini menyebabkan kerancuan relevansi, yakni premis-premis yang menunjukan sang koruptor sebagai pejabat negara, pejabat daerah, wakil rakyat atau PNS dan lainnya, tidak berakhir pada kesimpulan ideal yakni menjadi pemimpin yang menjawab tujuan bernegara dan berbangsa, malah menuju pada kesimpulan pemimpin yang memperkaya diri sendiri dan golongannya. Disinilah sesat pikir yang dilakukan oleh para koruptor.
Kekritisan dalam berpikir generasi muda akan menemukan bahwa tujuan bernegara haruslah juga dimaknai dalam tujuan pribadi sebagai warga negara. Kejelasan tujuan bernegara harus mampu diterjemahkan oleh setiap warga negara dalam kehidupan sehari-hari. Cita-cita masyarakat yang adil, sejahtera dan makmur haruslah diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, agar tujuan bernegara dapat terwujud. Masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang berbudaya harus menjaga kekritisannya untuk mewujudkan Indonesia yang utuh dan ideal. Korupsi dan tindakan untuk menguntungkan diri sendiri, bukanlah sebuah tindakan kritis. Untuk itu perlu dijauhkan dari perilaku generasi muda yang menyongsong era globalisasi. Generasi muda harus mampu bersaing di era global dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang kritis dan berbudaya.
Bentuk perjuangan kritis dalam memerangi korupsi
Korupsi merupakan tindakan dengan pengajaran yang sesat. Hal ini haruslah dilawan dan diberantas oleh generasi muda intelektual saat ini. Ada pun beberapa bentuk perjuangan kritis yang dapat dilakukan oleh generasi muda dalam memerangi korupsi adalah dengan memulai kritis terhadap diri sendiri dan berdampak pada kekritisan terhadap lingkungan luar diri. Mulailah dengan berpikir kritis terhadap konsep, deifinisi, asumsi dan informasi yang anda miliki berkaitan dengan integritas diri. Hal ini akan membantu anda dalam membangun kekritisan terhadap budaya anti korupsi di luar diri anda. Adapun bentuk dalam membangun perjuangan kritis tersebut adalah :
- Mulailah memahami bahwa diri adalah bagian dari bangsa Indonesia. Karena hanya dengan memahami hal inilah, maka generasi muda kritis terhadap tujuan hidupnya dan tujuan bernegara. Para pahlawan yang dahulu berperang melawan penjajah, memahami benar tindakan ini. Mereka memahami secara jelas siapa musuh mereka. Karakteristik inilah yang perlu ada dalam diri generasi muda, sehingga mereka memiliki tujuan yang adil bagi dirinya dan bagi orang disekelilingnya.
- Mulailah menciptakan lingkungan yang bebas dari tujuan korupsi. Generasi muda harus memiliki habitat yang bebas dari tindakan korupsi, sehingga mereka dapat melakukan internalisasi nilai-nilai kebangsaaan secara ideal. Orang-orang yang bertindak dan berperilaku korupsi harus dihindari dan dimusuhi sebagai tindakan yang tidak bermartabat.
- Kritis terhadap tindakan korupsi. Generasi muda harus memahami sesat pikir atau kerancuan dalam bernalar yang dilakukan oleh para koruptor, dan jadikan hal tersebut sebagai bukan budaya bangsa Indonesia. Karena budaya bangsa Indonesia adalah budaya yang berkarakter dan bersosial. Budaya bangsa Indonesia adalah budaya yang selalu mau untuk hidup bersama dalam suasana adil dan damai.
- Mulailah mengkampanyekan tindakan anti korupsi sebagai tindakan yang bermartabat. Kampanye-kampanye yang dilakukan bisa dalam berbagai bentuk apapun. Bisa dilakukan secara mandiri lewat media-media sosial, maupun secara bersama-sama lewat aksi bersama. Tindakan kampanye ini mengokohkan martabat orang-orang yang berintegritas dan menurunkan martabat orang-orang yang bangga dalam melakukan tindakan korupsi. Sebanyak apapun harta seseorang, akan tetapi diperoleh dengan cara yang tidak relevan, maka orang tersebut tidaklah bermartabat.
Penutup
Korupsi merupakan ancaman serius bagi bangsa ini. Globalisasi merasuki bangsa dengan membuka sekat-sekat identitas individu dan mengaburkan sekat identitas nasionalisme. Generasi muda saat ini, harus cerdas dan kritis dalam memahami persoalan ini. Korupsi merupakan kesesatan berpikir dalam mencari keuntungan pribadi dan kelompok. Dan hal ini harus diperangi oleh generasi saat ini, sehingga tidak membentuk budaya baru yang memuja para koruptor.
Daftar Pustaka
- Bakker, J.W.M (1984) Filsafat Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
- Foucault, M (1975) Discipline and Punish: The Birth of Prison. London: Penguin.
- Harrison, L.E & Hutingtong, S.P (2000) Membangun Budaya Bangsa. Jakarta: Yayasan Obor.
- Haryatmoko (2003) Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas
- Haryatmoko (2010) Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta: Gramedia
- Hartiningsih, M (ed) ( 2011) Korupsi yang Memiskinkan. Jakarta: Kompas
- Kaplan, David & Manners, Albert A (199) Teori Budaya (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelaja
- Lubis, M (2001) Manusia Indonesia. Jakarta: Buku Obor.
- Lev, Daniel S (1990) Hukum dan Politik di Indonesia. Jakarta: LP3ES
- Lubis, M & James, C.S (Eds) (1985) Bunga Rampai Korupsi. Jakarta: LP3ES.
- Mc. Closky, Herbert & Zaller, John (1988) Ethos Amerika, Sikap Masyarakat Terhadap Kapitalisme dan Demokrasi (terjemahan : Drs. JFR. Sardono). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
- Paul, R., & Elder, L (2001) The miniature guide to critical thinking concepts & tools. Dillon Beach, CA: Foundation for Critical Thinking.
- Paul, Richard W. & Elder, Linda (2002) Critical Thinking Tools for Taking Charge of Your Professional and Personal Life. Dillon Beach, CA: Foundation for Critical Thinking.
- Poespoprodjo, W (1999) Logika Scientifika. Bandung: Pustaka Grafika
- Poespoprojo, W & T. Gilarso (2011) Logika Ilmu Menalar. Bandung: CV. Pustaka Grafika
- Ranjabar, Jacobus ( 2014) Dasar- Dasar Logika. Bandung: Alfabeta
- Suseno, F. M (1999) Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup. Cet. 9. Jakarta: Gramedia Utama.
- Sidarta B. Arief (2012) Pengantar Logika, Sebuah Langkah Pertama Pengenalan Medan Telaah. Bandung: PT. Refika Aditama
- Surajiyo dkk (2014) Dasar- Dasar Logika. Jakarta: PT. Bumi Aksara
(Disampaikan oleh Ricky Arnold Nggili, sebagai materi dalam kegiatan "Sekolah Penggerak Anti Korupsi," kerjasama antara Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia dan GMKI, tanggal 28 Juli 2018, pukul 13.00 - 15.30 WIB, bertempat di Gedung KPK RI lantai 3, Jl. Rasuna Said Kav. C1, Jakarta Pusat)
Posting Komentar