xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

Kepemimpinan Transformasional di Era Disrupsi


Saat ini kita telah masuk dalam era disrupsi. Era disrupsi ditandai dengan semakin cepatnya perubahan terjadi. Tatanan lama dalam masyarakat cepat berubah menjadi tatanan yang baru. Teknologi informasi membuat dunia bergerak sangat cepat dalam menyongsong perubahan. Pengetahuan yang dahulunya hanya didapatkan dalam lembaga-lembaga pendidikan, sekarang berseliweran secara bebas di mesin pencari, seperti Google, Bing, dan lainnya. Inovasi yang terjadi di barat dengan cepat berdampak di dunia timur. Muncul trend-trend baru yang cepat mempengaruhi masyarakat luas. Era disrupsi membawa wajah baru bagi dunia. Di masa kini peluang dan tantangan datang secara bersamaan, untuk mengajak setiap orang disaat ini tergerus dalam kecepatan berputar perubahan dunia.

    Era disrupsi dimulai dengan ditemukannya kamera digital oleh Steven Sasson (1975-1976), yang pada akhirnya memunculkannya adanya kebutuhan teknologi memori, yaitu Change Complex Device (CCD), yang pada akhirnya memunculkan era teknologi informasi. Teknologi informasi pada akhirnya memberi pengaruh besar pada bidang lainnya seperti politik, ekonomi, hokum, social budaya dan lainnya. Pada tahun 2011 telah terjadi revolusi di Mesir, Libia dan Yaman, untuk menggulingkan pemerintahan otoriter, yang dikenal dengan “revolusi twitter” (revolusi media social). E-marketing, e-budgeting, dan bentuk pengembangan strategi ekonomi lainnya dengan menggunakan platform teknologi informasi, membuat biaya ekonomi lebih efesien. Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dibuat untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran dalam menggunakan Informasi Teknologi. Dan masih banyak bidang yang terdampak langsung dari munculnya Informasi Teknologi sebagai pintu masuk ke era disrupsi.

    Pada era ini membutuhkan para pemimpin yang mampu mengendalikan dan menginovasi perubahan. Pemimpin yang memiliki visi dan mampu mengoptimalkan berbagai sumber daya disekitarnya untuk menjadi potensi untuk digerakan menuju perubahan yang ideal. Pemimpin yang bisa mengendalikan dirinya dan mempengaruhi orang lain yang dipimpinnya. Bahkan lebih jauh dari itu, yakni pemimpin yang memberi pengaruh pada perubahan wajah dunia. Era disrupsi membutuhkan pemimpin tranformasional yang dinamis dan efektif dalam membawa perubahan bagi masyarakat.

    Untuk menjawab kebutuhan pemimpin transformasional tersebut, maka tulisan ini akan membahas secara umum tentang kepemimpinan trasnformasional sebagai kebutuhan di era disrupsi saat ini.


Pemimpin dan kepemimpinan

Apa itu pemimpin? Pemimpin adalah individu atau sosok yang memiliki sifat, ciri dan karakter pemimpin. Dengan demikian pemimpin adalah bentuk (forma) yang tampak dari karakter kepemimpinan. Sedangkan kepemimpinan merupakan materi dari seorang pemimpin. Materi kepemimpinan ini dipengaruhi oleh pengalaman dan pengetahuan yang terus mengisi kognisi seorang pemimpin. Secara akar kata pemimpin berasal dari kata dasar “pimpin” yang artinya bimbing atau tuntun, yang diberi awalan “pe” menjadi “pemimpin” (dalam bahasa Inggris, Leader). Pemimpin berarti orang yang mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan komunikasi sehingga orang lain tersebut bertindak sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Lebih lanjut, jika kata “pimpin” ditambahkan akhiran “an” maka akan menjadi “pimpinan,” yang berarti orang yang mengepalai. Antara pemimpin dengan pimpinan dapat dibedakan, yaitu pimpinan (kepala) cenderung lebih otokratis, sedangkan pemimpin cenderung lebih demokratis.

    Berikutnya kepemimpinan berarti kemampuan dan kepribadian sesorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok (S. Pamudji, 1992). Menurut George R. Terry (Hersey, Blanchard, & Johnson, 1996), kepemimpinan adalah suatu aktivitas mempengaruhi orang-orang untuk berusaha mencapai tujuan-tujuan kelompok dengan sukarela. Stephen P. Robbins (2001) juga sama dengan Terry, menyatakan kepemimpinan adalah suatu kemampuan mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Lebih lanjut Hughes, Ginnet dan Curphy (dalam Wirawan, 2002), mendeskripsikan kepemimpinan adalah pengalaman manusia yang rasional dan emosional. Kepemimpinan meliputi tindakan dan pengaruh berdasarkan atas logika disamping berdasarkan inspirasi dan keinginan.

    Dengan demikian kepemimpinan merupakan suatu aktivitas untuk mempengaruhi orang lain untuk menuju pada sebuah tujuan, dan dalam aktivitas mempengaruhi serta menginspirasi orang lain tersebut ada peran berpikir rasional dan mempertimbangkan empati.

    Banyak tipe kepemimpinan yang dapat dilihat dalam diri sosok banyak pemimpin. Pada awalnya kepemimpinan focus pada melihat kualitas hubungan antara pemimpin dan pengikut (leaders & followers), selanjutnya banyak studi yang melihat kepemimpinan dari variabel lain, seperti situasi dan kondisi lingkungan, cara penyelesaian masalah, karater individu dan tingkat ketrampilan individual.


Tipe Pemimpin dalam Teori Kepemimpinan

Tipe-tipe kepemimpinan dipengaruhi oleh bebagai pendekatan dalam teori kepemimpinan yang telah dikaji oleh para teoritikus. Adapun teori tentang kepemimpinan, meliputi: 1) Teori genetis (The great man theory), teori ini mengatakan bahwa pemimpin dilahirkan, dan bukan dibentuk. Dalam teori ini menunjukan bahwa tidak semua orang bisa menjadi pemimpin, karena hanya orang-orang spesifik saja yang bisa menjadi pemimpin. Mereka yang lahir dari gen tertentu sajalah yang layak dan memiliki karakter sebagai seorang pemimpin. Pemimpin itu tidka dibentuk, namun oleh bakat-bakat alamiah yang sudah ada sejak seseorang dilahirkan. 2) Teori Sifat (Traits Theory of Leadership), dalam teori ini mengasumsikan bahwa manusia yang mewarisi sifat-sifat tertentu yang membuat mereka efektif menjalankan fungsi kepemimpinan. Teori ini menempatkan sejumlah sifat atau kualitas yang dikaitkan dengan keberadaan pemimpin, yang memungkinkan pekerjaan atau tugas kepemimpinannya akan sukses atau efektif. Pemimpin akan efektif dan berhasil jika memiliki sifat-sifat seperti berani mengambil keputusan, berani bersaing, percaya diri, bersedia menguasai manajerial, loyalitas tinggi, hubungan interpersonal baik, intelegensi tinggi dan lain sebagainya. 3) Teori Perilaku atau disebut juga teori sosial (Behavioral Theory of Leadership), yang menempatkan pemimpin melalui proses pembentukan dalam masyarakat, dan tidak dilahirkan begitu saja. Setiap orang bisa menjadi pemimpin, melalui usaha penyiapan dan pendidikan, serta didorong oleh kemauan sendiri. Teori ini tidak menekankan pada sifat-sifat atau kualitas yang harus dimiliki pemimpin, tetapi memusatkan pada bagaimana cara aktual pemimpin berperilaku dalam mempengaruhi orang lain, dan hal ini dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan masing-masing. Dalam teori perilaku melahirkan dua tipe kepemimpinan yang dominan yakni otokrasi dan demokrasi. 4) Teori ekologis atau sintetis teori. Hal ini muncul sebagai reaksi dari kedua teori terdahulu (genetis dan sosial). Teori ini menyatakan bahwa seseorang akan sukses menjadi pemimpin, bila sejak lahir dia telah dimiliki bakat-bakat kepemimpinan yang dikembangkan melalui pengalaman dan usaha pendidikan juga sesuai dengan tuntutan lingkungan. 5) Teori Situasional (Situational Theory of Leadership) Teori ini muncul sebagai reaksi terhadap teori perilaku yang menempatkan perilaku pemimpin dalam dua kategori yaitu otokratis dan demokratis. Teori ini menyebutkan bahwa pemimpin memilih tindakan terbaik berdasarkan variabel situasional. 6) Teori Kontingensi (Contingency Theory of Leadership) Teori ini memfokuskan pada variabel tertentu yang berhubungan dengan lingkungan yang bisa menentukan tipe kepemimpinan yang paling cocok untuk situasi yang sesuai pula. Menurut teori ini, tidak ada gaya kepemimpinan terbaik dalam segala situasi. Keefektifan kepemimpinan ditentukan paling tidak oleh tiga variabel, yaitu gaya kepemimpinan, keadaan pengikut, serta situasi dimana kepemimpinan diterapkan. Teori ini merupakan pengembangan dari teori situasional. 7) Teori Kharismatik (Charismatic Theory) Dalam teori ini, para pengikut sang pemimpin memiliki keyakinan bahwa pemimpin mereka memiliki kemampuan luar biasa, yaitu kemampuan yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Pemimpin dianggap mampu membawa dan mengarahkan mereka pada sebuah tujuan ideal. 8) Teori Transaksional (Transactional Theory of Leadership) disebut juga sebagai teori-teori manajemen. Kajiannya berfokus pada peran pengawasan, organisasi dan kinerja kelompok. Teori ini menggunakan pendekatan transaksi untuk disepakati bersama antar pemimpin dan pegawai. 9) Teori Transformasional (Relational Theory of Leadership), teori ini berfokus pada hubungan yang terbentuk antara pemimpin dan pengikutnya. Pemimpin memotivasi dan menginspirasi orang dengan membantu anggota memahami potensinya untuk kemudian ditransformasikan menjadi perilaku nyata dalam rangka penyelesaian tugas pokok dan fungsi dalam kebersamaan. Pemimpin transformasional biasanya memiliki etika yang tinggi dan standar moral yang berangkat dari pengenalan diri dan pengenalan lingkungan disekitarnya.


Tipe pemimpin dalam teori kepemimpinan transformasional

Kepemimpinan Transformasional merupakan hasil suatu perkembangan pemikiran beberapa teoritisi kepemimpinan. Diawali dengan pemikiran James Mac Gregor Burns (1979) yang menggunakan istilah Transforming Leadership, kemudian dikembangkan oleh Benard M. Bass (1985) dalam bukunya yang berjudul Leadership and Performance Beyond Expectations.

    Kepemimpinan transformasional adalah proses dalam memimpin dengan tujuan melakukan perubahan yang representatif. Di era disrupsi saat ini memberikan banyak keuntungan bagi para pemimpin yang kreatif untuk mengembangkan dirinya dan memberi dampak bagi orang disekitarnya. Menurut Bass, kepemimpinan Transformasional merupakan upaya seorang pemimpin untuk mentransformasi para pengikut dari satu tingkat kebutuhan rendah hierarki menuju ketingkat kebutuhan lainnya yang lebih tinggi. Lebih lanjut O’Leary (2001) menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional berusaha membawa tiap-tiap individu dan tim bekerja melampaui status. Pemimpin transformasional adalah seorang yang memiliki kekuatan untuk mendatangkan perubahan di dalam diri para anggota tim dan di dalam organisasi secara keseluruhan. Secara spesifik Minnah El Widdah, Asep Suryana, dan Kholid Musyaddad (2012) memaparkan bahwa kepemimpinan trasnformasional adalah kepemimpinan yang mampu mentransformasi dan memotivasi para pengikutnya dengan cara: A) Membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan, B) Mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi atau tim daripada kepentingan sendiri dan, C) Mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan mereka pada yang lebih tinggi. Bass bersama dengan B.J.Avolio (1990) Mendefinisikan kepemimpinan transformational dengan menggunakan istilah 4I, yakni: 1) Individual consideration (Perhatian Individual). Pemimpin mengembangkan para pengikut dengan menciptakan lingkungan dan iklim organisasi yang mendukung. Perhatian individual adalah kemampuan pemimpin mendengarkan keinginan dan kebutuhan mereka. Pemimpin memberikan empati dan mendukung para pengikut, sehingga para pengikut mempunyai motivasi intrinsik untuk melaksanakan tugas mereka. 2) Intellectual Stimulation (Stimulan intelektual), yakni pemimpin menstimulasi para pengikut agar kreatif dan inovatif. Pemimpin mendorong para pengikutnya untuk memakai imajinasi mereka dan untuk menantang cara melakukan sesuatu yang dapat diterima oleh sistem sosial. 3) Inspirational motivation (motivasi inspirasional), yakni pemimpin menciptakan gambaran yang jelas mengenai keadaan masa yang akan datang (visi) yang optimis dapat dicapai dan mendorong para pengikut untuk meningkatkan harapan dan mengikatkan diri kepada visi tersebut. 4) Idealized influence (pengaruh teridealisasi), yakni pemimpin bertindak sebagai panutan (role model). Ia menunjukkan keteguhan hati, kemantapan dalam mencapai tujuan, mengambil tanggung jawab yang sepenuhnya untuk tindakannya dan menunjukkan percaya diri tinggi terhadap visi. Pemimpin siap untuk mengorbankan diri, memberikan penghargaan atas prestasi dan kehormatan kepada para pengikut.

    Pada tahun 1970, Robert Greenleaf memunculkan tipe kepemimpinan yang mirip dengan transformasional dengan istilah servant leadership. Servant leadership diartikan sebagai kepemimpinan yang melayani. Greenleaf yang memulai eksplorasinya terkait kepemimpinan yang melayani setelah pensiun dari pekerjaannya. Pada tahun 1964 Greenleaf mendirikan Center for Applied Ethichs, sekarang disebut Greenleaf Center for Servant Leadership. Greenleaf menyatakan bahwa kepemimpinan melayani dimulai dengan perasaan alamiah bahwa kita ingin melayani terlebih dahulu. Lalu pilihan yang disadari tersebut membawa seseorang berharap untuk mulai memimpin dirinya sendiri dan orang lain. Servant leadership adalah memimpin dengan memprioritaskan kepentingan organisasi dan pengikutnya, serta mampu berkontribusi dalam masyarakat yang lebih luas, sehingga membawa dampak yang positif bagi organisasi dan lingkungan sekitar. Kepemimpinan yang melayani terbentuk sesuai dengan kondisi yang ada disekitarnya. Ia berfungsi untuk mengurangi kompetensi dalam organisasi, meningkatkan egalitarisme, serta menghasilkan perubahan yang positif dalam masyarakat.

    Tipe kepemimpinan lainnya yang sangat dekat dengan teori kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan karismatik. Menurut Gibson (2012:351-353) kepemimpinan karismatik adalah kualitas yang menonjol pada seseorang pemimpin dalam mempengaruhi pengikutnya dengan menggunakan anugerah supranatural dan kekuatan pengikutnya. Selanjutnya Gibson (2012:351-353) menjelaskan definisi tipe kepemimpinan karismatik adalah kualitas pemimpin dalam mengidentifikasi secara tepat tuntutan–tuntutan, nilai-nilai dan harapan-harapan pengikutnya dan kemudian ditransformasikan menjadi kepentingan semua. Menurut Luthans (2011:428-429) tipe kepemimpinan karismatik adalah kepemimpinan yang mempunyai pribadi yang mendalam dan efek luar biasa untuk memotivasi para pengikutnya dalam mencapai performa yang luar biasa. Menurut Ivancevich (2002:351), gaya kepemimpinan karismatik adalah kepemimpinan menciptakan suasana motivasi berdasarkan komitmen emosional, dan identifikasinya dengan visi, filsafat dan paradigma pada pengikutnya. Menurut Herold (2009:410) tipe kepemimpinan karismatik adalah berhubungan dengan perilaku pelaksanaan inovasi dan akibatnya diidentifikasikan konstruk kepemimpinan dalam mempromosikan yang memainkan peran penting dalam mempromosikan pengikutnya, Selanjutnya menurut Barron (2008:516) pemimpin karismatik adalah pemimpin yang member efek sangat kuat pada pengikutnya tentang mereka,seperti individu yang memiliki jumlah pada kepercayaan diri sendiri. Dari semua pendapat ahli diatas, secara umum menjelaskan kepemimpinan karismatik adalah sikap seorang pemimpin yang mempunyai kualitas pribadi yang kuat dan memberikan efek yang luar biasa pada pengikutnya ,dengan memiliki orientasi kekuasaan yang sosial dengan cara menekankan internalisasi dari nilai nilai bukan identifikasi pribadi serta keyakinan yang dimiliki individu untuk mencapai performa yang luar biasa.

    Selain servant leadership dan kepemimpinan karismatik sebagai ciri model kepemimpinan transformasional, ada juga kepemimpinan otentik yang juga memiliki ciri sama dengan kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan otentik memperoleh momentum banyak dikaji para peneliti sejak awal tahun 2000-an, meskipun ide dan penelitian tentang pemimpin yang otentik telah dilakukan sejak beberapa dekade sebelumnya, misalnya oleh Seeman (1966), lalu Henderson & Hoy (1983). Kajian tersebut intensif dilakukan di Amerika Serikat, sebagai pengembangan dari kajian mengenai kepemimpinan transformasional (transformational leadership), kharismatik (charismatic leadership), dan pelayanan (servant leadership). Kepemimpinan otentik mencerminkan akar konseptual dari psikologi positif dan menekankan pengembangan karakteristik kepemimpinan yang lebih positif (Luthans & Avolio, 2003). Istilah kepemimpinan otentik terdiri dari dua kata, yaitu kepemimpinan dan otentik. Kepemimpinan dalam bahasa Inggris disebut dengan leadership, memiliki makna kemampuan dan proses mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan tertentu. Istilah otentik (authenticity) berasal dari pepatah Yunani, yaitu γνῶθι σεαυτόν/ gnōthi seauton / know thyself, yang memiliki makna kenali dirimu sendiri, tertulis dalam salah satu prasasti Candi Apollo, di Delphi. Selain itu juga terdapat istilah Yunani yang lain, yaitu “Authento” (to have full power), yang memiliki makna otentik (Gardner, Cogliser, Davis, & Dickens, 2011). Berdasarkan kajian ilmiah, authenticity didefinisikan sebagai kemampuan dan proses mental individu untuk menemukan dirinya yang sejati, dan berperilaku selaras dengan kesejatiannya itu dalam berbagai situasi kehidupan.


Transformasional Merubah Paradigma Kepemimpinan

Dari berbagai bentuk teori kepemimpinan diatas, maka tampaklah ada dua bentuk umum dalam kepemimpinan, yakni kepemimpinan yang dipahami sebagai puncak hirarki structural, dan kepemimpinan sebagai proses perubahan yang lebih efektif.

    Hingga tahun 1800-an dan awal 1900-an, tipe kepemimpinan dipahami sebagai posisi puncak dalam sebuah hirarki struktual. Saat itu pada pemimpin dilatih kemampuan retorika, logika, dan memiliki perawakan tegap/ atletis. Dengan pendekatan ini maka memunculkan tipe kepemimpinan otokrasi, tipe kepemimpinan militeristik, tipe kepemimpinan demokratis, tipe kepemimpinan paternalistik, dan sebagainya. Masing-masing tipe kepemimpinan tersebut memiliki kelemahan dan kekuatan. Karena itu tipe-tipe tersebut perlu diterapkan sesuai dengan situasi. Hal ini membuat kesulitan dalam penerapannya, karena asumsi tersembunyi yang dianut dengan mempelajari, dan menerapkan tipe-tipe kepemimpinan tersebut agak kesulitan. Adapun kesulitan kesesuaian teori dan penerapannya disebabkan karena beberapa hal. Pertama, pemimpin diasumsikan menguasai berbagai tipe kepemimpinan sehingga ia dapat menerapkan sebuah tipe sesuai dengan kebutuhan situasi. Akhirnya asumsi demikian cenderung mengabaikan karakter asli dari setiap orang, yang memang pasti berbeda. Kedua, sintesa yang ditawarkan sebagai tipe efektif adalah tipe kepemimpinan situasional, dimana kemampuan menganalisis situasi menjadi faktor determinan. Faktor ini menjadi tidak relevan, karena perkembangan nilai dan kebudayaan modern terus melaju dengan kecepatan yang tidak dapat diantisipasi. Seorang pemimpin yang menerapkan tipe ini dapat terjebak menghabiskan berbagai energinya, dan juga energi organisasi untuk mengadaptasi situasi yang terus berkembang dengan cepat. Akibatnya ia kehabisan energi untuk memperhatikan peluang (opportunity) mengembangkan organisasi, yang justru seharusnya menjadi faktor paling penting untuk diperhatikan. Ketiga, tipe-tipe kepemimpinan tersebut umumnya masih menggunakan model struktur piramid, yang sarat akan nuansa feodalis, dimana pimpinan puncak menjadi sangat sentralis. Keempat, umumnya pendekatan yang digunakan adalah “dari luar ke dalam,” yaitu bagaimana memimpin orang dalam situasi yang tertentu, bagaimana mengkoordinir dan mengendalikan bawahan pada tingkat kedewasaan tertentu, bagaimana cara mengendalikan orang lain, dan sebagainya. Pendekatan ini melupakan kenyataan paling hakiki, bahwa efektifitas kepemimpinan sebenarnya justru ditentukan oleh kemampuan memimpin diri sendiri (pendekatan “dari dalam ke luar”). Kelima, persoalan global pada era disrupsi yang dihadapi semua pemimpin saat ini adalah bahwa perubahan terjadi begitu cepat, bahkan tak terkendali. Gidens menyebutnya dengan Runaway World, Charles Hendy menyebutnya dengan The Age of Paradox, Richard Oliver menyebut Uncertain and Turbulent World. Tipe kepemimpinan konvensional terlalu terbatas untuk mengelola situasi perubahan supercepat macam itu. Padahal salah satu tugas penting pemimpin adalah memberi kontribusi pada perubahan dan mengarahkannya. Keenam, tipe-tipe kepemimpinan konvensional menekankan pada pengembangan kepribadian, Keenam asumsi ini menjadi alasan untuk harus melakukan perubahan tipe kepemimpinan di era disrupsi, ke tipe kepemimpinan yang lebih fleksibel, dinamis dan menekankan pada kualitas.

      Kepemimpinan transformasional yang focus pada perubahan efektif merupakan bentuk yang tepat dalam dunia yang serba berubah saat ini. Paradigma kepemimpinan harus diubah dari seseorang yang berupaya untuk menduduki puncak hirarki structural menuju pada kepemimpinan sebagai proses perubahan yang efektif. Kepemimpinan transformasional menggunakan karakter yang khas itu sebagai kekuatan untuk memimpin. Ia tidak digunakan dengan memperhatikan tipe situasional, namuan berdasarkan karakter asali sang pemimpin. Ia tidak seperti bunglon yang harus menyesuaikan diri dengan situasi, justru sebaliknya pemimpinlah yang mengontrol situasi. Kepemimpinan transformasional mendorong kekuasaan terdistribusi secara maksimal dan tidak mengendalikannya. Kepemimpinan transformasional memiliki komponen-komponen utama yang memungkinkannya memberi kontribusi bagi perubahan, bukan sekedar mengadaptasinya. Untuk itu titik tekan kepemimpinan transformasional adalah karakter. Pada kepemimpinan sebelumnya hanya menekankan pengembangan karakteer pada basis kepribadian yang menitikberatkan pada penampilan luar, seperti cara berpakaian, cara berbicara di depan publik (public speaking), teknik orasi, teknik bernegosiasi, dan sebagainya. Sementara basis karakter yang menjadi ciri kepemimpinan transformasional menekankan pada sikap-sikap utama yang disesuaikan dengan karakter dasar individu, sehingga kesan diluar (kepribadian) merupakan cerminan dari karakter dasarnya, bukan sekedar polesan.

    Kebutuhan akan kepemimpinan yang berbasis nilai (karakter) menjadi penting karena tuntutan perubahan. Dalam situasi yang sangat cepat berubah ini, efektifitas kepemimpinan ditentukan antara lain oleh kemampuan untuk, 1) Bersikap terbuka sehingga dapat membangun mekanisme sinergi dengan berbagai komponen; 2) Menyatukan semua potensi yang dimiliki, baik potensi individual maupun potensi jejaring; 3) Maksimalisasi fungsi otak; 4) Maksimalisasi anugerah Tuhan yang ada pada kita, yaitu hati nurani, kekuatan otak, imajinasi atau intuisi, dan pilihan bebas.


Model Kepemimpinan Transformasional

Model Kepemimpinan Transformasional harus dipahami pada dua tahap. Tahap pertama terkait dengan kompetensi internal, yaitu terkait dengan kompetensi dasar yang dimiliki atau yang perlu dimiliki. Sedangkan tahap kedua terkait dengan kompetensi eksternal, yaitu merupakan akibat dari adanya kompetensi internal. Kompetensi eksternal merupakan hasil pancaran dari komponenkomponen internal.

    Kompetensi internal merupakan bagian yang esensial dari setiap individu. Bagian ini harus selesai terlebih dahulu, sebelum melangkah ke luar untuk berekspresi. Dengan memperkuat pengenalan diri dan potensinya, kepemimpinan transformasional mengintegrasikan nilai-nilai kreativitas, komitmen, integritas, ketekunan, pengelolaan energi, serta intuisi dan kepekaan. Dengan mengenal diri dan potensi, seorang pemimpin pada akhirnya memiliki paradigma (cara pandang) yang benar. Ia memiliki prindip ideal yang merupakan karakter ideal dari dirinya. Pada akhirnya dengan paradigm yang tepat tersebut, membuat sang pemimpin memiliki integritas dan komitmen dalam memimipin. Dengan ini tampak bahwa kompetensi internal mempengaruhi perilaku eksternal sang pemimpin. Ia harus menjamin terjadinya perubahan yang tepat dalam dirinya, sehingga ia mampu memiliki kekuatan pengaruh (atau yang disebut sebagai karakter). Dari situlah maka akan memunculkan kreativitas dalam mengelolah perubahan. Kreativitas merupakan bibit untuk menemukan dan menciptakan hal-hal baru, mendobrak dan menguji pola-pola lama, serta kesadaran untuk menggunakan seluruh potensi otak yang kita miliki secara maksimal. Komitmen terkait dengan keteguhan dan kesetiaan pada janji dan kesepakatan. Integritas merupakan kesatuan titik himpit antara pengetahuan dan perilaku, antara kata dan realitas perilaku. Ketekunan memberikan kita kemauan untuk bekerja dengan berdisiplin, setia pada tujuan-tujuan jangka panjang, juga pada nilai-nilai utama. Pengelolaan energi memberi kita kecerdasan dan keterampilan untuk mengelola semua energi yang ada bagi kepentingan masa kini dan masa depan. Sementara intuisi dan kepekaan memberi kita kemampuan untuk mengenal pergumulan organisasi dan rekan-rekan kerja yang tidak terungkap, mengarahkan organisasi ke posisi yang tepat pada saat situasi menuntutnya.

    Kompetensi internal akan membantu pemimpin dalam menunjang kompetensi ekseternal, sehigga mampu mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Kompetensi Ekstrenal meliputi empat factor. Faktor pertama, karisma. Karisma merupakan faktor paling mendasar dalam proses transformasi, karena terkait dengan nilai bawaan seseorang yang membuatnya memiliki daya tarik dan kekuatan pengaruh yang mendalam. Karisma terkait dengan kemampuan pemimpin untuk membangkitkan kekuatan dan potensi orang lain yang dipimpin, sehingga mereka dapat dengan gembira memberikan kontribusi optimal bagi kebersamaan (organisasi). Karisma berarti memiliki kompetensi dan visi yang jelas untuk meraih visi. Karisma juga terkait dengan kemampuan pemimpin menimbulkan antusiaisme dan komitmen bawahan terhadap tujuan bersama. Faktor kedua, inspirasi. Inspirasi menjelaskan perihal bagaimana sang pemimpin mengkomunikasikan visi masa depan organisasi kepada orang-orang lain atau bawahannya. Sang pemimpin menggunakan penjelasan visioner untuk menggambarkan apa-apa yang dibutuhkan oleh organisasi dari mereka sehingga mereka dapat menggunakan keahlian, semangat dan inspirasi mereka untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Pemimpin selalu dapat memberi inspirasi kepada bawahan untuk menemukan cara-cara baru, kreasi-kreasi baru dalam mengembangkan kinerja dan tugas-tugas mereka. Faktor ketiga, pertimbangan (kebijaksanaan) individu. Kebijaksanaan terkait dengan kemampuan untuk menimbang baik dan buruk, membedakan yang salah dari yang benar, yang berguna dari yang tidak berguna, kerendahan hati dalam berhubungan dengan orang lain. Faktor ini berhubungan dengan perihal bagaimana pemimpin melayani bawahannya sebagai mentor. Ia memperlakukan orang lain sebagai individu-individu yang utuh dengan keberadaannya, dan berorientasi pada upaya menjawab kebutuhan mereka. Ia selalu berusaha meninjau kriteria-kriteria kesuksesan bawahan. Dan tidak cuma itu, ia juga berorientasi mendorong dan membentuk para bawahannya untuk menjadi pemimpin. Faktor keempat, stimulasi (dorongan) intelektual. Stimulasi intelektual menjelaskan bagaimana kepemimpinan transformasional melakukan tiga hal. Pertama, mendorong bawahannya untuk berpikir dengan cara khas mereka guna mendekati dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi dengan menggunakan cara-cara baru. Kedua, mendorong bawahan untuk memiliki kemauan dan ambisi untuk mengembnagkan diri dengan cara yang kreatif dan khas. Ketiga, merangsang daya intelektual para bawahan untuk selalu dapat mempertanyakan kembali paradigma, asums-asumsi lama, nilai-nilai lama, kepercayaan-kepercayaan lama, kebiasaan-kebiasaan lama, yang mungkin sudah usang dan tidak sesuai dengan kebutuhan. Dengan begitu bawahan memiliki kemampuan belajar secara kreatif untuk menyelesaikan sendiri persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Salah tujuan utama kepemimpinan transformasional adalah mendorong dan merangsang kemampuan pengikut (bawahan) untuk menyelesaikan sendiri masalah mereka. Ini yang disebut dengan pengemangan yang berbasis karakter, berbasis pada kekhasan individu. Perhatikan, bahwa yang menjadi titik sorotnya adalah “memberdayakan pengikutnya” supaya mereka memiliki kemampuan menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang mereka hadapi. Ciri ini tentu membedakan pemimpin transformasional dari model kepemimpinan lainnya. Selain itu, terdapat ciri lainnya, yaitu kemampuan pemimpin memberi inspirasi kepada bawahan, kemauan pemimpin untuk mengembangkan kriteria-kriteria sukses para bawahan (memperhatikan kebutuhan material maupun imaterial), serta membuka peluang bagi kreatifitas bawahan guna menemukan metode-metode alternatif dalam penyelesaian masalah.

    Kepemimpinan transformasional pada akhirnya mampu untuk membawa setiap orang menjadi pemimpin di era yang dinamis seperti saat ini. Dengan fokus pada pengenalan diri dan optimailisasi potensi dalam diri, yang berdampak pada perubahan diluar diri, maka seseorang telah menjalankan pengaruh kepemimpinannya secara optimal. Di era saat ini, berbagai sumber daya tersedia secara berlimpah untuk mengaplikasikan kepemimpinan transformasional. Keterbukaan teknologi informasi menjadi ruang yang sangat efektif dalam mengembangkan tipe kepemimpinan ini. Untuk itu dengan kepemimpinan transformasional membentuk kembali eksistensi utuh dari diri manusia, yang memberi pengaruh pada perubahan lingkungan sekitarnya. Kepemimpinan transformasional mengajak setiap pemimpin melakukan perubahan yang konstruktif, dan tidak terjebak pada kompleksitas masalah.


DAFTAR PUSTAKA

  • Hadari Nawawi. 2004. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
  • ---------, 1998. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
  • Harbani Pasolong. 2008. Kepemimpinan Birokrasi. Bandung: Alfabeta.
  • Hersey, Paul. 1996. Manajemen Perilaku Organisasi, (Terjemahan). Jakarta: Gramedia
  • Kartono. 2006. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persad.
  • Malthis, Robert L & John H. Jackson. 1992. Manajemen Sumber Daya Manusia, Buku I. Jakarta: Salemba Empat.
  • Maxwell, Jhon C. 1995. Mengembangkan Kepemimpinan di Dalam Diri Anda. (Terjemahan). Jakarta: Binarupa Aksara.
  • Miftah Thoha. 2005. Perilaku Orgamisasi, Konsep, Dasar dan Aplikasinya. Jakarta : Raja Grafindo. Moenir A.S. 1986. Kepemimpinan Kerja: Peranan, Teknik dan Keberhasilannya. Jakarta: Bina Aksara Northouse, Peter G. 2013. Leadership: Theory and Practice. Terj. Dr. Ati Cahayani. Jakarta: PT. Indeks.
  • Robbins, Stephen P. 2001. Perilaku Organisasi, Jakarta: Bumi Aksara
  • S Pamudji. 1992. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara
  • Sayuti. 2004. Motivasi dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Ghalia.
  • Soebagyo Sastrodiningrat. 2002. Manajemen dan Kepemimpinan. Jakarta: Radar Jaya Offset
  • Veithsal Rivai. 2003. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta : Raja Grafindo.
  • Wahdjosimidjo. 1997. Kepemimpinan dan Motivasi. Bogor : Ghalia.
  • Wijaya. 1996. Peranan Motivasi dalam Kepemimpinan. Jakarta : Akademika.
  • Yulk, Gary. 2010. Kepemimpinan dalam Oganisasi. Jakarta: PT Indeks

(Materi ini disusun dan dibawakan oleh Ricky Arnold Nggili untuk disampaikan dalam Gegeran daud: Pengkaderan Daud, GMKI cabang Yogyakarta komisariat Daud Cabang Karawang, tanggal 13 November 2020, pukul 19.30-21.30WIB, via Zoom clouds meet)

Posting Komentar

Posting Komentar