xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

Liberal Arts Membentuk Berpikir Kritis


Liberal arts adalah sebuah kosakata dalam Bahasa Inggris yang maknanya berasal dari Bahasa Latin, Artes Liberales, yang mengandung makna manusia yang bebas. Pembelajaran liberal arts mengutamakan pembelajaran yang luas, komprehensif, integrative dan terbuka. Pada kurikulum liberal arts terdapat beberapa rumpun disiplin keilmuan yang diintegrasikan menjadi satu, yakni nature sains, social sains, humaniora, seni dan agama. Kemenyatuan dipandang rasional untuk melihat realitas dunia yang kompleks. Pada umumnya liberal arts merupakan general education yang mendorong setiap orang untuk mampu berpikir dengan kompleksitas dan kepelbagaian dalam menghadapi serta mencermati perubahan. Dengan menggabungkan scientific skill dan humanistic thought, maka pembelajaran liberal arts akan lebih inovatif dan kreatif dalam memahami berbagai bentuk realitas kebenaran. 

   Pada umumnya pendidikan di Indonesia dikotak-kotakan berdasarkan rumpun keilmuan. Hal ini menyebabkan adanya Batasan-batasan dalam memahami asas dan prinsip sebuah ilmu. Dengan demikian ilmu hanya hidup untuk dirinya sendiri dan tidak mampu mendeskripsikan obyek kebenaran dengan lengkap. Interkoneksi dan interdisipliner tidak menjadi kebiasaan dalam pekerjaan-pekerjaan ilmiah. 

   Dengan demikian libral arts hadir sebagai upaya untuk keluar dari sekat-sekat disiplin ilmu, dan menghadirkan inovasi dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut Amsterdan University College (dalam Lewis, 2006), liberal arts masih sangat relevan pada abad 21. Adapun alasannya adalah 1) Masyarakat dunia sekarang terus berubah dan mengalami percepatan. Untuk itu dunia membutuhkan pemimpin yang kratif, kritis dan fleksibel dalam mengatasi komplesitas masalah yang dihadapi dunia. Liberal arts adalah dasar yang baik dalam konteks ini. 2) liberal arts mempersiapkan pelajar dengan pengetahuan sains, dan factual, serta pengetahuan tentang kompetensi antar budaya dan interdisipliner. 3) liberal arts membentuk karakter seseorang untuk terampil dalam menghadapi realitas kehidupan. 4) Saat ini proses pencaharian kebenaran lintas dispilin membutuhkan ketrampilan analisis dengan pengalaman praktis, dan disini liberal arts dapat digunakan secara optimal. 

   Liberal arts mampu membentuk seseorang yang berkarakter dan pemikir kritis yang bertanggungjawab pada perkembangan ilmu pengetahuan dimasa datang. 

Perkembangan Liberal Arts 
Pendidikan Liberal Arts sudah berkembang sejak zaman Yunani kuno. Saat itu pendidikan fokus pada nilai atau keunggulan (virtues or excellence), dimana yang dipelajari adalah puisi, bahasa, latihan fisik dan pelajaran-pelajaran yang dianggap penting bagi pembentukan karakter pemimpin. Untuk itu Liberal Arts menjadi penidikan bagi kaum elit Yunani kuno. Hal ini bermula dari abad ke-5 SM, saat Yunani mengadopsi pemerintahan demokrasi, pola pendidikannya juga berubah menjadi lebih luas, karena harus bisa melatih orang-orang untuk menjalankan kehidupan masyarakat yang bebas dalam sistem pemerintahan yang baru. Berabad-abad kemudian setelah itu bangsa Romawi menyebut ini sebagai pendidikan liberal, yang dalam bahasa Latin berarti manusia yang bebas. Dalam buku berjudul In Defense of Liberal Education yang ditulis oleh Fareed Zakaria (2015) menuliskan bahwa sudah sejak zaman Yunani Kuno orang-orang sudah tidak setuju dengan tujuan Pendidikan Liberal, dimana ada pertentangan antara Plato sang filsuf dan Isokratis sang orator. Plato dan pengikutnya memandang pendidikan sebagai alat untuk mencari kebenaran, sedangkan Isokratis memandang pendidikan sebagai alat untuk mendapatkan hidup yang baik. Selanjutnya filsuf Romawi, Cicero yang menggunakan istilah artes liberales, sebagai usaha untuk mengkombinasikan pencarian kebenaran dan retorika. 

   Ilmu pengetahuan (science) yang merupakan inti dari Liberal Arts dianggap sebagai pengetahuan yang abstrak dan tidak praktis. Berbeda dari ilmu humanistik seperti Bahasa dan Sejarah yang pada masa itu mempersiapkan orang untuk menjadi politikus, pengacara, makelar dan pedagang. Pada abad-1 SM, terbentuklah sistem pendidikan Latin yang dikembangkan oleh Marlianus Capella yang disebut "7 liberal arts" (Trivium: tata Bahasa, logika, retorika; dan Kuadrivium: geometri, matematika, music, astronomi) yang terbagi menjadi dua, ilmu pengetahuan alam dan humaniora, teoritis dan praktis. 

   Pada abad ke-8, di Eropa Barat, Raja Franks membuat sebuah sekolah bernama Alcuin. Sekolah ini fokus pada tata bahasa, analisis kontekstual dan matematika dan beberapa versi liberal arts. Kemudian di abad pertengahan, pendidikan di Eropa mendapat pengaruh dari pendidikan Islam yang berasal dari bangsa Arab yang menghasilkan inovasi khususnya dalam bidang matematika, salah satunya adalah aljabar. Pada akhir abad pertengahan pendidikan di Eropa mengalami kemajuan sebagai dampak dari perdagangan dan perjalanan global, dimana muncul keahlian di bidang geografi, hukum dan ilmu pengetahuan alam. Italia sebagai negara yang berkembang dalam hal perdagangan dan kapitalisme karena memiliki daerah pinggir laut yang panjang akhirnya mengundang banyak sarjana dari berbagai bangsa untuk belajar tentang teologi, hukum sipil dan subyek lain yang akhirnya membentuk kelompok-kelompok yang pada akhirnya disebut universitas, yang dilindungi secara hukum sehingga memiliki kebebasan dan otonomi. Pada tahun 1088 universitas pertama di Eropa didirikan di Bologna dan beberapa abad kemudian universitas mulai didirikan di Paris, Oxford, Cambridge dan Padua. Pada abad ke-14 beberapa sarjana Italia memandang bahwa universitas sudah sangat spesifik dan harus kembali ke akar Yunani dan Romawi kembali. Pada abad ke-19 kampus-kampus sudah menjadi lebih sekuler. Pada abad ke-20, di antara beberapa universitas-universitas besar, Harvard dan Yale membangun kampus asrama untuk mempertahankan latar seni liberal (liberal arts) dan penelitian (research) pada saat yang bersamaan. Kampus asrama ini dinilai mendorong proses pembelajaran yang tidak didapat dalam ruang kelas, yakni belajar melalui interaksi dengan sesama mahasiswa. Pada masa itu tujuan kampus-kampus liberal art adalah juga untuk membangun karakter berdasarkan nilai religius kampus tersebut. 

   Universitas-universitas awal di Amerika Serikat menggabungkankan berbagai disiplin ilmu dalam kurikulum mereka seperti ilmu pengetahuan alam, humaniora dan hukum. Para mahasiswa diminta untuk mengambil semua mata kuliah ini dan menghubungkan satu sama lain, karena kampus menganggap bahwa dibalik semua mata kuliah ini ada sebuah kecerdasan tunggal. Universitas Yale menunjukan bahwa inti dari Pendidikan Liberal adalah bukan untuk mengajarkan hal-hal yang spesifik berhubungan dengan profesi, melainkan untuk meletakkan dasar yang umum untuk semua profesi. Yale menjelaskan bahwa dua tujuan liberal arts adalah untuk melatih pikiran untuk berpikir dan mengisi pikiran dengan konten-konten spesifik. 

   Selanjutnya, Charle Eliot seorang ilmuwan yang lulus dari Universitas Harvard pada tahun 1853, dan memiliki keahlian dibidang Matematika dan Kimia, menghidupkan kembali liberal arts di Harvard. Elliot Adalah Rektor Universitas Harvard selama empat dekade. Namun perjalanannya sehubungan dengan Pendidikan Liberal dimulai sebelum dirinya menjadi Presiden universitas tersebut. Sebelumnya Elliot adalah seorang ilmuwan yang lulus dari Universitas Harvard pada tahun 1853 yang kemudian menjadi asisten profesor di bidang matematika dan kimia. Eliot pergi ke Eropa dan melihat perkembangan pesat pendidikan tinggi di Eropa dan bangkitnya research universities di Jerman. Melihat ini, Elliot kemudian berpikir bahwa bangsa Amerika harus mengkombinasikan perkembangan research university di Eropa dengan tradisi kampus klasik Amerika. Elliot mengusulkan universitas hebat di Amerika untuk menjalankan fungsi penelitian setelah pendidikan S1, yakni pada tingkat sarjana (graduate), sedangkan selama pendidikan S1 (undergraduate) mahasiswa bebas menjelajahi minat mereka secara luas. Elliot sangat memahami perbedaan antara bidang ilmiah dan humaniora, dia ingin universitas membedakan antara pendidikan berbasis keahlian dan pendidikan liberal, dimana menurutnya pendidikan liberal lebih penting. Elliot melakukan banyak transformasi di Harvard, membangun universitas modern Amerika sehingga mengubah wajah universitas dan Negara Amerika pada saat itu. 

Manfaat Liberal Arts dalam Perkembangan Teknologi 
Manfaat dari liberal arts adalah pendekatan ini mengajar orang cara untuk berpikir. Karena liberal arts mengajarkan setiap orang untuk memproduksi inteletualitas lewat menulis dan berbicara. Ketika seseorang sudah mampu berpikir kemudian menulis buah-buah pikirannya secara baik, maka orang tersebut haruslah juga mampu untuk menyampaikan buah-buah pemikirannya untuk bisa meyakinkan orang lain. Selain itu, liberal arts juga mengajarkan seseorang untuk memahami cara belajar. Menurut Howard Gardner (2003), seorang psikolog dan ahli di bidang pendidikan, paling tidak ada 8 macam kecerdasan: bahasa, logika-matematika, spasial, musik, kinestetika, naturalistik, intrapersonal dan interpersonal. Untuk bisa bertahan dalam dunia saat ini mahasiswa harus memiliki beberapa macam kecerdasan. Apalagi menurut Gardner kedepannya dengan adanya Google sebagai sumber informasi instan maka mahasiswa akan semakin fokus pada cara berpikir. 

   Saat ini pentingnya liberal arts lebih sangat dibutuhkan. Perkembangan teknologi dapat menjadi kombinasi yang tepat dalam perkembangan liberal arts. Teknologi jika dikaitkan dengan dasar-dasar keilmuan lainnya, akan menjadi sebuah inovasi yang kreatif dan mendukung kinerja manusia. Fareed Zakaria (2015) menggambarkannya dengan beberapa contoh kesuksesan populer di zaman ini untuk menjelaskan hubungan keduanya. Dia mengambil contoh Mark Zuckerberg, penemu Facebook, yang merupakan mahasiswa classic liberal art yang mempelajari Yunani kuno semasa SMA dan mengambil jurusan psikologi semasa kuliah. Ini yang menjadi dasar Zuckerberg mempelajari perilaku orang dalam menggunakan internet khususnya berhubungan dengan mengungkapkan identitas mereka dalam internet, sehingga akhirnya ia menciptakan Facebook. Zuckerberg mengatakan bahwa Facebook adalah “as much psychology and sociology as it is technology.” Steve Jobs juga menjelaskan “it is in Apple’s DNA that technology alone is not enough. It’s technology married with liberal arts, married with humanities, that yields us the result that makes our hearts sing.” 

   Liberal arts dan teknologi saling mendukung dalam menunjang kualitas hidup manusia untuk lebih bertanggungjawab. Dan hal ini berhubungan dengan kreativitas, imajinasi dan inovasi yang dihasilkan dari sinergitas beberapa disiplin ilmu. David Autor, seorang ekonom MIT menyebutkan bahwa dalam era kemajuan teknologi saat ini ada hal-hal yang bisa digantikan oleh teknologi komputerisasi, yakni hal-hal yang bersifat prosedural, tapi ada hal-hal yang lebih fleksibel yang berhubungan dengan penilaian dan akal budi seperti berhipotesis yang tidak bisa digantikan. Lebih jauh lagi Autor menjelaskan tiga tipe pasar pekerjaan. Pasar pekerjaan paling bawah adalah yang membutuhkan keahlian tangan manusia seperti memasak, mengendarai bus, dan merawat orang tua atau anak-anak. Kemudian ada pasar pekerjaan menengah yang bersifat pekerjaan kantor seperti di bank, perusahaan asuransi, firma hukum yang mencakup pekerjaan seperti pendataan, pengelolaan informasi, pengisian form yang semakin hari semakin melibatkan mesin. Dan yang terakhir adalah pasar pekerjaan yang berada di posisi puncak yakni pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kreativitas, kemampuan memecahkan masalah, mengambil keputusan, kemampuan berargumentasi dan managerial. Pada pasar yang ketigalah membutuhkan kompetensi alumni liberal arts. Menurut Vinod Khosla, seorang pemodal di Silicon Valley yang mendirikan Sun Microsystem dan Khosla Ventures, pekerjaan yang dilakukan di Silicon Valey merupakan pekerjaan yang bersifat kompleks, yang mengandung kecerdasan emosional, kreativitas dan penilaian yang hanya bisa dilakukan oleh manusia dan bukan robot. 

Upaya untuk tetap menjaga pemimpin dunia 
Liberal arts saat ini bergeser dan ditinggalkan saat ini. Hal ini disebabkan karena semakin masifnya penggunaan waktu untuk menikmati hiburan dan fitur-fitur rekreasi dalam internet, membuat setiap orang makin sulit untuk mencintai proses belajar. Informasi yang disediakan di mesin pencaharian internet seharusnya menjadi peluang meningkatkan kreativitas dan inovasi. Malah sebaliknya menjadi ruang untuk bersantai dan mengurangi produksi intelektualitas. 

   Liberal arts mengalami penurunan beberapa waktu belakangan ini akibat dari menurunnya nilai ilmu pengetahuan (science) dan teknologi. Sebelumnya pada zaman perkembangan pendidikan di Yunani dan Romawi, ilmu pengetahuan (science) dianggap sebagai nature sains. Namun karena pada abad ke -19, teori Charles Darwin bertentangan dengan ajaran agama sehingga disiplin ilmu ini kehilangan posisi inti dalam liberal arts. Perdebatan antara agama dan sains membuat liberal arts mulai tergeser dalam pendidikan. Pergeseran liberal arts juga disebabkan oleh munculnya revolusi industri di Inggris pada abad ke-17, membuat segmentasi pekerjaan dan keilmuan menjadi lebih spersifik. 

   Semangat untuk mereformasi liberal arts dimiliki oleh Yale University dan National University of Singapore yang berkolaborasi membentuk Yale-NUS College yang merupakan sebuah sekolah Liberal Arts and Science. Departemen-departemen di dalamnya bersinergi dan saling mendukung satu sama lain dalam karya interdisipliner. Kurikulum Yale-NUS ini mengkombinasikan tradisi lama dan baru, termasuk mengadaptasi beberapa mata kuliah dari “great books”. Fokus dari Yale-NUS adalah untuk mengekspos mahasiswa pada beragam cara berpikir. Mahasiswa belajar untuk membaca, menganalisis dan menulis tentang karya sastra, seni atau filsafat. Selain itu mahasiswa wajib mengambil proyek di luar kelas untuk melatih hal-hal yang tidak diajarkan dalam buku, seperti kerja sama tim. Selain fokus-fokus di atas, inovasi yang dilakukan oleh Yale-NUS terletak pada mengkombinasikan budaya bangsa dari dua universitas ini, sehingga ketika filsafat Plato diajarkan maka ajaran Buddha dan Konfusius juga ikut diajarkan. 

Liberal Arts membentuk Pemikiran Kritis 
Dalam mengkonstruksi pemikiran kritis membutuhkan perspektif interdisipliner dan filosofis logika. Menurut Robert Ennis (1991) berpikir kritis adalah pemikiran reflektif yang masuk akal berfokus pada memutuskan apa yang akan dipercaya atau dilakukan. Untuk dapat berefleksi secara tepat dalam melihat realitas kebenaran, maka pikiran harus terbuka terhadap berbagai interaksi disiplin ilmu dan paradigma. Karena dalam berpikir kritis harus memenuhi aspek clarity (kejelasan), yang mana didalamnya sebuah obyek kebenaran harus dipahami secara jelas dalam eksistensinya. Dan sebuah obyek dapat berdiri sendiri, akibat dari eratnya hubungan berbagai paradigma didalamnya. Untuk itu, kejelasan dari sebuah obyek tidak hanya dapat dilihat dari satu sudut pandang, namun sudut pandang lain yang membentuknya. Hal serupa juga diungkapkan oleh Richard Paul (1998). Ia sependapat bahwa liberal arts meningkatkan kemampuan berpikir kritis. 25 elemen berpikir kritis yang dikembangkan oleh Richard Paul dan Linda Elder, menegaskan keterbukaan standar intelektualitas dalam menguji kejelasan realitas kebenaran, sebelum pada akhirnya diungkapkan lewat elemen bernalar. Kejelasan, akurasi, keterbukaan dan keadilan merupakan bagian dari standar intelektualitas, yang didalamnya menuntut kompetensi alumni liberal arts terampil mengelolahnya. 

   Richard Paul (1998) membagi berpikir kritis kedalam 3 bagian, yakni standar intelektual, elemen bernalar dan kebajikan intelektual. Standar intelektual adalah aktivitas otak manusia dalam mengetahui dan memahami realitas kebenaran. Kejelasan, kedalaman, keluasan, keakuratan kelengkapan, ketepatan, logika, signifikan, dan keterbukaan (keadilan) merupakan standar yang digunakan secara minimalis dalam memahami kebenaran. Dan jika dipahami secara mendalam standar intelektualitas ini menuntut adanya hubungan interdisipliner dan interkoneksi berbagai realitas dalam obyek kebenaran tersebut. 

    Seorang mahasiswa program studi bioteknologi melakukan proses kajian terhadap zat tertentu dalam makluk hidup. Untuk menguji akurasi dari hasil kajiannya, ia harus berkolaborasi dengan ilmu kimia. Ia tidak hanya menerapkan metodologi penelitian biologi untuk mendapatkan sebuah hasil yang valid. Namun juga harus menguji akurasinya dengan menggunakan formula kimia yang ada. Selanjutnya, seorang ahli informasi teknologi dalam mengembangkan sebuah sistem informasi manajemen, ia harus berkolaborasi dengan ilmu manajemen dan psikologi. Demikian masih banyak contoh lainnya, yang menunjukan akurasi dan ketepatan intelektualitas membutuhkan keterbukaan paradigma terhadap ilmu lainnya. 

   Hal ini menunjukan bahwa liberal arts dapat menjadi pintu gerbang bagi akademisi dalam meningkatkan berpikir kritis. Arogansi yang berbasis pada egosentrisme sektoral keilmuan dapat menghambat pengungkapan realitas sebuah kebenaran dan menerapkan inovasi teknologi. 

    Liberal arts meningkatkan kemampuan menulis dan berbicara sebagai bentuk dari kemampuan nalar seseorang yang berpikir kritis. Menurut Knight (2014), liberal arts dapat melengkapi dialog verbal melalui kemampuannya untuk melampaui batas hambatan bahasa verbal, memungkinkan narasi yang sebelumnya dibungkam untuk diartikulasikan dan mendorong orang untuk berpikir kritis tentang diri mereka sendiri, kemanusiaan dan dunia. 

Daftar Pustaka 

  • Ennis, R. (1990). The Extent to Which Critical Thinking is Subject-Specific: Further Clarification, Educational Researcher, 19 (4). Sage Publications
  • Ennis, R. (1991). Critical Thinking: A Streamline Conception, 14 (1) Teaching Philosophy
  • Gardner, Howard. (2003). Kecerdasan Majemuk. (Terjemahan Drs. Alexander Sindoro). Batam Centre: Interaksara.
  • Knight, Heather. (2014). Articulating injustice: an exploration of young people's experiences of participation in a conflict transformation programme that utilises the arts as a form of dialogue. Compare - A Journal of Comparative and International. 44 (1): 77-96
  • Lewis, H. R. (2006). Excellence without a Soul: Does Liberal Education has a Future? New York: Public Affairs.
  • Paul, R. (1998). Critical thinking: placing it at the heart of ethics instruction. Journal of Developmental Education. 22 (2): 36–42.
  • Zakaria, F. (2015). In Defense of a Liberal Education. New York: W.W. Worton & Company.

(Materi ini disusun dan dibawakan oleh Ricky Arnold Nggili dalam Webinar dengan topik “Pendidikan berbasis liberal arts, yang diadakan oleh Pusat Pengembangan Pemikiran Kritis (P3K) UKSW, tanggal 23 Oktober 2020 pukul 17.00-19.00 wib, via Zoom Clouds meeting)

Link: CCTD UKSW
Posting Komentar

Posting Komentar