xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

MERDEKA BELAJAR DI MASA PANDEMI


Akibat dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran pandemi Covid-19, membuat banyak sekolah tutup dan harus belajar secara mandiri dari rumah. Berdasarkan hasil survei dari Kementerian Pendidikan dan Kebudaayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia pada bulan April 2020 menunjukan 97,6 persen sekolah melakukan kegiatan belajar dari rumah. Ada sekitar 646,2 sekolah yang ditutup dari jenjang pendidikan PAUD hingga Perguruan Tinggi. Dengan demikian ada sekitar 68,8 juta pelajar belajar di rumah dan 4,2 juta guru dan dosen mengajar dari rumah. Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) merupakan pilihan yang tak terhindarkan untuk terus melakukan proses belajar mengajar, dalam menjamin kualitas pendidikan di Indonesia. 
  Keadaan ini membuat para pelaku pendidikan di Indonesia harus merubah cara pandang tentang belajar. Belajar tidak harus menghadirkan kehadiran pengajar. Belajar tidak harus berada disuatu ruang yang nyaman. Belajar tidak harus dengan seperangkat sistem yang kaku dalam kelas. Namun belajar dapat dilakukan dimana saja, dan dengan bantuan berbagai teknologi pendukung. Belajar dimasa pandemi membawa paradigma baru, bahwa merdeka belajar dapat dilaksanakan dalam dunia pendidikan di Indonesia. 
   Saat masih dalam masa pandemi dan seluruh pelajar belajar di rumah. Tepatnya bulan April 2020, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Republik Indonesia mengeluarkan Buku Panduan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka. Hal ini seperti setali tiga uang. Cita-cita dari Mendikbud, Nadiem Makarim adalah memerdekakan belajar dalam dunia pendidikan di Indonesia, dan pada saat yang sama pandemi Covid-19 menunjukan bahwa merdeka belajar mungkin dilakukan di Indonesia, lewat ketersediaan infrastruktur internet. Merdeka belajar menjadi fokus dari Mendikbud bukan tanpa alasan, mengingat bahwa pada tahun 2019 penelitian yang dilakukan oleh PISA (Programe for International Student Assesment) (dalam kompas.com, 5/4/2020) menunjukan hasil penilaian pada peserta didik Indonesia menduduki posisi keenam dari bawah, atau menduduki posisi 74 dari 79 Negara. Wajah pendidikan di Indonesia lagi berubah dan pandemi memaksa kita untuk belajar dalam perubahan tersebut. 
   Ketersediaan teknologi, perkembangan teknologi informasi yang mendukung pendidikan, adanya interaksi antar sesama pelajar lewat daring, dan kreativitas para pelajar memungkinkan merdeka belajar terwujud. 
   Menurut Paolo Freire, filsuf pendidikan humanis dari Brasil, pendidikan pada umumnya tidak menampakkan unsur pemerdekaan, dan bahkan jauh dari humanisme. Untuk itu ia berusaha membongkar dan meninggalkan praktik pendidikan tradisional yang melanggengkan “sietem relasi penindasan”. Ia mengejek pendidikan “gaya bank” yang selalu menempatkan pengajar sebagai sentral dalam menabung berbagai bentuk informasi kepada pelajar. Pengajar berkehendak kepada pelajar, dan pelajar tidak memiliki kehendaknya sendiri. Menurut Freire inilah bentuk penindasan dalam pendidikan tradisional. Selanjutnya, Freire menawarkan pendidikan hadap masalah sebagai wujud kemerdekaan dalam belajar. Dengan mengajak para pelajar untuk menghadapi berbagai masalah dalam masyarakat dan lingkungan, sebagai media belajar, maka akan membentuk masyarakat dan kehidupan sosial baru yang lebih merdeka dalam belajar. 
   Tokoh pendidikan Indonesia juga mengelaborasi kemerdekaan dalam belajar. Ki Hadjar Dewantara telah menarasikan bahwa pendidikan bukan hanya mengedepankan intelektualisme siswa, namun kolaborasi antara cipta, karya, dan karsa. Tujuan dari pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah untuk memperoleh kemerdekaan (Suprapto, Rahardjo 2015). Menurut dia, pendidikan harus menurut pada minat dan bakat pelajar. Dan ini membutuhkan kemerdekaan sebagai syarat menghdiupkan dan mneggerakan kekuatan lahir dan batin anak, agar memiliki pribadi yang kuat dan dapat berpikir serta bertindak merdeka. 

Merdeka Belajar Di Masa Pandemi 

Untuk mencegah terjadinya sebaran Covid-19 secara masif, maka para pelajar melakukan belajar mandiri dari rumah. Hal ini merupakan bentuk dari kemerdekaan dalam belajar, karena tidak lagi dalam kelas. Para pelajar dihadapkan pada masalah pandemi, yang menuntut mereka untuk piawai dalam menggunakan aplikasi serta instrumen lainnya disekitar dia, untuk memahami mata pelajaran yang dipelajarinya. 
   Di sini konsep pendidikan orang dewasa mulai diperkenalkan pada para pelajar. Pengajar memberikan tujuan pembelajaran dan beberapa tugas, yang selanjutnya pelajar menggunakan berbagai bentuk interaksinya untuk memecahkan tugas yang diberikan oleh pengajar. Secara mandiri pelajar membimbing, memimpin, dan mengarahkan dirinya untuk berupaya memecahkan masalah yang dihadapinya. Di sini cipta, karsa dan rasa diolah untuk menuju pemecahan masalah yang lebih efektif. Pada akhirnya pelajar menciptakan budaya belajar secara otonom bagi dirinya, tanpa dipengaruhi pengajar dan sistem kelas yang kaku. 
   Pandemi menjadi daya ungkit (leverage poin) yang kuat untuk membudayakan merdeka belajar dikalangan para pelajar. Ketersediaan berbagai bentuk teknologi informasi seperti internet, Google, Zoom, Whatsapp grup dan lainnya mendukung proses belajar secara mandiri. Para pelajar berupaya untuk mengendalikan berbagai aplikasi teknologi untuk mengoptimalkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang suatu masalah. 
   Fitur-fitur creator membantu para pelajar untuk memproduksi hasil belajar mereka secara lebih efesien. Youtube, Canva, ebooks, dan lainnya memudahkan para pelajar untuk menunjukan kepada masyarakat produk yang mereka hasilkan dalam belajar. Selain itu ketersediaan seminar-seminar dan kursus-kursus lewat webinar membuat para pelajar dapat memperoleh pengetahuan langsung dari sang ahli. Para pelajar dapat mengikuti webinar terkait topik pelajaran yang ingin dipelajarinya, sesuai dengan jadwal yang diinginkannya. Inilah ekosistem pendukung merdeka belajar yang terbentuk pada masa pandemi. Dengan konsep pendidikan orang dewasa, ekosistem ini akan dikelola oleh para pelajar untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mereka tentang realitas kebenaran. 
   Dengan cara belajar seperti ini, maka para pelajar akan membentuk nalar mereka sendiri dan menjadi mandiri. Mereka akan belajar tentang logika dan mengkonstruksi pengetahuan lewat proses yang mereka kelolah dalam ekosistem pendidikan merdeka. Berbagai infrastruktur penunjang akan dikembangkan sedemikian rupa, sehingga membantu mereka memahami tentang segala sesuatu, dari proses yang dilaluinya. 
   Pandemi semakin mendekatkan para pelajar pada pendidikan merdeka yang mandiri dan otonom. Mereka menggunakan cipta, karsa, dan rasa untuk menghasilkan karya sebagai produk akhir pembeajaran. Mereka menjauhkan relasi penindas dari sistem belajar mereka yang merdeka. Jika demikian, maka sudah seharusnya lembaga pendidikan formal menyesuaikan dengan perubahan ini. Sehingga saat masa pandemi berangsur selesai, maka dunia pendidikan di Indonesia benar-benar telah merdeka. Kondisi ini seperti peristiwa jatuhnya bom di Hiroshima dan Nagasaki, yang dibaca sebagai kondisi ideal para pemuda Indonesia pada 1945 untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Pandemi menjadi sebuah kondisi ideal untuk membentuk dan membudayakan kemerdekaan belajar di Indonesia.

(Tulisan ini ditulis oleh Ricky Arnold Nggili dan dipublikasi dalam buku dengan judul "Mozaik Pandemi Covid-19: Kumpulan tulisan lintas ilmu", diterbitkan oleh CV Pena Persada (Banyumas) tahun 2020, halaman 72-75)
Posting Komentar

Posting Komentar