xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

Refleksi Filosofis Homo Deus dalam Paradigma Heidegger


 K
eberadaan manusia di era globalisasi telah memasuki eksistensi yang baru. Pengaruh keterbukaan budaya, pasar bebas dan kemajuan teknologi membuat manusia menemukan wajah baru. Penguasaan teknologi menjadi indikator kemajuan suatu negara. Negara-negara yang mampu beradaptasi dengan teknologi menjadi Negara maju. Negara-negara seperti Finlandia, Amerika Serikat, Jepang, Swedia, Republik Rakyat Tiongkok, dan Negara lainnya yang maju dalam penguasaan teknologi bersaing untuk menggunakan teknologi tinggi (high technology) dalam dunia global. Teknologi menjadi kekuatan baru dalam era saat ini. Teknologi Informasi, bioteknologi, robotic dan perkembangan teknologi lainnya menjadi kunci kesuksesan sebuah Negara.
    Penelitian dengan topik “So is a token weaker than tokenless authentication?” dengan menggunakan metode survey pada tahun 2012 yang dilaksanakan Securenvoy, sebuah perusahaan keamanan data di Inggris, menunjukan bahwa tiap individu merasa kuatir saat berpisah dengan smartphone. Securenvoy mengambil data dari 1000 orang dengan tingkat umum sekitar 18 hingga 35 tahun. Hasil penelitian menunjukan bahwa responden dari kelompok umur tersebut mengalami nomophobia yang merupakan sebuah bentuk kecemasan dan takut apabila tidak berada didekat smartphone mereka. Pada saat tidur mereka mengisi baterai smartphone mereka, dan tidak pernah meninggalkannya jauh dari aktivitas sehari-hari.
    Pada tahun 2014, Kementerian komunikasi dan informasi Republik Indonesia, Kementeria PPPA dan UNICEF dalam “Seminar Sehari Internasional Penggunaan Media Digital di Kalangan Anak dan Remaja di Indonesia”, meluncurkan hasil studi dengan topik "Digital Citizenship Safety among Children and Adolescents in Indonesia". Adapun hasil dari studi tersebut menemukan fakta bahwa 30 juta (sekitar 80% responden) anak dan remaja di Indonesia merupakan pengguna internet dan media digital. Anak dan remaja di daerah perkotaan seperti Yogyakarta, Jakarta dan Banten hampir semua responden menggunakan internet. Sedangkan responden di daerah Maluku Utara dan Papua Barat, kurang dari sepertiga jumlah responden telah menggunakan internet.
    Nielsen Eropa, perusahaan yang mengamati perilaku konsumen di lebih dari 100 Negara, pada Oktober 2016 mengeluarkan kajiannya yang menunjukan fakta menarik. Hasil studi Nielsen menunjukan bahwa 53% konsumen global merasa tidak senang apabila jauh dari perangkat mobile mereka. Selanjutnya 70% menyatakan bahwa perangkat mobile membuat hidup mereka menjadi lebih baik, dan 47% responden mengatakan bahwa mereka lebih tertarik berkomunikasi dengan teks dalam mobile daripada berbicara langsung. Menurut 53% responden, perangkat mobile memudahkan untuk mencari informasi dan 42% menyatakan bahwa perangkat mobile membuat keputusan belanja lebih baik.
    Berbagai fakta diatas menunjukan bahwa teknologi sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manusia. Teknologi telah menjadi perpanjangan tubuh manusia untuk menjamin efesiensi dan efektifitas aktivitas tiap individu. Ia mampu melampaui batas-batas ruang pribadi, Lembaga dan Negara. Teknologi memberi wajah baru dalam relasi manusia.
    Dalam buku berjudul “Homo deus: A Brief History of Tomorrow” terbit tahun 2015, Yuval Harari, profesor sejarah di Hebrew University, menunjukan adanya perubahan peradaban manusia saat ini. Manusia sapiens beralih ke manusia deus. Menurut Harari, setelah mengalami masa perang, penyakit dan kelaparan, maka sasaran berikutnya dari manusia adalah keabadian, kebahagiaan dan keilahian. Manusia meningkatkan dirinya menjadi dewa. Ia mengubah homo sapiens menjadi homo deus. Ia melihat kondisi tersebut terjadi diakibatkan dari adanya revolusi kognitif manusia. Manusia mulai bersandar pada ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi baru. Teknologi seperti komputer, robotik, artificial intelligence (AI), bioteknologi dan lainnya akan terus berkembang, untuk menjamin kelangsungan hidup manusia. Hal ini terjadi karena manusia telah mampu membuka otaknya, dan melihat bahwa tidak ada jiwa dan perasaan disana, yang ada hanya gen, hormon dan neuron yang bekerja dengan prinsip fisika serta kimia. Algoritma yang selama ini dikuasai oleh homo sapiens dikembangkan dalam komputer, dan pada akhirnya komputer berkembang sedemikian rupa sehingga melampaui kecerdasan manusia dalam segala bidang. Manusia telah menggunakan teknologi untuk membantu dirinya bertahan untuk hidup dalam semesta alam raya ini. Kinerja otak manusia akan dibuat prototipenya dalam bentuk algoritma dan dimasukan ke dalam komputer, sehingga teknologi tersebut akan bekerja melampaui algoritma tradisional manusia. Harari menunjukan bahwa manusia telah membangun relasi yang lebih erat tantara dirinya dengan teknologi, yang bahkan pada akhirnya teknologi tersebut melampaui kognisi manusia.
    Bagaimanakah seharusnya hubungan antara manusia dan teknologi? Apakah homo deus akan kehilangan eksistensinya di masa depan? Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan reflektif untuk melihat kembali hubungan manusia dan teknologi dalam realitas dunia saat ini. Dan untuk melihat itu, pendekatan filsafat Heidegger dapat digunakan sebagai pintu masuk dalam menjangkau keterhubungan antara manusia dan teknologi di dunia saat ini.
    Martin Heidegger adalah seorang filsuf berkebangsaan Jerman yang lahir pada tahun 1889. Karyanya yang terkait dengan kesadaran manusia dalam alam semesta termuat secara lengkap dalam Sein und Zeit yang telah diterjemahkan kedalam Bahasa Inggris Being and Time (1927). Dalam buku ini, ia menjelaskan bagaimana manusia Being-in-the-world (ada dalam dunia). Selanjutnya pada tahun 1954, Heidegger menerbitkan artikel dengan judul The question concerning technology. Artikel ini melengkapi pemaknaan manusia dalam dunia, diperkaya dengan bagaimana manusia membingkai dirinya dengan benda-benda disekitarnya. Manusia telah menjadi mengada dengan membingkai dirinya memanfatkan teknologi (sistem dan instrumen) yang ada disekelilingnya. Kedua karya Heidegger ini merupakan kajian metafisika, dan akan digunakan untuk membantu menempatkan perkembangan fenomena peradaban manusia menurut Harari.

Manusia menurut Heidegger: Being and time
Dalam pengertian antropologi tradisional, manusia dimaknai dalam dua konsep. Pertama, konsep manusia yang dekat dengan pemikiran Rene Descartes, bahwa manusia merupakan makluk pemikir (animal rationale). Dalam konsep ini, manusia mewujud dalam pikiran dan intelektualitasnya. Kedua, manusia dalam pengertian antropologi kekristenan, yang melihat manusia sebagai “Man”. Manusia bekerja untuk dirinya sendiri dengan berbagai bentuk variasi. Kedua konsep antropologi ini berkembang di era modern, dimana res cogitas berkolaborasi dengan eksistensi manusia menjadi kajian yang terus dikembangkan dalam ilmu pengetahuan. Hal ini digambarkan oleh Heidegger dalam pengantar Being and time.
    Martin Heidegger seorang filsuf dari Jerman, pada tahun 1927 menuliskan karyanya dalam Bahasa Jerman berjudul Sein und Zeit, yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris berjudul Being and Time. Dalam karyanya ini, ia mendefenisikan ulang manusia sebagai makluk eskistensial yang diperhadapkan dengan dunia di luar dirinya. Heidegger memposisikan manusia tergeletak sama dengan benda-benda atau teknologi yang ada dalam alam semesta ini. Heidegger dalam Being and Time menyebut manusia sebagai Dasein (ada-di-sana). Manusia Ada-di-sana, yang berarti ada-di-dalam-dunia (Being-in-the-world). Manusia terlempar di dunia tanpa memilih dan manusia selalu berada dalam fenomenologis. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang menyejarah, karena manusia secara struktur ontologisnya Ada-dalam-dunia.
    Menurut Heidegger, manusia dalam aktivitasnya merupakan entitas untuk menghadapi realitas dunia di luar dirinya. Heidegger memberi pemaknaan Dasein, manusia selalu menempatkan dirinya diantara lingkungan sekitarnya. Dasein dipakai Heidegger dalam rangka meloloskan manusia dari berbagai konsepsi tentang manusia yang sudah ada selama ini. Karena setiap konsepsi, hanyalah membuka salah satu dari sekian banyak penyingkapan Sang Ada bagi manusia. Sehingga, penyingkapan atas salah satu representasi akan menutup kemungkinan penyingkapan-penyingkapan lainnya. Dasein mengandung makna, berada disana dalam dunia (berasal dari Bahasa Jerman, da yang berarti disana, dan sein yang berarti ada). Dunia yang digambarkan oleh Heidegger adalah berhubungan dengan benda-benda termasuk makluk hidup lainnya. Untuk itu dasein berada pada temporalitas tertentu. Manusia berada diantara benda-benda disekitarnya. Ia terlibat dalam interaksi dengan benda-benda tersebut, namun ia memiliki keunikan yang lain. Menurut Heidegger, manusia memiliki kesadaran dalam dirinya, sehingga ia tidak dapat lepas dari keberadaan dirinya. Dalam kesadaran diri inilah yang membuat manusia terbuka pada benda-benda diluar dirinya, untuk menunjukan eksistensi kemanusiaan. Dasein dalam percakapan sehari-hari dapat berarti “eksistensi manusia dalam kesehariannya” (everyday human existence).
    Dasein digambarkan oleh Heidegger adalah dalam proses kesehariannya. Ia menolak model kesadaran Cartesian, yang menyebabkan pemujaan pada kesadaran manusia “aku”, yang terpisah dari kesehariannya. Ia menekankan bahwa metafisika barat lebih menekankan pada cogitas atau pikiran, dan tidak membahas sum atau ada. Ia menempatkan perilaku dasein yakni keterlibatan secara aktif dengan interumen keseharian. Seperti hubungan manusia dengan manusia lainnya, benda lain, maupun dengan dirinya sendiri. Heidegger melihat manusia dengan teknologi merupakan satu keutuhan. Keberadaan benda-benda diantara manusia membuat manusia menjadi berarti. Benda dan manusia memiliki hubungan pengungkapan hakekat realitas manusia.
    Menurut Heidegger, manusia dalam dasein merupakan entitas yang “menjadi”. Makna dari “menjadi” adalah pemaknaan ontologis untuk menjelaskan bahwa hadirnya sebuah wujud di tangan manusia, atau “keberadaan-di-tangan” (existential). Dengan demikian inti dari dasein adalah terletak pada keberadaannya di dunia.
    Adapun karakteristik dasein yakni, dalam menentukan dirinya sebagai entitas, dasein selalu melakukan segala sesuatu dengan mempertimbangkan kemungkinan yang merupakan eksistensi keberadaan dirinya. Hal ini adalah arti formal dari konstitusi eksistensial dasein. Ia juga tidak memiliki jenis wujud yang dimiliki oleh sesuatu lain yang hadir di dunia ini, dan bahkan wujud tersebut tidak pernah dimilikinya. Dasein bukanlah apa-apa, namun merupakan karakteristik fenomenal positif dari entitas ini.
    Dengan memahami manusia seperti demikian, maka sebagai entitas yang hadir ditengah-tengah lingkungan diluar dirinya, maka manusia berani untuk menghadapi tantangan dunia masa depan. Karena manusia selalu bisa menempatkan dirinya diantara dunia sekitarnya yang terus berubah oleh waktu.
    Konsep manusia yang ditawarkan oleh Heidegger menempatkan keberadaan manusia dimuka bumi dengan “mengada”. Dengan demikian manusia tidak menciptakan dirinya dengan benda-benda disekitarnya, namun ia diletakkan kedalam tangannya sendiri tentang keberadaannya. Manusia dilempar kedalam keberadaannya. Dengan demikian, manusia menurut Heidegger, merupakan subyek yang terus mewujud dalam dunia yang dinamis.
    Dasein mempunyai tiga karakter yakni faktisitas, pemahaman atau antisipasi, dan kejatuhan. Faktisitas merupakan sebuah karakter dimana alasan dan tujuan tidak dapat diketahui dengan jelas oleh manusia itu sendiri. Bentuk aktisitas dari dasein adalah faktualitas dari fakta bahwa dasein ada. Berikutnya, pemahaman atau antisipasi melibatkan fore structure yang meliputi fore-having, fore-sight dan fore-conception. Selanjutnya dasein juga memiliki karakter kejatuhan. Kondisi kejatuhan itulah membawa manusia ke titik kecemasan radikalnya, sehingga ia mulai membuka diri terhadap masa depan. Masa depan merupakan kemungkinan-kemungkinan dan atau salah satu cara ketersingkapan makna. Keberadaan manusia di masa depan adalah menuju kematian (Sein-zum-tode), inilah conditio humana menurut Heidegger. Dalam proses menuju kematian, dasein akan menjadi otentik jika menghayati proses kesehariannya dalam dunia. Kematian menjadi momen yang khas ketika dasein menghadapi kemungkinan untuk menjadi tidak-mungkin. Kematian hanya mengungkapkan kemungkinan untuk tidak menjadi apa-apa atau hanya menjadi tiada (nothing). Dan untuk menemukan eksistensinya, maka dasein memulihkan kesadarannya dengan menemukan hakekat keberadaannya untuk mencapai kemungkinan di masa depan.
    Selain dari manusia yang berada (sein) di dalam alam semesta ini, juga ada “yang berada” (Seiende) yang hanya berlaku bagi benda-benda. Benda-benda ini hanya tergeletak begitu saja dalam alam semesta, tanpa memiliki keterhubungan dengan lainnya. Benda-benda itu akan berguna dan bermanfaat, apabila berinteraksi dengan dasein (manusia). Manusia bertanggung jawab untuk meng-ada-kan dirinya, dengan memberi tempat bagi benda-benda tersebut. Heidegger ingin mengungkapkan bahwa kehadiran dasein di dunia adalah menjadi “dalam” satu dengan yang lainnya dalam wujud yang sama, yakni menjadikan sesuatu mengemuka sebagaimana ia harus terjadi dalam dunia.
    Dengan demikian dasein merupakan sebuah eksistensi. Dan esksitensi disini bukan hanya wujud mengemuka, namun dalam pengertian “saya melihat sesuatu”, “untuk tinggal bersama …”, dan “menjadi akrab dengan …”. Heidegger berupaya menjelaskan bahwa dasein pada akhirnya terserap ke dalam dunia dan menunjukan eksistensinya dalam dunia.

Enframing: relasi manusia dan teknologi
Untuk melihat relasi antara manusia dan teknologi, maka menarik untuk mencermati pemikiran Heidegger dalam artikel berjudul The question concerning technology, yang diterbitkan 1954. Dalam artikel ini, ia mengungkapkan hubungan baru antara dasein dengan teknologi.
    Heidegger memahami bahwa konsep teknologi yang berkembang tidak sepenuhnya sama dengan esensi teknologi. Teknologi menurut Heidegger tidak selalu terkait dengan fungsi dan alat-alat teknologi, namun berkaitan dengan hubungan manusia dan teknologi dalam membangun eksistensi diri. Ia menyebut teknologi yang hanya berfungsi sebagaimana dalam pemahaman selama ini sebagai instrumentum. Teknologi berasal dari Bahasa Yunani, Technikon yang berarti menciptakan, melahirkan dan suatu penyingkapan. Pemaknaan teknologi seperti ini akan membawa pemahaman baru yang juga bisa mengarahkan teknologi untuk berkaitan dengan poiesis. Karena teknlogi merupakan suatu bentuk penyingkapan (aletheia). Menurut Heidegger, teknologi sebagai bentuk penyingkapan akan menghantar manusia menuju kedekatan dengan eksistensi. Dengan demikian, konsep utama dari teknologi adalah enframing (terbingkai).
    Enframing dalam artikel Heidegger dijelaskan sebagai berkumpulnya suatu prosedur logis (keteraturan) yang mengatur manusia dalam bentuk menantang dirinya untuk mengkreasikan atau menciptakan sesuatu, atau menyingkap suatu kebenaran dalam modus penataan yang teratur (mode of ordering). Enframing selalu melihat segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini merupakan sumber daya cadangan (standing reserve). Misalnya sungai dengan air yang mengalir deras dalam alam semesta ini tidak lagi menampakan dirinya sendiri, namun telah dibingkai (enframing) untuk berpotensi menjadi pembangkit listrik tenaga air. Menurut Heidegger, enframing merupakan esensi teknologi dalam menampakkan dirinya. Hal ini menempatkan manusia sebagai komponen dunia teknis yang kompehensif. Dengan cara pikir teknologis seperti ini, maka manusia telah mampu menciptakan sesuatu yang tersedia di alam semesta menjadi suatu hal yang memiliki nilai kegunaan (used value).

Homo deus sebagai enframing muthahir saat ini.
Yuval Noah Harari, professor sejarah dari Hebrew university, pada tahun 2016 menerbitkan sebuah karya yang fenomologi, yang menunjukan perkembangan peradaban manusia. Karya tersebut berjudul Homo deus: A brief history of tomorrow. Dalam karya tersebut Harari dengan cerdas menyajikan berbagai data karya intelektualitas manusia sebagai ruang untuk bereksistensi. Manusia telah menjadikan pikiran dan teknologi sebagai kekuatan dalam mengarungi alam semesta.
    Homo deus hadir dari sebuah perkembangan pemikiran manusia dalam keterlemparannya dalam dunia. Dalam karyanya ini, tampaklah Harari tanpa sadar telah mewujudkan pembuktian faktual pemikiran metafisika Heidegger dengan pendekatan fenomenomologi. Harari membagi karyanya dalam tiga bagian besar, yakni manusia menaklukan dunia, manusia memaknai dunia dan manusia kehilangan kendali atas dunia. Ketiga bagian ini menceritakan tentang bagaimana manusia berupaya mengada dalam keterlemparannya bersama benda-benda lain di alam semesta. Ia menjelaskan bahwa homo sapiens yang merupakan ciri manusia agraris telah diganti dengan homo deus sebagai ciri manusia yang sudah menyerupai tuhan. Homo deus merupakan puncak eksistensi manusia yang mampu menjaga kelangsungan kehidupannya dan bahkan selalu menampakan diri dalam dunia.


Bagaimanakah wujud enframingdasein dalam homo deus?
Harari memulai dengan kondisi keterbuangan manusia ke dalam alam semesta. Manusia dan benda lainnya di alam semesta ini hanya tergeletak begitu saja, sebagai hamparan benda-benda dalam alam semesta. Disini Heidegger ingin memposisikan manusia sebagai dasein yang sama dengan benda lainnya. Harari menjelaskan hal tersebut dengan kepasrahan manusia pada alam semesta dan zaman. Manusia menjadi makluk waktu yang dihancurkan oleh dunia. Kelaparan, wabah penyakit dan peperangan merupakan keterbuangan manusia dalam dunia. Pada tahun 1694, akibat cuaca buruk di Perancis, panen menjadi gagal, lumbung kosong dan berakhir pada kelaparan. Sekitar 2,8 juta orang mati kelaparan pada tahun 1692 hingga 1694. Ancaman dunia lainnya adalah pada tahun 1330, tikus dan kutu membawa penyakit hingga kota Florensia kehilangan 50.000 dari 100.000 penduduknya. Bahkan epidemi-epidemi lainnya juga melanda Amerika, Australia, dan kepulauan Pasifik, hingga 90 persen populasi local meninggal dunia. Berbagai wabah ini menyebabkan kematian hingga kemelaratan ekonomi. Selain itu perang dan kekerasan juga memusnakan manusia. Meskipun manusia merupakan makluk yang memiliki cogitas, namun ia akhirnya tidak berdaya dengan ancaman ruang dan waktu ini. Sebagai homo sapiens, manusia lebih unggul dari homo lainnya. Namun sebagai makluk waktu, ia tidak berdaya dalam dunia yang menyerangnya. Manusia terhempas dan tergeletak begitu saja dalam ruang dan waktu. Manusia dalam karakternya mengalami kejatuhan, karena ketidak mampuan menciptakan kemungkinan dalam alam semesta.
    Pada kondisi seperti diatas, maka manusia mulai memahami dirinya akan menuju kematian. Harari menggambarkan karakter kejatuhan dasein Heidegger. Manusia yang merupakan makluk waktu berhadapan dengan kematian yang mengungkapkan kemungkinan bahwa dirinya bukan siapa-siapa dan akan menjadi tiada (nothing). Wabah penyakit yang menyerang manusia dan ketidakpastian berakhirnya perang, membuat manusia menjadi tidak bermakna dalam waktu.
    Hal ini pada akhirnya memunculkan kesadaran manusia. Ia berupaya untuk menciptakan kemungkinan untuk diperhadapkan dengan kematian. Ia menemukan hakekat keberadaannya untuk mencapai kemungkinan kebermaknaan di masa depan. Harari mengggambarkan dalam karyanya dengan munculnya kebermaknaan manusia dalam dunia. Mulai muncul revolusi industri hingga tekno-humanis. Manusia mulai melawan kematian dengan menunculkan berbagai teknologi untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Nano dan mikro menjadi kajian manusia untuk menjadikannya sesuatu yang dapat bertahan dalam alam semesta ini.
   Dalam kondisi demikian, maka dasein ini pada akhirnya harus “menjadi” dan “mengada”. Manusia harus menyadari dirinya ada dalam dunia dan harus mengada dalam dunia. Dengan hal inilah ia menunjukkan eksistensinya dan mampu menaklukan alam semesta. Dengan kesadaran tersebut, maka manusia mulai membingkai (enframing) dirinya dengan benda-benda disekitarnya, dan membuatnya menjadi mengada. Manusia mulai membingkai dirinya dalam teknologi melalui sistem ide yang dikonstruksi seperti ekonomi, politik, negara dan agama. Ia terus berdialektika dengan sistem ini untuk menemukan sebuah kondisi yang terbaik dalam alam semesta. Selain itu ia juga membingkai dirinya dalam teknologi berwujud instrumen perangkat teknologi. Homo sapiens menjadi dasein awal dari manusia. Ia telah mengalahkan homo lainnya seperti Homo erectus yang hidup satu juta tahun lalu, Australopithecus yang hidup lima juta tahun lalu, dan Dryolestes yang hidup 150 juta tahun lalu. Homo sapiens telah mengada dalam dunia. Ia telah sadar akan kehadirannya dalam dunia dan telah menjadi (being) dalam dunia. Mobil, mesin kereta api, dan lainnya merupakan instrumen enframing kemengadaan manusia.
    Manusia telah menunjukan eksistensinya dalam keseharian, dan inilah yang dimaksud dengan dasein menurut Heidegger. Menurut Harari sudah 20.000 tahun manusia dalam kesehariannya telah mengubah kehadirannya dari berburu marmot dengan tombak bermata batu sampai eksplorasi sistem tata surya dengan pesawat ruang angkasa. Hal ini terjadi karena kemampuan manusia menghubungkan benda-benda dalam alam semesta, dan bukan hasil evolusi. Disini metafisika Heidegger tentang dasein mewujud dalam homo sapiens Harari. Homo sapiens merupakan satu-satunya makluk yang mampu bekerja secara fleksibel dengan benda-benda yang bertebaran disekelilingnya. Ia cakap dalam memecah batu dan mengurai atom-atom uranium. Pada akhirnya homo sapiens memberi makna pada dunia. Sistem ide dan instrumen menjadi perpanjangan tubuh manusia dalam membingkai eksistensi manusia di muka bumi.
    Hingga pada akhirnya homo sapiens kehilangan kendali atas perpanjangan tubuhnya. Namun saat itu ia tidak terjatuh seperti pada saat awal ia dikalahkan oleh sang waktu. Manusia terjebak dalam faktualitas dirinya sendiri. Kesusksesan revolusi tekno-humanis akhirnya menggerakan manusia lebih jauh untuk meraih impian barunya, yaikni kebahagiaan, keabadian dan keilahian. Homo sapiens telah berubah menjadi homo deus. Dasein awal tersebut telah mengada hingga memaknai faktualitas dirinya yang baru yakni berupaya menjadi tuhan. Manusia menemukan algoritma yang tanpa disadari mampu membuat segala sesuatu lebih baik. Kebermaknaan dasein selanjutnya mulai muncul. Algoritma menjadi perpanjangan tubuh manusia dalam memprediksi masa depan. Hal ini memungkinkan manusia terhindar dari kematian dan kebinasaan. Bahkan Harari mengatakan bahwa algoritma mampu meretas kemanusiaan, serta mampu mengenal mannusia lebih baik dari manusia itu sendiri. Disini dasein telah mengada karena faktualitas yang terjadi sebelumnya dalam dirinya. Perkembangan sains yang menjadikan manusia mengada dalam dunia, pada akhirnya bergerak sebegitu jauh hingga manusia mengandalkan algoritma untuk menjadi bagian dari tubuhnya. Algoritma merupakan cadangan sumber daya dalam alam semesta yang mampu menambah nilai kegunaan dalam kesadaran manusia. Dan bahkan lebih jauh dari itu, Harari menggambarkan bahwa algoritma mungkin sebagai tekno-humanis akan mengorbankan kehendak manusia. Teknologi akan merekayasa ulang hasrat manusia. Teknologi akan merekayasa ulang faktualitas dari manusia. Dan pada akhirnya dasein mungkin akan kembali jatuh kepada sang waktu seperti pada saat ia takluk pada penyakit, perang dan kelaparan, namun dalam wujud yang berbeda, yakni ia dikuasai oleh algoritma yang mengambil alih fungsi kemanusiaannya.
    Harari tanpa sengaja berhasil menunjukan bukti secara fenomenologi pengungkapan (alethea) manusia terhadap realitas dunia. Manusia telah bergerak dalam dua bentuk dasein yang berbeda. Dasein yang pertama adalah homo sapiens yang telah berhasil menaklukan dan mengendalikan alam semesta dengan teknologi yang dimilikinya. Dasein dalam kompleksitas fakta sejarah Harari mampu mendesain modus penataan yang teratur dengan memanfaatkan sumber daya cadangan yang tersebar di sekeliling manusia. Dasein yang kedua adalah penemuan algoritma yang merubah kesadaran atau faktualitas manusia. Algoritma dapat mengganti peran dan fungsi manusia, bahkan yang dikuatirkan mampu mengubah hasrat manusia. Disini dasein menengadah dalam alam semesta. Namun yang perlu diantisipasi adalah jangan sampai manusia jatuh ke dalam waktu yang tidak terkendali, sehingga ia kehilangan kesadaran akan penguasaannya terhadap teknologi.
    Teknologi menjadi bingkai manusia dalam menunjukan eksistensinya. Heidegger mampu merumuskannya dalam istilah-istilah sulit yang menjadi simbol dari realitas manusia teknologi, yang merupakan makna manusia sesungguhnya. Selanjutnya Harari mampu membuktikan bahwa dalam lintasan sejarah peradaban manusia, teknologi menjadi sumber daya cadangan manusia untuk menaklukan dunia. Hubungan erat manusia dan teknologi, merupakan hubungan yang tidak terpisahkan dalam kemengadaan manusia di muka bumi. Pada akhirnya teknologi mampu membuka peluang kemungkinan keberlanjutan diantara kepastian kematian yang akan mengakhiri kesadaran manusia.


Daftar Pustaka
  • Harari, Yuval Noah. 2015. Homo Deus: Masa depan umat manusia. Pustaka Alvabet: Jakarta
  • Heidegger, Martin. 1977. The question concerning technology. Harper & Row: New York
  • Heidegger, Martin. 1962. Being and Time. Blackwell Publisher: Oxford, UK
(Tulisan ini ditulis oleh Ricky Arnold Nggili dengan judul "Refleksi Filosofis Homo Deus dalam Paradigma Heidegger," dan dimuat sebagai salah satu artikel dalam halaman 155-168 buku "Rapsodia Filsafat: Melatih filsafat sebagai ilmu kritis di perguruan tinggi, yang diterbitkan pada Februari 2022 oleh Penerbit KANISIUS Yogyakarta. ISBN: 978-979-21-7192-1).
Posting Komentar

Posting Komentar