xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

Filsafat: Ruang Refleksi Memahami Realitas


Judul Buku: 
Filsafat: Ruang Refleksi Memahami Realitas
Penulis : Ricky Arnold Nggili
Halaman : 142 halaman. 18,2x25,7 cm
ISBN : 978-623-99758-1-4
Penerbit: Penerbit InTI (Institute Transformasi Indonesia)
Edisi: April 2022

Manusia tidak pernah berhenti untuk mengejar kebenaran dalam alam semesta ini. Pada masa prasokratic, para filsuf berupaya mengungkapkan asas, prinsip dan cara kerja alam semesta. Mereka menghindarkan diri dan tidak menyerahkan pemikiran mereka pada mitos-mitos politeisme yang telah dibangun. Mereka berupaya mengungkapan sebuah kebenaran yang realistis dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Setelah itu era filsafat klasik yang menfigurasi Socrates, Plato dan Aristoteles menjadi pencari kebenaran pada pemikiran manusia. Manusia menjadi sentral dalam mencari tahu kebenaran alam semesta. Cara berpikir manusia mampu mengungkapkan kebenaran alam semesta. Para filsuf klasik memberikan metode yang lebih logis dalam membuktikan kebenaran asali. Socrates dengan dialektika dan kebenaran universalnya. Plato dengan ide metafisikanya. Dan Aristoteles dengan logika serta silogismenya berupaya menyusun realitas dalam pikiran manusia. Pencaharian akan kebenaran merupakan sentral dari filsafat. Hal ini pada akhirnya melahirkan banyak segmentasi ilmu pengetahuan dan berakhir pada proses verifikasi untuk mendapatkan kebenaran ilmiah.

Pertanyaan selanjutnya, apakah kebenaran itu? Apakah kebenaran menurut metafisika ide yang ditawarkan oleh Plato, atau kebenaran inderawi (induksi) yang digulirkan oleh Aristoteles. Apakah kebenaran itu muncul dari pikiran, ataukah lahir dari sebuah interaksi indera dengan obyek? Apakah kebenaran itu sudah ada sebelum manusia ada, ataukah dia ada setelah manusia ada?

Pertanyaan-pertanyaan diatas merupakan seperangkat pertanyaan untuk memahami secara obyektif kebenaran dalam alam semesta. Rasa skeptis dan penasaran dalam melahirkan kebenaran oleh Socrates, diteruskan dengan perdebatan tentang kebenaran realitas oleh para filsuf berikutnya. Setelah Yunani dijajah oleh Romawi, maka muncullah budaya Helenistik. Dalam budaya ini tradisi Romawi sangat dipengaruhi oleh peradaban Yunani. Mengapa ini terjadi? Karena Yunani secara intelektualitas mereka lebih maju dari Romawi. Pencaharian kebenaran filsuf pada masa Helenistik pun lebih fokus pada pencaharian kebahagiaan manusia. Para filsuf Epikuros dan Stoa berupaya mengajarkan tentang bagaimana cara memperoleh kebahagiaan yang absolut. Filsafat tidak lagi berupaya mencari kebenaran asali, namun fokus pada dialog antara moral dan etika.

Selanjutnya masuk dalam abad pertengahan dimana Roma telah dikuasai oleh Gereja. Kaisar mengenal kekristenan, sehingga Gereja menguasai Roma. Pada masa itu sudah ada pusat-pusat belajar untuk diperkenalkan etika dan cara untuk beretorika. Era ini disebut juga dengan era Skolastik. Pada masa itu para filsuf dan pemikir lebih banyak golongan rohaniawan dan biarawan Gereja Katolik. Pada masa itu, para Bapa Gereja memberikan pembelaan (apologia) atas iman Kristen dengan mempelajari serta menggunakan paham-paham filsufis. Mereka berupaya menjelaskan iman Kristen dengan cara berfilsafat. Dalam era itu, filsafat Agustinus sangat dikenal luas dan mempengaruhi cara memahami kebenaran.

Ajaran Agustinus yang terkenal adalah keterarahannya pada Tuhan, “Aku mengenal diriku hanya di dalam terang kebenaran dalam Dia, yang selalu mengenal (menciptakan) aku”. Menurut Agustinus, dengan iman manusia dapat mengembangkan berbagai kemungkinan pengetahuannya. Dan sebaliknya dengan pengetahuan, manusia dapat meneguhkan imannya. Maka, Agustinus mengatakan “Crede ut intelligas, intellige ut credas” (percayalah untuk bisa mengetahui, dan upayakanlah pengetahuan agar dapat percaya). Agustinus memperoleh kebenaran lewat menyangsikan kepastian segala sesuatu. Ia berpendapat bahwa “Jadi, kalau aku keliru, aku ada” (Si enim fallor, sum). Dan diatas prinsip itulah ia menuju kepastian pengetahuan. Perkataan lain dari Agustinus yang meletakan pencaharian kebenaran dengan menyangsikan segala sesuatu adalah “Janganlah pergi ke luar, kembalilah ke dalam dirimu sendiri; di dalam batin manusia tinggal kebenaran.” Perkataan ini menyatakan bahwa manusia mencari kebenaran berada dalam suatu gerakan yang membawanya masuk ke dalam batinnya sendiri dan dengan demikian kepada Tuhan. Jadi ada gerakan dari dunia inderawi (foris) menuju jiwa manusia (intus), dan dari situ bergerak lebih lanjut menuju batin yang paling dalam (intimum cordis), menuju Tuhan sebagai dasar dari segala kebenaran itu sendiri. Menurut Agustinus, di dalam batin, manusia menemukan kebenarankebenaran yang niscaya dan berlaku selalu dan dimana saja. Menurut dia, kebenaran tidak diperoleh dari indera. Karena inderawi tidak dapat memberikan berbagai konsep mengenai benda yang kita serap. Lalu bagaimana manusia bisa mendapatkan ide tentang segala sesuatu, tanpa bergantung pada inderawi? Agustinus menjawab pertanyaan ini, bahwa manusia dapat mencapai kebenaran yang abadi dan sejati berkat terang (lumen, Latin) dari Allah. Agustinus meyakini bahwa dalam diri manusia secara alamiah sudah ada benih kebenaran yang tidak dapat padam/ mati.

Selanjutnya menurut Agustinus, dunia dan segala sesuatu yang ada diciptakan dari ketiadaan oleh Allah. Untuk itu sebelum ada penciptaan, maka tidak ada materi, ruang dan waktu. Dengan demikian, Allah sebagai pencipta segala sesuatu berada di luar batas-batas ruang dan waktu ciptaan-Nya. Unsur-unsur pokok yang ada dalam dunia sebagai ciptaan Allah adalah materi, waktu, dan bentuk (ide-ide abadi). Dari sebagian unsur-unsur ini, Allah lantas menciptakan makhluk-makhluk yang tida berubah, misalnya malaikat, jiwa-jiwa dan bintang-bintang di langit. Selain itu, Allah juga menciptakan suatu materi yang tidak mempunyai bentuk tertentu, namun di dalamnya terdapat benih-benih. Materi semacam ini disebut rationes seminales, yakni materi yang mengandung prinsip-prinsip aktif yang darinya semua makhluk jasmani berasal dan berkembang.

Setelah itu proses dan prinsip pencaharian kebenaran berada dalam penguasaan Gereja Katolik Roma. Pada masa Skolastik, percakapan tentang kebenaran harus mendapatkan restu dan ijin dari Gereja. Karena Gereja merupakan sumber perkembangan pemikiran manusia dan proses pencaharian kebenaran.

Hingga pada akhirnya masuk ke era Renaissans. Pada masa ini, para pemikir dan filsuf berupaya mengembangkan akal budi yang mereka miliki, tanpa berpatokan pada otoritas kekuasaan Gereja. Era inilah yang menghantar masuk ke era modern. Era ini merupakan pintu masuk ke berbagai aliran pemikiran baru dalam dunia filsafat. Zaman Renaissans adalah zaman yang kembali menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam kebudayaan. Pada masa itu, manusia dipandang sebagai individu-individu yang bebas untuk berbuat segala sesuatu dan meyakini segala sesuatu. Salah satu hal yang penting yang muncul pada masa itu adalah berkembangnya ilmu pengetahuan alam modern, dengan berdasarkan pada metode yang bersifat empiris-eksperimental dengan perhitungan Matematika.

Pada perkembangannya era modern masuk hingga ke perdebatan antara filsuf rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme berkembang di Perancis dan Jerman adalah aliran yang mengajarkan bahwa sumber pengetahuan sejati adalah akal budi atau rasio, bukan pengalaman iderawi manusia. Rasio sendiri tidak membutuhkan pengalaman; ia dapat menurukan kebenaran-kebenaran pengetahuan dari dirinya sendiri berdasarkan asa-asas yang pasti. Metode kerja rasionalitas bersifat deduksi. Sedangkan empirisme adalah aliran filsafat yang menyatakan pengalaman (empeiria) merupakan sumber pengetahuan. Rasio bukan sumber pengetahuan, tetapi ia bertugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman untuk dijadikan pengetahuan. Metodenya bersifat induktif.

Para filsuf rasionalisme berasumsi bahwa rasionalitas merupakan faktor fundamental dalam pengetahuan. Karena pengalaman inderawi manusia memiliki keterbatasan dalam menguji kebenaran dalam alam semesta yang tak terhingga. Rasionalisme berupaya untuk tidak tunduk pada otoritas kebenaran agama dan kebenaran inderawi. Menurut mereka rasio memiliki kesadaran abslout untuk memahami sebuah kebenaran.

Filsuf yang mencetuskan rasionalisme adalah Rene Descartes. Ia dijuluki juga sebagai bapak filsafat modern. Ia memiliki keyakinan, bahwa “cogito, ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada). Rene Descartes memulai pencaharian kebenaran dengan bertanya, apakah ada metode yang pasti sebagai dasar untuk melakukan refleksi filsufis? Untuk menjawab pertanyaan itu, ia melakukan apa yang kemudian dinamakan sebagai sikap keragu-raguan radikal (skeptis). Ia menganggap bahwa segala sesuatu yang ada hanyalah tipuan, dan tidak ingin menerima apa pun sebaga sesuatu yang benar, jika kita tidak memahaminya secara jelas dan terpisah. Hanya yang bisa dipahami dengan jelas dan terpisah itulah yang menjadi norma untuk menentukan kepastian dan kebenaran.

Dalam karyanya yang berjudul Discourse on methode, ia menyatakan bahwa untuk memperoleh kebenaran harus memperhatikan beberapa hal, yakni: 1). Kebenaran baru dinyatakan sahih jika realitasnya telah jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya. (2). Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak banyaknya, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya. (3). Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks. (4). Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus di buat perhitungan-perhitungan sempurna serta pertimbanganpertimbangan yang menyeluruh, sehingga di peroleh keyakinan bahwa tak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahah itu. Usaha untuk memahami kebenaran menurut Descartes (1596-1650) dibedakan kedalam dua langkah, yakni langkah ke dalam dan langkah ke luar. Langkah ke dalam yakni manusia harus mencari kebenaran dalam dirinya sendiri, sambil menggunakan kriteria yang jelas dan terpilah-pilah. Karena segala sesuatu dari luar tidak bisa dipercaya. Descartes menemukan bahwa dalam diri manusia ada tiga hal yang disebut sebagai ide bawaan (ideae innatae), yakni 1) Ide pemikiran (cogitatio), karena manusia merupakan makhluk kesadaran, maka berpikir adalah hakikat manusia; 2) Ide Allah (deus), karena dalam berpikir, manusia selalu menghendaki kesempurnaan. Ide kesempurnaan ini berasal dari Alah; 3) Ide keluasan (extentio), karena segala sesuatu disekitarku bisa ku mengerti dalam satuan geometris. Berikutnya, langkah ke luar yakni dari adanya kesadaran diri manusia memahami realitas alam dunia. Dengan demikian pemikiran manusia akan menjadi substansi yang berdiri sendiri (Ada).

Filsuf rasionalisme berikutnya adalah Baruch de Spinoza (1632-1677) yang mengajarkan tentang substansi tunggal yakni Allah dan alam (Deus sive natura). Menurut dia proses berpikir membutuhkan konsep substansi. Substansi menurut Spinoza adalah sesuatu yang ada dalam dirinya dan dipikirkan oleh dirinya sendiri. Artinya, sesuatu yang konsepnya tidak membutuhkan konsep lain untuk membentuknya. Substansi bersifat abadi, tidak terbatas dan mutlak. Subtansi sebagai suatu kenyataan yang mandiri, tapi juga terisolasi dari kenyataan–kenyataan lain. Subtansi tidak berelasi dengan suatu yang lain, dan tidak dihasilkan atau tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain (Cause sui = penyebab dirinya sendiri). Spinoza menggunakan istilah modi dalam menjelaskan tentang keberadaan substansi dalam dunia. Modi adalah berbagai bentuk atau cara keberadaan dari substansi tersebut. Menurut Spinoza hanya ada satu yang memenuhi kriteria substansi, yakni Allah. Ia menolak definisi Allah secara personal, sebah sifat tersebut merupakan sifat dan ciri manusia. Prinsip alam semesta dan isinya adalah identik dengan Allah. Allah adalah alam dan alam adalah Allah merupakan substansi yang sama dan satu. Manusia hanyalah modus Allah.

Selain Spinoza ada juga Gottfried Wilhelm Leibniz (1946-1716) yang mengatakan bahwa terdapat banyak substansi yang jumlahnya tidak terhingga. Tiap substansi disebutnya sebagai monade (berasal dari bahasa Yunani, monas yang berarti kesatuan). Monade ini non material dan bersifat abadi, tidak dapat dibagi, individual/ berdiri sendiri, dan memiliki daya aktif. Tiap monade terdapat daya dorong dari dalam dirinya sendiri untuk bergerak secara progresif, mulai dari usaha mendapat gagasan yang baru dan agak jelas (perceptio) hingga mencapai gagasan yang jelas dan disadari (apprercetio). Menurut dia, pengetahuan alam semesta manusia sesungguhnya telah ada di dalam dirinya sendiri sebagai bawaan (monade jenis pertama). Menurut Leibniz, pengalaman bukanlah sumber pengetahuan, melainkan pengetahuan tingkat pertama (sebagai perceptio).

Rasionalis lainnya yakni Blaise Pascal (1623-1662, yang mengatakan bahwa dengan rasionalitas kita hanya mampu memahami kebenaran-kebenaran matematika dan ilmu alam. Namun dengan hati, kita mampu memahami kebenaran-kebenaran yang melampaui semua kebenaran itu, misalnya pengetahuan tentang Allah. Menurut aliran empirisme, semua ide dan rasionalitas dibentuk dengan menggabungkan sesuatu yang dialami oleh pengalaman iderawi. Semua yang ingin diketahui oleh manusia pada akhirnya bergantung pada data inderawi. Akal budi tidak cukup untuk mampu membuat kesimpulan, tanpa data inderawi. Dan untuk memperoleh pengetahuan harus dicapai dengan induksi. Bukan terjebak pada berhala (berhala suku-mengharapkan alam yg teratur, berhala gua-prasangka pribadi, berhala pasar-melepaskan pikiran dari pengaruh kata-kata, berhala teater-sistem berpikir yg telah diterima (lazimnya).

Filsuf empirisme adalah John Locke (1632-1704) yang melahirkan karya berjudul Essay concerning human understanding pada tahun 1690. Menurut Locke, dari pengalamanlah pengetahuan berasal. Ia mengatakan bahwa sebelum mengalami segala sesuatu, pikiran atau rasio kita seperti tabula rasa atau kertas kosong. Baru kemudian kertas itu mendapat isinya dari pengalaman. Ada dua macam pengalaman yang bisa dibedakan, yakni pengalaman lahiriah (sense atau external sensation) atau pengalaman inderawi yang ditangkap oleh panca indera. Dan pengalaman batiniah (internal sense atau reflection) yang terjadi apabila kesadaran melhat aktivitasnya sendiri dengan cara mengingat, menghendaki dan sebagainya. Selanjutnya dari dua macam pengalaman ini diperoleh pandanganpandangan sederhana (simple idea) yakni isi kesadaran yang berfungsi sebagai data-data empiris. Pandangan sederhana dibedakan menjadi empat, yakni: 1) pandangan yang diterima hanya oleh satu indera, 2) Pandangan diterima oleh beberapa indera, 3) pandangan dihasilkan oleh refleksi kesadaran, 4) pandangan yang menyertai saat-saat terjadinya proses penerimaan dan refleksi. Dan dari pandangan sederhana ini (simple idea), tersedia rasio bekerja membentuk pandangan kompleks (complex idea). Pandangan kompleks (complex idea) ada tiga jenis, yakni 1) substansi atau sesuatu yang berdiri sendiri, 2) modi atau pandangan kompleks yang keberadaannya bergantung pada substansi, 3) hubungan sebab-akibat. Pandangan kompleks diketahui melalui kombinasi dari berbagai pandangan sederhana. Dengan penjelasan ini, Locke telah memahami terjadinya pengetahuan manusia. Untuk itu ide yang mengatakan bahwa pengalaman tidak dari indera manusia harus ditolak secara tegas.

Selanjutnya Locke mengemukakan tiga istilah dalam mencari kebenaran. Pertama, sensasi (sensation) yang merupakan penangkapan iderawi pada data-data dalam alam semesta. Kedua, Ideide (ideas), yakni persepsi atau pengertian tentang suatu objek realitas. Dan ketiga adalah Sifat (quality), yang menjelaskan tentang kualitas dari obyek tertentu, seperti merah, bulat, berat.

Filsuf empirisme berikutnya adalah David Hume (1711-1776). Ia adalah filsuf yang paling radikal, dan mengatakan bahwa “buanglah buku (yang tidak memuat penyelidikan empiris) ke dalam api”. Ia menolak bahwa manusia memiliki pengetahuan bawaan. Bagi Hume kesadaran berasal dari pengalaman. Adapun persepsi tersebut terdiri dari dua unsur. Pertama, kesan (impressions) yang diperoleh langsung dari pengalaman baik lahiriah maupun batiniah. Kedua, pandangan (ideas) atau hasil asosiasi atas kesan yang telah didapatkan sebelumnya. Dengan demikian pandangan diperoleh secara tidak langsung dari pengalaman dan merupakan hasil dari refleksi, berpikir, mengingat, membandingkan, menghubungkan dan sebagainya. Menurut Hume, manusia harus kembali pada sumber pengetahuan yang sejati agar ketidakjelasan itu hilang. Artinya, kita harus mendasarkan pengetahuan kita pada kesan. Setelah itu kita akan mendapatkan keyakinan yang bisa kita andalkan dalam proses pengetahuan. Dengan prinsip sebab akibat dari pengalaman kita bisa menangani realitas.

Perdebatan dalam memperoleh kebenaran yang asali antara rasionalisme dan empirisme mendapatkan banyak perhatian dimasa lampau hingga masa kini. Pada akhirnya rasionalisme gagal membangun transendensi Tuhan atas alam. Alih-alih membuktikan trasendensi Tuhan atas alam semesta. Rasionalisme terjepit dengan akal budinya sendiri, dan tidak bisa keluar secara utuh memahami keberadaan Tuhan dan alam semesta. Disisi lain empirisme pun gagal membuktikan eksistensi alam yang diyakini sebagai yang berbeda dari pikiran. Empirisme justru kehilangan jati dirinya dalam skeptisisme. Empirisme tidak mampu menjelaskan secara utuh kinerja alam dan keberadaan Tuhan. Bagi Kant, manusialah aktor yang mengkonstruksi dunianya sendiri. Melalui a priori formal, jiwa manusia mengatur data pengalaman (pengindraan) dan kemudian membangun berbagai ilmu pengetahuan. Kant mengagumi filsafat David Hume, namun ia tidak berterima dengan pendapat Hume yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan alam tidak bisa dicapai kepastian, namun hanya kemungkinan. Karena menurut Kant, hukum-hukum ilmu pengetahuan alam berlaku secara umum. Masalahnya sekarang adalah bagaimana manusia memahami hukum-hukum alam tersebut?

Kant berusaha menjawab pertanyaanya itu dengan melakukan usaha yang dikenal dengan “Revolusi Kopenican” (Revolution Copernicus). Menurut Kant, Objek mengarahkan diri kepada Subjek untuk diproses menjadi pengetahuan. Dengan demikian proses melahirkan pengetahuan tidak diawali dengan penyelidikan atas benda-benda sebagai objek. Melainkan menyelidiki struktur-struktur Subjek yang memungkinkannya mengetahui benda-benda sebagai objek. Pemikiran Kant ini yang menjadi pintu masuk ke filsafat kritisisme, yang pada akhirnya menjadi satu pengembangan ilmu pengetahuan. Kant telah berhasil menyusun secara metafisika bagaimana manusia memahami realitas. Kant berhasil mensitesakan rasionalisme dan empirisme, sehingga menghasilkan sebuah pengetahuan tingkat tinggi yang sahih.

Pencaharian kebenaran terus dilakukan dengan pendekatan berbagai pendekatan. Mempertanyakan metode dan esensi merupakan lingkup dari filsafat.

Hingga saat ini dialektika pengetahuan untuk memperoleh esesni dari kebenaran terus terjadi. Filsafat membantu manusia untuk memahami realitas dan membangun konstruksi ilmu diatas realitas tersebut. Filsafat teknologi dan etika membantu manusia memahami dirinya yang sedikit berbeda dari sekedar hakikat tubuh dan jiwa. Manusia terus mencari tahu realitas dirinya dalam berbagai pertanyaan filsafat.

Posting Komentar

Posting Komentar