xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

Berpikir Metodologis


Mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang cerdas dan memiliki posisi strategis dalammelakukan transformasi masyarakat. Peran mahasiswa dalam masyarakat sebagai agent of change, iron stock, social control dan moral force, merupakan ciri bahwa mahasiswa merupakanpemimpin perubahan. Hal ini disebabkan karena mereka merupakan kaum intelektual yang dapat bertindak secara proposional dan profesional dalam lingkungan akademik maupun ditengah-tengah masyarakat. Ia berada ditengah-tengah masyarakat, namun menjadi bagian yang terpisahsebagai akibat dari aktivitas intelektualitasnya. Mahasiswa merupakan “Resi” atau “orang bijak” yang selalu menyuarakan kebenaran, tanpa takut diintimidasi. Karena ia memahami makna dari kebenaran itu sendiri.

Sebagai kelompok kaum intelektual, maka mahasiswa memiliki cara berpikir yang berbeda dengan masyarakat umumnya. Berpikir metodologis adalah salah kompetensi yang dimiliki oleh kaum intelektual. Mereka mampu melihat kebenaran dalam realitas dari sudut pandang ilmiah. Berpikir metodologis mengarahkan cara berpikir untuk terhindar dari bias-bias kesesatan atau kesalahan dalam berpikir. Cara berpikir seperti ini selalu menempatkan para intelektual pada mandiri dalam berpikir dan berani untuk menyuarakan kebenaran. Berpikir metodologi mengarahkan setiap orang untuk memahami cara yang tepat dalam mengetahui, memahami dan mendekripsikan realitas secara tepat. Bentuk berpikir seperti ini lebih menitik beratkan cara pandang ilmiah yang ketat, ketimbang sibuk mempartahankan posisi egosentris dan atau sosiosentris. Sebagai kaum intelektual, mahasiswa menempatkan kebenaran berdiri diatas paradigma rasional, logis, empiris, kritis dan keadilan.

Supaya kita tidak terjebak dengan cara pandang yang salah terhadap berpikir metodologis, maka kita perlu memahami secara etimologi tentang berpikir metodologis. Perlu dibedakan antara berpikir metodologis dan metode penelitian. Berpikir metodologis masih terjadi pada ruang penalaran dan intelektualitas. Bentuk itu nasih berada dalam ruang abstrak (bisa dibaca paradigma) dalam memahami realitas. Sedangkan metode penelitian merupakan cara konkret dalam melakukan penelitian. Berpikir metodologis merupakan cara pandang tentang tata cara memahami sebuah kebenaran.

Secara etimologi, berpikir metodologis berasal dari dua suku kata, yakni berpikir dan metodologis. Berpikir berasal dari bahasa Indonesia yakni “Pikir” mengandung makna akal budi atau ingatan. Aktivitas dari akal budi dinamakan “Berpikir” yakni aktivitas kesadaran psikologis manusia menggunakan akal budi dan ingatannya. Hasil dari “Berpikir” adalah “Pemikiran”atau“Pikiran” yakni gagasan atau hasil dari aktivitas proses mental. Pada saat aktivitas psikologis kesadaran manusia terjadi (berpikir), maka sedang terjadi aktivitas mencari, mencampur, menganalisis, mengurutkan dan mensistematiskan pengalaman, konsep dan persepsi. Otak manusia akan membantu dalam melakukan aktivitas ini. Dengan demikian berpikir merupakan aktivitas mental manusia untuk menghasilkan gagasan atau ide. Berikutnya, metodologis terdiri dari dua suku kata yang berasal dari bahasa Yunani, yakni metodos dan logos. Kata metodos berasal dari dua suku kata yakni metha dan hodos. Metha mengandung makna melewati atau melalui, sedangkan hodos berarti cara atau jalan. Methodos berarti cara atau jalan yang dilalui atau dilewati untuk mengungkapkan atau mencari sesuatu. Sedang kan logos mengandung makna ilmu atau logika. Dengan demikian metodologis merupakan logika atau ilmu tentang cara untuk mencapai sebuah tujuan atau mencari sesuatu. Metodologis digunakan untuk mengungkapkan kebenaran. Berpikir metodologis merupakan sebuah aktivitas psikologis manusia yang secara sadar berusaha memahami ilmu tentang cara-cara mengungkapkan kebenaran dibalik realitas.

Aktivitas berpikir merupakan ciri khas dari manusia. Dalam perkembangan sejarah keberadaan manusia, aktivitas ini selalu mendominasi perubahan yang terjadi. Dari manusia prasejarah hingga manusia modern saat ini, menunjukan bahwa akibat dari aktivitas berpikir membuat otak manusia mengalami evolusi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Been-Dor, arkeolog Tel Aviv University, menghasilkan bahwa perubahan kapasitas dan kualitas otak pada manusia prasejarah disebabkan oleh kemampuan adaptasi, yang dihasilkan dari aktivitas mengumpulkan makanan dan respon terhadap lingkungan. Otak manusia prasejarah terusberkembang, karena aktivitas kognitif diantara dua pilihan bertahan hidup atau mati kelaparan. Pada perkembangan selanjutnya otak manusia mulai digunakan untuk menemukan berbagai bentuk kebenaran. Hingga tahun 1700-an manusia berusaha membuat revolusi teknologi untuk membantunya dalam beradaptasi dengan lingkungan. Era ini dikenal hingga saat ini disebut sebagai era revolusi industri. Manusia terus menggunakan organ otak untuk membantunyamenjadi makhluk pemikir yang survive dan memberi makna dalam perjalanan kehidupannya.

Menurut seorang filsuf Jerman, Franz Brentano (1874), berpikir merupakan terpadunya operasi-operasi mental dengan intensionalitas tertentu itu memunculkan apa yang disebut sebagai tindakan sadar (acts of consciousness), maupun tindakan reflektif (reflexive mental acts). Kegiatan merasakan, berenung, belajar, menyadari, mawas diri (introspective consciousness), menyelami pikiran orang lain (Theory of Mind), saling mengungkapkan maksud dan tujuan, komunikasi simbolik (komunikasi intersubjektif), dan “mempercayai” adalah kegiatan mental manusia yang kompleks yang nyata dalam sejarah manusia dari lahir sampai mati. Kegiatan-kegiatan manusia tersebut berlangsung melalui pemaduan sumberdaya sumberdaya mental seperti stimulus inderawi, bahasa simbolik, ingatan/pengalaman lampau, imajinasi, serta menghasilkan keadaan mental dengan intensionalitas tertentu. Dengan demikian aktivitas berpikir menjadikan seorang manusia menjalani keutuhan dirinya. Ia menjadi makhluk pemikir yang hadir secara konkret dan bisa mengabstraksikan realitas. Manusia sebagai homo politicon, homo economicos, homo respondeo dan bentuk manusia lainnya, lahir dari manusia sebagai makhluk yang memiliki kesadaran. Ia berupaya mengenal dan memahami dirinya, disaat yang sama ia bisa membentuk diri yang lain. Dalam perkembangan pemikiran manusia menunjukan bahwa manusia yang berpikir merupakan makhluk sederhana yang memiliki kompleksitaskesadaran.

Aktivitas berpikir metodologis diawali saat manusia berupaya memahami kebenaran dibalik realitas. Cara berpikir seperti ini bukan digunakan untuk bertahan hidup (survive), namun untuk mencari makna dibalik sesuatu yang exist (ada). Bangsa Yunani Kuno yang pertama kali memunculkan berpikir metodologis sebagai ciri dari cara berpikir saintifik di sekitar tahun 600-an SM. Pada saat itu bangsa Babilonia dan Mesir sudah memiliki beberapa teknik seperti geometri, astronomi dan pengobatan. Namun bangsa Yunani yang membawa teknik-teknik itu kepenjelasan yang melampaui penjelasan mitologis. Orang-orang Yunani yang memberi penjelasan sepenuhnya natural (alamiah) untuk teknik-teknik tersebut. Bangsa Yunani berpikir secara metodologis untuk memindahkan makna terhadap realitas dari mitos menuju ke logos (ilmu). Pada perkembangan selanjutnya metodologi terus berkembang dan mempengaruhi pencaharian manusia tentang kebenaran saintifik.

Perkembangan Berpikir Metodologis Manusia.
Bangsa Yunani kuno (antik) memang yang memulai tradisi sains. Peradaban Yunani kuno menggerakkan pemikiran manusia dari melihat kebenaran dalam mitos kepada kebenaran dalam aktivitas saintifik (ilmiah). Pada saat itu (atau mungkin hingga saat ini) aktivitas saintifik dalambentuk penemuan teori-teori tidak serta merta menyingkirkan mitos. Meski secara umum rakyat Yunani Kuno tetap memegang mitos, namun ada sekelompok kecil intelektual yang mulai berpikir secara lain.

Bahasa mitos dalam mengungkapkan realitas adalah bahasa sastra yang imajinatif, metafora, menghibur dan bisa membawa makna-makna tertentu. Sedangkan bahasa ilmiah bisa dengan lebih gampang membedakan yang benar dan tidak benar; tepat dan tidak tepat; dan perbedaan lainnya. Bahasa ilmiah haruslah konsisten secara internal, atau kalau ia ada dalam kelompok tertentu, haruslah konsisten satu dengan lainnya. Bahasa ini biasanya bersifat umum, bisa diterapkan untuk banyak kasus, dan kalau bisa, tanpa kekecualian. Ini berbeda dengan mitos, di mana konsistensi cerita tidak pernah menjadi tuntutan utama. Tentu saja mitos satu dengan mitos lainnya bisa “saling cocok”, namun caranya tidak sama dengan kecocokan yang ditemukan dalam aktivitas ilmiah. Mitos mengajak orang percaya pada banyak hal, sementara bahasa ilmiah sebaliknya, berusaha sesederhana mungkin.

Orang Yunani Kuno mulai membuat teori dengan berpikir metodologis saat menjelaskan dengan argumen bahwa kosmos adalah tempat yang tertata. Kosmos dijelaskan dengan kisah yang objektif, dengan kata dan angka, sehingga orang lain memahaminya. Mereka pada gilirannya bisa mendebat, dan mencari teori mana yang paling rasional dan logis. Hal ini berbeda dengan masyarakat lainnya, seperti Babilonia dan Mesir yang mengaitkan kosmos dengan mitos dewa dewi. Mitos mempercayai begitu saja hal yang sudah ada, sedangkan metodologi ilmiah mendialektikakannya. Hal ini tampak saat Aristoteles mempertanyakan rasionalitas Thales. Pertanyaan Aristoteles, kalau bumi mengapung di atas air, ditopang oleh air, lantas dengan argumen yang sama, air itu sendiri ditopang oleh apa? Aristoteles menemukan kejanggalan dan kekurangan dalam cara Thales berargumen. Dari situ, Aristoteles memberikan argumennya sendiri mengenai mengapa “bumi kita diam”. Ia memakai teori natural movement (gerak alamiah). Tanah secara kodratiah gerakannya ke bawah, maka ia ada di pusat. Perdebatan di sini tidak lagi mengenai dewa dewi atau tindakan keillahian tertentu, tetapi memakai rasio saat mengamati perilaku alam (nature). Banyak terjadi berbagai bentuk dialektika rasional sebagai metode untuk menguji kebenaran yang diungkapkan pemikir lainnya. Anaximenes dan Anaximandros berbeda pendapat tentang arche (prinsip dan materi dasar) pembentuk alam semesta ini. Phytagoras memaknai alam semesta sebagai tatanan bilangan yang teratur dengan ketepatan yang sempurna. Hingga Demokritos yang mengungkapkan bahwa alam semesta ini terbentuk dari gerakan partikel-partikel kecil (atomus).

Orang Yunani Kuno mulai membuat ragam teori tentang kodrat (nature) alam semesta yang kita huni. Di depan ragam teori, bagaimana memutuskan mana teori yang benar dan mana yang salah? Tentu bukti-bukti dan argumentasinya harus diperiksa untuk melihat teori mana yang lebih baik.

Pada saat yang sama mulai berkembang juga pemahaman tentang apa itu argumen. Kemampuan untuk beragumentasi digunakan untuk menguji sebuah kebenaran. Socrates memperkenalkan metode dialektis sebagai cara untuk menguji sebuah kebenaran untuk memperoleh defenisi universal dari sebuah realitas. Socrates menggunakan metode bertanya jawab untuk mencari tahu makna dari sebuah konsep dan sekaligus membentuk penjelasan umum dari konsep tersebut. Hal inilah yang pada akhirnya membentuk defenisi universal dari sebuah konsep. Menurut Socrates, kebenaran itu absolut. Untuk itu perlu dialektika untukmenguji karakter dari tiap-tiap kebenaran dari sebuah konsep. Plato memperkuat metode Socrates ini dengan memperkenalkan metode deduksi dalam bernalar. Ia menyatakan bahwa dalam ide sifatnya abadi dan absolut. Jadi kebenanaran dalam ide itu tetap. Ide kursi bersifat tetap dan absolut. Turunan dari ide tersebut yang beragama, seperti kursi makan, kursi kerja, kursi santai dan lainnya. Berikutnya Aristoteles memperkenalkan penalaran induktif. Bahwa dari realitas yang beragam tersebut dapat membentuk sebuah teori umum. Ketiga pemikir ini saling melengkapi.

Pada periode yang sama muncul juga kelompok orang yang metode relativisme dan nihilisme dalam memahami realitas. Orang-orang ini lebih menitik beratkan pada kemampuanorang untuk mendebat, sedemikian rupa, sehingga argumen yang lemah justru bisa mengalahkan argumen yang kuat. Dalam negara polis yang demokratis, setiap masyarakat harus memiliki kemampuan argumentasi untuk memenangkan perdebatan dan memenangkan kepentingannya. Gorgias dan beberapa filsuf lainnya mengajarkan metode beragumentasi untuk mempertahankan pendapat. Hal ini membuat orang Yunani khawatir. Di Yunani muncul kaumSofis, ahli-ahli debat profesional, yang bisa menempatkan diri di pihak mana pun, asal bayarannya cukup. Platon adalah pengritik paling keras terhadap kaum Sofis. Menurut Platon, debat filosofis harusnya berkenaan dengan kebenaran, dan bukan sekedar “untuk mengalahkan lawan debat”. Ia selalu membedakan dengan baik antara retorika (devices for winning over a crowd) dan argumen filsafat.

Untuk mengatasi hal tersebut, Aristoteles lantas mengembangkan logika. Ilmu ini bertugas untuk menyelidiki forma (bentuk) sebuah argumentasi (dan tidak terlalu berurusan dengan isi argumentasi). Logika ini untuk membantu apakah proses sebuah argumentasi valid (sah) atau tidak. Logika sederhana yang diperkenalkan oleh Aristoteles adalah silogisme. Contoh silogisme sederhana Aristoeteles, premis Mayor yakni makhluk hidup yang menyusui adalah mamalia; Premis minor yakni ikan paus adalah hewan yang menyusui; Kesimpulannya adalah ikan paus termasuk mamalia. Logika sederhana lainnya untuk menunjukkan validitas adalah jika semua A adalah B dan semua B adalah C, maka semua A adalah C. Cara argumen seperti ini valid, dan formanya bisa dikenakan pada apa saja. Dari yang sederhana sampai ke yang kompleks, maka logika membantu untuk memilah-milah argumen.

Pada perkembangan berpikir metodologis berikutnya, sekitar tahun 1600-an muncul pemikiran Rene Descartes. Descartes membedakan dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan ilmiah (scientia) dan keyakinan (convictio) yang tidak seketat scientia. Dalam convictio masih ada alasan-alasan yang membuat orang ragu, sedangkan scientia adalah keyakinan yang bertumpu pada alasan-alasan yang begitu kokoh sehingga tidak ada satu alasan pun yang tersisa yang dapat menggoyah keyakinan itu. Scientia di mata Descartes adalah pengetahuan sistematik berdasarkan landasan yang tidak lagi dapat diragukan. Descartes membayangkan sebatang pohon ilmu yang berdiri kokoh karena akarnya sangat kuat. Akar itu adalah Metafisika yang menyediakan prinsip-prinsip pengetahuan. Sedangkan Fisika yang menyelidiki alam berdasarkan prinsip-prinsip materi menjadi batangnya. Dahan-dahan dan ranting-ranting pohon menggambarkan ilmu-ilmulain yang mempelajari tumbuhan, hewan hewan, dan terutama manusia. Akar pohon Descartes tertanam di bumi filsafat Abad Pertengahan, sedangkan dahan dan rantingnya tumbuh menuju kelahiran ilmu-ilmu modern.

Descartes adalah seorang pemikir metodis. Ia tidak sekadar memakai rasa ingin tahu untuk mendapatkan prinsip-prinsip umum pengetahuan. Descartes tidak menyangkal bahwa orang yang dengan penuh rasa ingin tahu mengembarakan “pikirannya langsung ke jalan yang belum pernah dilalui” kadang-kadang cukup beruntung dalam menemukan beberapa kebenaran. Namun, jauh lebih baik jika orang bertumpu pada metode. Descartes memaknai metode sebagai kaidah atau aturan-aturan yang mudah diterapkan dan jika diikuti dengan tepat tidak akan membuat orang terkecoh dalam membedakan antara yang betul dan keliru. Descartes memberikan empat kaidah sederhana, 1) Tidak pernah menerima apa pun sebagai benar kecuali jika ia mengetahui secara jelas bahwa hal itu memang benar; artinya, ia menghindari penarikan kesimpulan yang terlalu cepat dan praduga-praduga, serta tidak menyertakan apa pun ke dalam pertimbangannya kecuali apa yang mengemuka demikian jelas dan terpilah (clara et distincta) di dalam pikiran sehingga tidak ada lagi peluang untuk meragukannya; 2) Memilah satu demi satu kesulitan yang akan ditelaah menjadi bagian-bagian kecil sebanyak mungkin atau sebanyak yang diperlukan untuk memudahkan pemecahannya; 3) Berpikir secara runtut, bertolak dari objek-objek yang paling sederhana dan paling mudah dikenali, lalu meningkat sedikit demi sedikit, langkah per langkah, sampai ke pengetahuan tentang objek yang paling rumit, dan dengan menata seakan-akan ada keteraturan bahkan di antara objek-objek yang secara alami tidak beraturan; 4) Selalu membuat perincian selengkap mungkin dan memeriksanya kembali secara menyeluruh sampai ia yakin tidak ada yang terabaikan.

Descartes mengaku bahwa ia berpegang pada metode yang lazim digunakan oleh para ahli matematika. Metode matematika yang ia maksudkan di sini adalah metode dalam geometri analitik. Metode analitik bertolak dari masalah tertentu tanpa mengandaikan ada hal-hal yang terberi. Metode itu menelusuri permasalahan hingga muncul pemecahan.

Sesudah merumuskan kaidah sederhana dan mudah dipraktikkan itu, apa kiranya yang betul-betul Descartes yakini dapat mencegah ia terpeleset pada kekeliruan? Descartes menyebut dua jalan yang dapat memberi kepastian, yaitu “deduksi dan intuisi.” Deduksi adalah penyimpulan yang ditarik secara niscaya dari beberapa proposisi yang diketahui dengan pasti. Intuisi adalah konsepsi pikiran yang jernih mengenai sesuatu yang sedemikian jelas dan terpilah dari hal-hal lainnya, sehingga kita tidak ragu sedikit pun terhadap pemahaman kita akan konsepsi tersebut. Kebenaran intuisi tidak lagi diragukan karena sepenuhnya berasal dari terang nalar. Intuisi adalah istilah teknis Descartes bagi penangkapan mental langsung. Intuisi tidak bersumber dari panca indera atau imajinasi. Descartes memberi beberapa contoh, misalnya, intuisi bahwa saya ada, segitiga dibatasi oleh tiga sisi, bola dibatasi oleh satu permukaan lengkung, dan lain-lain. Orang tidak mungkin salah dengan intuisi seperti itu. Intuisi dan deduksi bukan proses yang terpisah, tetapi cukup tampak bahwa Descartes menilai intuisi memiliki kedudukan yang lebih unggul daripada deduksi.

Descartes memutuskan untuk meninggalkan semua tradisi yang pernah ada. Langkahnya adalah dengan menerapkan kesangsian metodis. Ia mulai dengan menyangsikan segala sesuatu. Namun, kesangsian itu bukan demi menyangsikan itu sendiri, melainkan untuk sampai pada landasan pengetahuan yang pasti. Ia menyanggah para skeptik dengan meragukan sampai keakar-akarnya semua perkara yang sebelumnya ia yakini. Descartes membongkar pengetahuan sebelumnya sampai ke akar dengan menyangsikan segala sesuatu: bahwa dirinya punya badan, sedang berpakaian, sedang bangun dan bukannya tidur; ia menyangsikan langit dan bumi, dan seterusnya. Ia mencoba menganggap bahwa segala sesuatu yang biasa tampil kepada indera sebenarnya tidak ada. Intinya, indera tidak bisa dipercaya. Buktinya adalah ilusi optik seperti sendok yang terlihat bengkok di dalam air atau keadaan ambang-sadar antara tidur dan mimpi ketika seseorang mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang tidak ada.

Kesangsian itu secara mendalam ia kembangkan dalam Meditasi. Meditasi Pertama ditutup dengan kesangsian menyeluruh. Kendati kegunaan dari kesangsian yang mendalam ini pada mulanya tidak tampak, tetapi sekurang-kurangnya Descartes yakin bahwa ia sudah membebaskan dari semua opini dan serapan inderawi yang bisa keliru. Sesudah semua diragukan, Meditasi Kedua dibuka dengan perasaan kacau balau tidak karuan. Descartes merasa seperti tercebur ke dalam pusaran air yang membuat ia tidak dapat menapak ke dasar kolam, tetapi juga tidak dapat menyembul ke permukaan. Namun, ia tidak mau terpengaruh. Ia setia mempertahankan kesangsian metodisnya dan terus melakukan penyingkiran terhadap hal-hal yang masih bisa ia sangsikan. Segera sesudah tahap demi tahap itu dijalankan, ia menyadari sesuatu seperti yang pernah ia kemukakan serba sedikit di dalam Diskursus. Dalam Meditasi Kedua, ia mengemukakan kesimpulan bahwa “pikirannya” (kesadaran) tidak dapat dipisahkan dari “dirinya.” Bagi Descartes, pengetahuan mengenai diri yang berpikir ini adalah pengetahuan yang jelas-dengan-sendirinya, ditangkap langsung melalui intuisi. Cogito (kesadaran) bersifat intuitif dan bukan hasil langkah deduktif silogistik dengan premis mayor “semua yang berpikir ada” dan premis minor “saya berpikir.” Menurut Descartes, seluruh kesadaran kita adalah fakta utama pengetahuan.

Setelah Descartes bertolak dari keyakinan bahwa indera tidak dapat diandalkan sebagai sumber pengetahuan ilmiah, muncul pemikir lainnya yang menolak metode tersebut. Emperisisme klasik Inggris bereaksi terhadap metodologi Descartes. Berbeda dengan rasionalisme yang beranggapan bahwa sumber pengetahuan yang valid hanya melalui nalar belaka, mereka mendaku bahwa sumber pengetahuan yang valid adalah pengalaman (empeiria). Mereka mengajukan dua pertanyaan mendasar ini untuk menguji pengetahuan yang dihasilkan rasionalisme. Pertama, bagaimana kita mengetahui sesuatu? Jawaban atas pertanyaan ini harus berdasarkan pada klaim mereka bahwa kita dapat mengetahui tentang sesuatu hanya melalui pengalaman inderawi, pengamatan dan eksperimen, dan menguji melalui pengalaman. Kedua, apa yang menjadi batas pengetahuan kita? Pertanyaan kedua ini dimaksudkan untuk menolak dan menghancurkan Descartes dan para pembangun struktur-struktur rasional dan teoritis. Sebelum kita memutuskan untuk membangun sistem filsafat yang besar, kata kaum empiris, mengapa kita pertama-tama bertanya tentang hal yang paling mendasar: apakah pikiran kita dilengkapi dengan instrumen untuk melakukan penelitian metafisis menuju jantung hati realitas? Atau mungkin ada batas sejauh mana pikiran dapat mengetahui?

Menurut John Locke, ide-ide abstrak kita tentang ruang, waktu, dan bilangan yang oleh rasionalisme dianggap “bawaan” itu sebenarnya merupakan hasil abstraksi. Dalamhal ini Locke sama sekali tidak menolak kemungkinan pengetahuan abstrak. Yang ditolaknya adalah segala pengetahuan apriori, termasuk ide ruang dan waktu. Locke membedakan antara ide dan kualitas. Ide adalah pengalaman-pengalaman dan pengertian-pengertian yang kita tarik dari pengalaman. Sedangkan kualitas adalah kekuatan-kekuatan pada objek yang membuat kita bisa menghasilkan ide-ide dalam diri kita. Misalnya, bola salju memiliki “kualitas” dalam dirinya untuk menghasilkan ide putih, dingin dan dan bulat dalam diri kita sebagai subjek. Persepsi yangterjadi dalam diri subjek yang menghasilkan ide itu setelah melihat salju itulah yang disebut sebagai ide.

David Hume membedakan persepsi menjadi dua jenis, yakni kesan (impression) dan ide. Kesan adalah sensasi, keinginan, dan emosi yang spontan, data langsung atas tindakan melihat, memegang, mendengarkan, menginginkan, mencintai dan membenci. Sebaliknya, ide adalahsalinan (copies) atau gambaran-gambaran redup atas kesan, seperti ketika kita memikirkan atau mengingat kembali kesan-kesan spontan kita. Lebih lanjut Hume mengatakan bahwa perbedaan antara kesan dan ide adalah dalam lebih kuat dan hidupnya kesan. Kesan memasuki kesadaran dengan lebih “kuat dan memaksa.” Sebaliknya, ide hanyalah gambaran atas kesan kita yang muncul dalam tindakan berpikir, bernalar, dan mengingat. Singkatnya, dalam teori persepsi indrawinya Hume lebih mengunggulkan peranan kesan daripada ide dalam membentuk pengetahuan kita.

Hume menjelaskan bahwa kesan-kesan inderawi memunculkan pengetahuan melalui penyatuan atau sintesis atas ide-ide yang berbeda. Penyatuan itu bersifat spontan. Kita mampu menyatukan dan mengurai ide-ide kita dengan berbagai macam cara. Akan tetapi, ada “ikatan rahasia” di antara ide-ide tertentu yang menyebabkan pikiran lebih sering mempersatukan ide-ide tersebut. Dengan kata lain, ada dorongan untuk membuat keteraturan dalam pikiran kita, karena tanpa keteraturan itu ide-ide kita akan acak-acakan dan tidak mungkin menghasilkan pengetahuan. Dorongan untuk keteraturan itu bertumpu pada kemampuan alamiah pikiran untuk mengasosiasikan ide-ide tertentu. Hume menyebut tiga asas asosiasi, yakni: (1) keserupaan, (2)kedekatan ruang dan waktu, dan (3) sebab akibat.

Akibat perdebatan metodologis dalam memahami kebenaran realitas tersebut diatas, maka muncul pemikiran Immanuel Kant. Kant mengemukakan tentang pengetahuan secara prinsipil terdapat dalam karyanya Kritik der reinen Vernunft. Karya ini berfungsi sebagai semacam proyek raksasa yang mau membuat sintesa antara Rasionalisme dan Empirisme. Seperti sudah dibahas diatas, Rasionalisme mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah akal budi (rasio) saja; pengalaman hanya meneguhkan apa yang telah ada pada rasio. Adapun empirisme berpendapat sebaliknya, sumber pengalaman hanyalah pengalaman inderawi. Maka hanya yang bisa diinderawi saja yang pantas dijadikan dasar pengetahuan. Kant mengadakan suatu revolusi yang dikenal dengan nama “Revolusi Kopernikan.” Sama seperti Nikolaus Kopernikus (1473-1543) yang mengatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya dan bumi berputar di sekitarnya, demikian pun filsafat Kant mau memperlihatkan bahwa pengenalan berpusat pada Subjek dan bukan pada Objek. Dalam Kritik der reinen Vernunft (1781 dan1787), Kant menunjukkan adanya hirarki dalam proses pengetahuan manusia. Tingkat pertama dan terendah dalam proses itu adalah pencerapan inderawi (Sinneswahrnehmung). Tahap berikutnya adalah tingkat akal budi (Verstand). Dan akhirnya, tahap tertinggi dalamproses pengetahuanadalah tingkat budi atau intelek (Vernunft).

Kant mengatakan bahwa pengetahuan kita selalu merupakan sintesis dari unsur-unsur yang ada sebelum pengalaman, yakni unsur-unsur apriori (dari kata Latin prius, “sebelum”), dengan unsur-unsur yang didapat setelah pengalaman, yakni unsur aposteriori (dari kata Latin post, sesudah). Pada tingkat penyerapan inderawi sudah ada dua unsur apriori, yakni ruang dan waktu (Raum und Zeit). Bagi Kant, ruang dan waktu bukanlah bagian dari realitas yang empiris, melainkan merupakan perlengkapan mental, instrumen rohaniah yang menggarap data-data inderawi. Kant mengatakan, bahwa ada ‘benda pada dirinya sendiri” (das Ding an sich). Namun realitas atau benda ini tinggal sebagai suatu X yang tidak bisa diamati, diserap dan diselidiki oleh kita. Apa yang bisa kita amati hanyalah “benda untukku” (das Ding für mich), yakni gejala (fenomen) atau penampakan saja dari realitas mandiri itu yang sebagai pengalaman empiris sesungguhnya merupakan sintesa dari, 1) data-data inderawi yang kita tangkap sebagai “materi”atau “bahan” (Stof ); dan 2) struktur ruang-waktu dalam diri Subjek yang oleh Kant disebut “bentuk” (Formen). Dengan demikan, pengalaman merupakan data inderawi ditambah dengan ruang dan waktu.

Bersamaan dengan penyerapan indrawi, akal budi (Verstand) mulai bekerja secara spontan menggarap input yang diberikan dari pengalaman pada tingkat sebelumnya. Dengancara menerapkan apa yang disebut Kant “kategori-kategori” (Kategorien), yaitu konsep-konsep fundamental atau pengertian-pengertian pokok yang membantu manusia menyusun ilmu pengetahuan. Kategori-kategori ini ada pada Subjek sebagai “struktur-struktur” yang tidak berasal dari pengalaman, maka sifatnya apriori.

Bagi Kant, budi atau intelek (Vernunft) adalah “kemampuan pengetahuan manusia yang tertinggi” atau “daya pengetahuan yang tertinggi.” Berbeda dengan akal budi, intelek tidak menyusun pengetahuan manusia, melainkan bertugas untuk merangkum pengetahuan yang telah diperoleh pada tingkat sebelumnya dalam kesatuan paripurna dan tertinggi dari pemikiran. Untuk menjalankan tugas ini, intelek dipimpin oleh Ide Jiwa, Ide Dunia dan Ide Allah. Ide-Ide ini sama sekali tidak berfungsi sebagai objek pengetahuan, melainkan memberikan semacam orientasi atau petunjuk yang memampukan intelek untuk menata dan mensistematisasikan fenomen-fenomen yang ada. Ide Jiwa (ide psikologis) merupakan gagasan mutlak yang mendasari segala gejala batiniah. Ide Dunia (ide kosmologis) menyatukan semua gejala lahiriah. Dan akhirnya IdeAllah (ide teologis) adalah gagasan yang mendasari segala gejala sempurna baik yang lahiriah maupun yang batiniah. Ketiga Ide ini mengarahkan pengetahuan manusia, yang biasanya berupa pengalaman parsial itu, kepada kesatuan yang menyeluruh dan tertinggi dari proses pengetahuan manusia.

Kritisisme Kant memberi cara pandang baru terhadap metodelogi dalam memahami realitas. Dari pemikiran Kant inilah muncul berbagai pendekatan dan perspektif barusebagai bentuk metode baru dalam mendekati objek.

Pada perkembangan berikutnya muncul pendekatan baru dalam mendekati realitas, yakni lewat teks. Hermeneutika merupakan metode penafsiran kebenaran dalam realitas melalui teks. Menurut para pemikir hermeneutika, pesoalan bahasalah yang menjadi permasalahan substansi dari subyek dalam memahami kebenaran. Bahasa konsep, pengalaman dan teori yang selamaini ada membatasi manusia memahami kebenaran, serta lebih terjebak pada diskusi pada grand narrative yang sudah ada.

Derrida seorang filsuf Perancis menawarkan dekonstruksi grand narrative untukmembersihkan realitas dari kabut-kabut kebenaran yang mengaburkan manusia dalam melihat kebenaran. Dekonstruksi disatu sisi mempunyai kemampuan untuk menghancurkan, dari lain sisi menawarkan pemahaman, pembacaan, penafsiran baru dari teks yang ada. Dekonstruksi menghancurkan relasi biner (yang menghakimi), pusat-pinggiran, baik-jahat, benar-salah, dan sebagainya. tetapi tidak mau membangun relasi biner yang baru (pembalikan). Istilah lain yang terkait dengan dekonstruksi menurut Derrida yakni “penggabungan” (assemblage, faisceau).

Seorang pemikir hermenutika, Gadamer, menyatakan bahwa metodologi untuk memahami kebenaran itu penting, tapi pemahaman manusia tidak bisa direduksi ke metodologi. Manusia bisa berjarak dengan dunia objek yang diamatinya, namun dunia selalu tetap mewahyukan dirinya pada manusia dalam suatu jaringan makna. Karena pemahaman rasio yang salah, membuat kita memiliki pandangan yang keliru bahwa pengetahuan menangkap fakta pada objek. Sehingga manusia terobsesi pada metode yang sampai bisa diverifikasi (dan melupakan objeknya). Kita perlu membiarkan diri kita membangun jejaring makna dengan realitas. Karenapada saat itu, kita sudah ada dalam pengetahuan itu sendiri.

Memahami Sumber Kebenaran dan Teori Kebenaran.
Jika kita belajar tentang ilmu pengetahuan, maka fokusnya hanya pada sumber pengetahuan(the origin of knowledge) dan teori tentang kebenaran pengetahuan. (the theory of truth) Pembahasan yang pertama berkaitan dengan suatu pertanyaan apakah pengetahuan itu bersumber pada akal pikiran semata, pengalaman indera, kritik atau intuisi. Sementara itu, pembahasan yang kedua terfokus pada pertanyaan apakah “kebenaran” pengetahuan itu dapat digambarkan dengan pola korespondensi, koherensi atau praktis-pragmatis. Selanjutnya, pembahasan dalam ilmu pengetahuan mengalami perkembangan, yakni pembahasannya terfokus pada sumber pengetahuan, proses dan metode untuk memperoleh pengetahuan, cara untuk membuktikan kebenaran, dan tingkat-tingkat kebenaran.

Sebelumnya kita telah membahas metodelogi manusia dalam mencari kebenaran dalam realitas. Pada bagian ini akan menjelaskan jenis pengetahuan secara umum yang diperoleh oleh manusia. Ada empat jenis pengetahuan yang umum diperoleh oleh manusia. Pertama, Pengetahuan biasa. Pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan sebagai common sense, dansering diartikan sebagai good sense, (karena pengetahuan tersebut dapat diterima denganbaik). Semua orang menyebut air itu panas, karena memang dipanasi dengan api; menyebut putih itu cerah, karena terang yang dipancarkannya. Common sense diperoleh dari pengalaman sehari-hari. Pengetahuan ini disebut dengan pengetahuan pra ilmiah dan nir ilmiah. Kedua, Pengetahuan ilmiah (science). Adalah pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian kebenarannya. Ilmu pada hakikatnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan commons sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode. Ketiga, Pengetahuan filsafat. Diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, spekulasi, penilaiaan kritis dan penafsiran. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit, konkret dan rigit. Filsafat membahas hal yang lebih luas, abstrak dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali. Keempat, Pengetahuan agama. Pengetahuan yang hanya diperoleh dari kitab suci atau ajaran agama, yang menekankan pada hubungan Tuhan dan umat-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan ini mengandung beberapa hal yang pokok, yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang disering disebut dengan hubungan secara vertikal, dan cara berhubungan dengan sesama manusia.

Berikutnya untuk mengungkapkan kebenaran, ada beberapa teori yang diguanakansebagai pendekatan. Pertama, teori kebenaran korespondensi (Correspondence Theory of Truth), yang kadang disebut dengan accordance theory of truth. Teori korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyatan atau pendapat tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Kedua adalah teori kebenaran koherensi atau konsistensi, adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Teori ini berpendapat bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori kebenaran ketiga adalah teori pragmatisme. Pramagtisme berasal dari bahawa Yunani pragmai, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan. Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Menurut teori pragmatis, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis manusia. Dalam artian, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Teori kebenaran keempat adalah teori performatif. Teori performatif menjelaskan, suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas, tetapi justru dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Teori ini disebut juga “tindak bahasa” mengaitkan kebenaran satu tindakan yang dihubungkan dengan satu pernyataan.

Logika dan Penalaran.
Aktivitas berpikir merupakan karakteristik khusus yang dimiliki manusia. Menurut Descartes, manusia merupakan mahkluk pemikir. Pada bagian sebelumnya telah dibahas dialektika berpikir metodologis dalam mencari kebenaran dalam realitas. Hal ini menunjukkan dalam sejarah manusia, berpikir merupakan tindakan yang terus dilakukan secara berulang. Berpikir logis merupakan ciri umum yang sering dilakukan oleh setiap orang. Perlu disadari bahwa sesuatu yang logis biasanya akan mudah dipahami oleh nalar kita tetapi sesuatu yang tidak logis kadang bertentangan dengan pikiran dan hati kita.

Logika diperkenalkan secara spesifik oleh Aristoteles, sebagai salah satu cara berhadapan dengan kaum sofis. Dalam karyanya ini, Aristoteles menggarap masalah ketegori, struktur bahasa, hukum formal konsistensi, silogisme kategoris, pembuktian ilmiah, pembedaan atribut hakiki dan bukan hakiki, sebagai kesatuan pemikiran, bahkan telah juga menyentuh bentuk tentang logika.
Sesudah Aristoteles, Theoprastus mengembangkan logika Aristoteles, dan kaum Stoam engembangkan teori logika dengan menggarap masalah bentuk argument disjungtif dan hipotesis, serta beberapa segi masalah bahasa. Chryppus dari kaum Stoa mengembangkan logika proposisi dan mengajukan bentuk-bentuk berpikir yang sistematis. Pembaruan logika di Barat adalah Gottfried Wilhem von Leibniz. Ia menganjurkan penggantian pernyataan-pernyataan dengan simbol-simbol agar lebih umum sifatnya dan lebih mudah melakukan analisis bentuk dari logika terus berkembang untuk menghindarkan individu dari kesesatan dalam berpikir.

Menurut Alex Lanur (1983), logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir lurus. Lebih lanjut Ahmad Dardiri (2017), mengemukakan bahwa lgika adalah studi mengenai metode dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk membedakan penalaran yang benar dari penalaran yang salah. Kleinan (2013) menyatakan bahwa logika merupakan salah satu tema filsafat yang berkaitan dengan bagaimana membuat argumen yang valid, dan digunakan untuk mendapatkan pengetahuan. George F. Kneller dalam buku Logic of Lenguage Education, mendefinisikan logika disebut sebagai penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode berfikirbenar (correct reason).

Secara etimologi, logika adalah istilah yang terbentuk dari kata logikos dari bahas Yunani, λογικός. Kata logikos ini berasal dari kata benda logos dalam bahasa Yunani tertulis λόγος. Logos dapat diartikan sebagai perkataan atau sabda. Definisi logikos yang dirunut dari kata logos adalah sesuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal atau pikiran, kata, percakapan, atau ungkapan lewat bahasa. Sementara itu, kata logikos memuat pengertian mengenai sesuatu yang diutarakan, sesuatu yang diungkapkan dan dinyatakan, mengenai suatu pertimbangan akal budi, mengenai kata, mengenai percakapan dan perbincangan yang diungkapkan lewat bahasa. Pada akhirnya definisi logika yakni pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Menurut Cecep Sumarna dalam Susanto, logika adalah cara penarikan kesimpulan atau pengkajian untuk berpikir secara sahih.

Kemudian sebagai ilmu, logika juga disebut dengan logike episteme (bahasa Yunani) atau disebut dengan logica scientia (bahasa Latin) yang berarti ilmu logika atau, saat ini lebih lazim cukup disebut dengan logika. Secara bentuk ada dua bentuk logika, yakni 1) Logika formil, yakni pertimbangan yang difokuskan pada bentuknya, yaitu pembentukan pengertian, putusan, dan penyimpulan. Ketiga hal ini disebut juga sebagai kerangka atau unsur logika; 2) Logika materil, yakni apabila pemikiran itu tidak hanya tepat menurut bentuknya, tetapi juga benar menurut isinya. Artinya isi atau muatan suatu pengertian, putusan, dan penuturan itu mengandung kebenaran. Tugas logika formil dilanjutkan oleh logika materil. Penyimpulan itu tepat, apabila dalam putusan yang diharuskan ditarik kesimpulan sesuai dengan kaidah. Kemudian, penyimpulan itu benar, apabila kesimpulan menurut kaidah ditarik dari putusan (premis) yang benar, yakni mengatakan dengan benar keadaan yang sesungguhnya.
Maksud logika adalah membentuk pengetahuan yang tepat dengan jalan berpikir. Selanjutnya tujuan akhir dari logika adalah menghasilkan pengetahuan yang benar. Untuk terwujudnya pengetahuan yang benar, tentu harus tersedia bahanbahan yang benar pula. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan obyek yang sesungguhnya.

Ada dua macam logika. Pertama, logika naturalis (kodrati). Yakni akal dapat bekerja menurut hukum-hukum logika dengan cara yang spontan. Namun demikian, dalam hal-hal tertentu akal budi manusia dapat dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungannya yang subyektif. Kemampuan logika naturalis antara manusia yang satu dengan yang lainnya adalah berbeda-beda. Tergantung dari tingkat intelegensi dan pengetahuannya. Maka kinerja akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus secara natural tanpa dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subjektif dari pemikir atau manusia. Kemampuan logika alamiah manusia ada sejak lahir. Kedua, logika Artifisial (Ilmiah). Logika ini membantu logika kodratiah. Logika ilmiah memperhalus dan mempertajam pikiran dan akal budi. Karena bantuan logika ilmiah ini, akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat dan lebih teliti. Logika ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan asas-asas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran. Lewat pertolongan logika ilmiah inilah akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau paling tidak, mengurangi kesesatan. Di Barat yang pertama sekali merumuskan kaidah-kaidah tentang logika artificialis adalah Aristotelesyang tertera di dalam bukunya organon yang berarti instrumen (alat) yakni alat untuk berpikir benar. 

Namun demikian, jika dipandang dari segi objeknya maka logika artificialis dapat dibagi menjadi dua yakni logika formal dan logika material. Logika formal sering juga disebut logika minor sedangkan logika material disebut logika mayor. Logika formal adalah mempelajari asas-asas aturan-aturan atau hukum-hukum berfikir yang harus di taati, agar orang dapat berfikirdengan benar dan mencapai kebenaran. Logika material mempelajari sumber-sumber dan asalnya pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan, dan akhirnyamerumuskan metode pengetahuan tersebut.
Kerangka berpikir manusia sesungguhnya terdiri atas tiga unsur. Unsur yang pertamaa dalah 1) Pengertian-pengertian. Pengertian merupakan menangkap kenyataan tentang sesuatu sebagaimana adanya. Artinya menangkap sesuatu tanpa mengakui atau mengingkarinya. Pekerjaan pikiran di sini adalah mengerti kenyataan, serta membentuk pengertian-pengertian atas dasar pengetahuan indera. 2) Keputusan-keputusan. Yakni memberikan keputusan, artinya menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian lainnya atau memungkiri hubungan itu. 3) Penyimpulan-penyimpulan. Yakni menghubungkan keputusan-keputusan sedemikian rupa, sehingga dari satu keputusan atau lebih, akhirnya sampai pada suatu kesimpulan. Atas dasar“putusan” pada point kedua, maka seseorang dapat menyimpulkan.

Pemikiran, penalaran keputusan, dan penyimpulan adalah suatu penjelasan yang menunjukkan kaitan atau hubungan antara dua hal atau lebih, yang atas dasar alasan-alasan tertentu dan dengan langkah-langkah tertentu sampai pada suatu kesimpulan. Misalnya, Kalimat berita atau putusan; Hubungan sebab akibat; Hubungan maksud tujuan; Hubungan bersyarat.

Kita dapat mengetahui hakikat suatu objek, atau setidaknya dapat berpikir tentang hakikat tersebut, karena kita dapat menciptakan sebuah konsep. Manusia juga dapat memahami hakikat benda yang diketahui, sebagai salah satu bagian dari realitas. Pada mulanya pikiran memahami hakikat objek dalam wujud angan-angan atau fantasi. Segera sesudah pikiran membuat abstraksi tentang hakikat objek tersebut, proses ini mendorong pikiran untuk membentuk gagasan tentang objek tersebut. Jadi panca indera menangkap objek khusus, dan pikiran mengabstraksikan hakikatnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa pancaindera dan pikiran saling bekerja sama membentuk gagasan.
Dalam penalaran logika dibagi atas dua unsur, deduktif dan induktif. Penalaran deduktif kadang disebut logika deduktif adalah penalaran yang membangun atau mengevaluasi argumen deduktif. Argumen dinyatakan deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik atau merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan valid atau tidak valid, bukan benar atau salah. Semua penalaran yang menggunakan pikiran sudah tentu berpangkal pada logika. Dengannya, dapat diperoleh hubungan antar pernyataan.

Penalaran Deduktif adalah suatu kerangka atau cara berfikir yang bertolak dari sebuah asumsi atau pernyataan yang bersifat umum untuk mencapai sebuah kesimpulan yang bermakna lebih khusus. Ia sering pula diartikan dengan istilah logika minor, dikarenakan memperdalami dasar-dasar pensesuaian dalam pemikiran dengan hukum, rumus dan patokan-patokan tertentu. Pola penarikan kesimpulan dalam metode deduktif merujuk pada pola berfikir yang disebut silogisme. Yaitu bermula dari dua pernyataan atau lebih dengan sebuah kesimpulan. Yang mana kedua pernyataan tersebut sering disebut sebagai premis minor dan premis mayor. Serta selalu diikuti oleh penyimpulan yang diperoleh melalui penalaran dari kedua premis tersebut. Namun kesimpulan disini hanya bernilai benar jika kedua premis dan cara yang digunakan juga benar, serta hasilnya juga menunjukkan koherensi data tersebut.

Penalaran induktif adalah cara berfikir untuk menarik kesimpulan dari pengamatan terhadap hal yang bersifat partikular ke dalam gejala-gejala yang bersifat umum atau universal. Sehingga dapat dikatakan bahwa penalaran ini bertolak dari kenyataan yang bersifat terbatas dan khusus lalu diakhiri dengan pernyataan yang bersifat kompleks dan umum. Generalisasi adalah salah satu ciri yang paling khas dalam metode induksi. Hanya saja, generalisasi di sini tidakberarti dengan mudahnya suatu proposisi yang diangkat dari suatu individu dibawa untuk digeneralisasikan terhadap suatu komunitas yang lebih luas. Justru, melalui metode ini, diberikan suatu kemungkinan untuk disimpulkan. Dalam artian, bahwa ada kemungkinan kesimpulan itu benar tapi tidak berarti bahwa itu pasti benar, sehingga akhirnya disinilah lahir probabilitas. Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada suatu dilema tersendiri, yaitu banyaknya kasus yang harus diamati sampai mengerucut pada suatu kesimpulan yang general.

Membangun Sebuah Kerangka Pikir Terhadap Masalah.
Kerangka berpikir atau juga disebut sebagai kerangka konseptual merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Kerangka berpikir juga menjelaskan sementara terhadap gejala yang menjadi masalah (objek).
Masalah atau objek masalah merupakan suatu realitas yang dapat diinderawi, atau gejala-gejala (fenomena) yang dapat ditangkap oleh manusia. Dari penangkapan tersebut disusun penalarannya sehingga penalaran tersebut menjadi realitas yang dapat dikaji atau didalami. Gejala-gejala awal yang ditangkap oleh indera dan dinalar ini dinamakan asumsi. Asumsi merupakan dugaan yang diterima sebagai dasar, landasar berpikir karena menganggap sesuatu benar. Mengapa bisa terdapat masalah sebagai dasar dalam sebuah kajian? Karena ada gap (jurang) antara sesuatu yang diharapkan dengan realitas yang terjadi. Dalam bangunan teori disebutkan bahwa jika realitas sudah tidak sesuai dengan teori, dan atau sebaliknya, maka sangat mungkin kajian dan pendalaman dapat dilakukan.

Dari kajian awal terhadap masalah yang dihadapi, maka dapat dirumuskan hipotesis dan atau rumusan masalah. Hipotesis merupakan defenisi yang sering digunakan dalam penelitian kuantitatif. Sedangkan rumusan masalah adalah defenisi yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif. Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah yang kebenarannya masih harusdiuji secara empiris. Hipotesis dalam penelitian berguna untuk, 1) Hipotesis memberikan penjelasan sementara tentang gejala-gejala serta memudahkan perluasan pengetahuan dalam suatu Bidang; 2) Hipotesis memberikan suatu pernyataan hubungan yang dapat diuji langsung dalam penelitian; 3) Hipotesis memberikan arah kepada penelitian; 4) Hipotesis memberikan kerangka untuk melaporkan kesimpulan hasil penyidikan. Ada 4 jenis hipotesis, yakni 1) Hipotesis umum, adalah hipotesis yang masih bersifat umum dan memerlukan penjabaran. Penjabarannya ini terdiri dari hipotesis nol, kerja dan alternatif; 2) Hipotesis Nol, dirumuskan karena menyatakan tidak adanya perbedaan antara sesuatu dengan sesuatu yang lainnya.; 3)Hipotesis alternatif adalah kebalikan dari hipotesis nol, perumusannya dimaksudkan untuk memungkinkan dilakukan pernyataan adanya perbedaan antara dua variabel atau dua kondisi; 4)Hipotesis kerja, dirumuskan dengan menghubungkan dua variabel penelitian dalam bentuk hubungan kausalitas atau sebab-akibat.

Untuk dapat mengungkap hipotesis dengan benar, peneliti harus memahami pola hubungan yang terdapat dan mungkin terjadi, atau tipe hubungan diantara variabel yang diteliti. Sekurang-kurangnya ada tiga tipe hubungan yakni, 1) Hubungan Asymetris. Tipe hubungan ini biasanya digambarkan dengan anak panah. Hubungan ini berarti variabel X mempunyai hubungan dengan variabel Y. Hubungan yang ada dapat dikatakan dengan pengaruh X memengaruhi Y tetapi tidak sebaliknya; 2) Hubungan symetris menunjukkan pengaruh dan biasanya dilambangkan dengan garis sedikit melengkung. Hubungan tersebut menjelaskan bahwa variabel 1 mempunyai hubungan dengan variabel 2, tetapi tidak dapat diinterpretasikan variabel 1 memengaruhi variabel 2, sebab variabel 1 setara dengan variabel 2 dan tidak mungkin memberikan sumbangan terhadap variabel 2.; 3) Hubugan Reciprocal. Merupakan hubungan saling memperkuat masing-masing variabel pada langkah berikutnya. Di dalam hipotesis terdapat empat utama yang berpengaruh, yakni : 1) Dependent variable adalah variabel yang timbul sebagai akibat adanya variabel yang lain: 2) Independent variable adalah variabel yang menimbulkan atau menjadi sebab timbulnya variabel lain; 3) Intervening variable adalah variabel yang mengaburkan hubungan antara dua variabel yang semula mempunyai hubungan yang kuat; 4) Suppresor variable adalah variabel yang memperjelas hubungan antara dua variabel yang semula mempunyai hubungan yang lemah.

Berikutnya dalam penelitian kualitatif dikenal rumusan masalah penelitian. Masalah dalam penelitian adalah pertanyaan tentang situasi problematik yang timbul dari kesenjangan antara kenyataan atau fakta dengan teori atau kesenjangan antara fakta empirik dengan penelitian yang terdahulu, yang memungkinkan untuk dapat dijawab. Kesenjangan yang muncul dalam berbagai fenomena kehidupan akan menimbulkan pertanyaan: mengapa dan bagaimana hal itu dapat terjadi? Pertanyaan itu tentunya merupakan masalah yang perlu dikaji untuk diperoleh jawabannya, meskipun kemungkinan jawabannya pun lebih dari satu macam.

Sesuai dengan karakteristik dari penelitian kualitatif yang bersifat lentur dan terbuka, rumusan masalah dalam penelitian kualitatif dapat bersifat tentatif. Sangat dimungkinkan dalam prosesnya di lapangan rumusan masalah akan berubah sesuai dengan latar penelitiannya. Berkaitan dengan hal itu, dikenal berbagai model rumusan masalah penelitian kualitatif sebagai berikut. (1) Penyajian rumusan masalah secara proporsional; (2) Penyajian rumusan masalahdalam bentuk diskusi; (3) Penyajian rumusan masalah dalam bentuk gabungan (proporsional dan diskusi).

Rumusan masalah awal merupakan panduan yang akan mengarahkan peneliti dalam mengamati tindakan tertentu, mengamati tempat berlangsungnya peristiwa, menganalisis dokumen, dan mewawancarai informan. Rumusan masalah ini akan membimbing peneliti terfokus pada penelitiannya. Selain itu, cara peneliti mengajukan pertanyan penelitian sangat penting untuk memandu langkah dalam melakukan penelitian, sekaligus menentukan metode penelitian yang digunakan.

Metode untuk merumuskan masalah adalah 1) Identifikasi Masalah. Dalam rangka proses penemuan masalah penelitian, sebelum masalah dapat dirumuskan dengan spesifik dan terfokus, perlu dilakukan identifikasi terlebih dahulu terhadap masalah yang akan dikaji; 2) Lakukan Pembatasan Masalah. Penentuan masalah atau fokus penelitian pada umumnya akan dapat dipastikan pada waktu peneliti berada di lapangan. Maksudnya, meskipun masalah sudah dirumuskan berdasarkan telaah pustaka dan ditunjang oleh pengalaman tertentu, dapat saja terjadi ketika masalah tidak memungkinkan untuk dikaji lebih lanjut oleh peneliti;3) Merumuskan Rumusan Masalah. Rumusan masalah penelitian pada dasarnya merupakan suatu pertanyaan yang mengidentifikasi fenomena-fenomena yang diteliti. Pada rumusan masalah tersebut, dapat diketahui apa yang terutama ingin disoroti, dikaji lebih dalam dan apa yang ingin diketahui mengenai subjeknya.

Setelah merumuskan rumusan masalah dan atau hipotesis, maka dapat dilanjutkan pada metode pengambilan data atau fakta. Metode pada umum yang digunakan adalah Kualitatif atau kuantiatif. Metode kualiattif melihat fenomena secara menyeluruh dan menggambarkannya secara menyeluruh dengan teknik pengumpulan data yang tepat, seperti wawancara, observasi, penelitian partisipasi dan lainnya. Sedangkan metode kuantitatif merupakan metode pengumpulan data dengan mengkuantitatifkan realitas kedalam data dalam bentuk simbol angka seperti survey dan parametrik lainnya. Metode ini berupaya untuk mengungkapkan realitas sebagaimana yang terjadi sebenarnya dilapangan atau tempat penelitian.

Setelah mengumpulkan fakta dan data, maka dapat ditraik kesimpulan sebagai hasil akhir dari penelitian. Kesimpulan merupakan proses penarikan pernyataan berdasarkan analisis fakta dan data dari realitas. Penyimpulan adalah suatu kegiatan manusia tertentu. Dengan kegiatan penyimpulan itu, seseorang bergerak menuju ke pengetahuan yang baru, dari pengetahuan yang dimiliki dan berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya itu.

Hati-hati dalam menyimpulkan. karena jika, 1) Jika premis-premis benar, tetapi kesimpulan salah, maka jalan pikirannya(bentuknya) tidak lurus; 2) Jika jalan pikirannya (bentuknya) memang lurus, tetapi kesimpulannya tidak benar, maka premis-premis salah. Dari salahnya kesimpulan dapat dibuktikan salahnya premis-premis.

Berpikir metodologis merupakan sebuah pendekatan dalam proses berpikir manusia yang melibatkan logika, nalar, dan aktivitas penyelidikan. Dalam perkembangannya berpikir metodologis terus mengalami dialektis, sebagai upaya mendekati kebenaran yang absolut. Walaupun disadari bahwa dalam aktivitas ilmiah, sebuah kebenaran yang ditemukanbersifat sementara, hingga ada kebenaran baru yang mengganti atau memperteguhnya. Dan sesuatuyangabsolut hanyalah milik obyek, yang terus didekati oleh manusia sebagai subyek untuk dipahami dan dimengerti. Berpikir metodologis, menyerahkan pemikiran pada sebuah cara untukberpikirsistematis, analitis dan kritis.

Daftar Pustaka.
  • Jujun S. Suriasumantri, 2013. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
  • Poespoprodjo, W. 1999. Logika Scientifica. Bandung: Pustaka Grafika. 
  • Soekadijo, R.G, 1983. Logika Dasar. Jakarta: Gramedia.
  • Surajiya, dkk. 2006. Dasar-Dasar Logika. Jakarta: PT Bumi Aksara
  • Sagala, Syaiful. 2014. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
  • Moleong, Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya. 
  • Mundiri, 2011. Logika. Jakarta: PT Grafindo Persada.

{Disusun dan dibawakan oleh Ricky Arnold Nggili untuk diberikan sebagai materi dalam Latihan Dasar Kepemimpinan GMKI Cabang Telukdalam, pada Sabtu 16Juli 2022, pukul 16.00 WIB - Selesai)






Posting Komentar

Posting Komentar