xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

Berpikir Kritis Dalam Moderasi Kehidupan Bersama


Oman Fathurrahman, Staf ahli Kementerian Agama Republik Indonesia, saat memoderatori Focus Group Discussion (FGD) dan diskusi buku Pengarasutamaan Moderasi Beragama (16/05/2022), mengungkapkan bahwa sikap moderat dalam beragama merupakan kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia yang plural dan multicultural. Sikap ekslusif dan fanatisme kehidupan beragama membawa pada kotak-kotak identitas dalam masyarakat. Hal ini dapat mengarah pada sikap saling bersaing dan ingin menang sendiri. Moderat tidak berarti kehilangan indetitas sebagai makluk agama. Sikap moderat merupakan sikap penguasaan diri dan selalu mengambil jalan tengah, dalam kehidupan yang plural dan multikultural. Moderat berasal dari Bahasa Latin, moderatio, yang berarti kesedangan, tidak belebihan dan keseimbangan. Sikap moderat dalam kehidupan beragama yakni menguasai ilmu agama yang dimiliki, dan mampu untuk menerapkannya dalam kehidupan bersama yang plural dan majemuk. Dengan demikian sikap moderat berarti tidak menjadi fanatik yang berlebihan, bahkan menuju pada tindakan ekstrimis, radikal, hingga meneror orang lain yang berbeda. Namun sikap terbuka, saling menghargai, toleran dan membangun dialog bersama.

Dalam pendekatan berpikir kritis, sikap fanatik, ekstrimis dan radikal merupakan hasil dari Low Order Thinking (LOT), yang lebih mengutamakan egosentris dan sosiosentris. Low Order Thinking (LOT) merupakan sikap berpikir yang merefleksikan kebenaran hanya menjadi milik diri sendiri atau kelompoknya. Richard Paul dan Linda Elder (2002) mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia merupakan makluk pemikir. Pikiran merupakan potensi manusia, yang diberikan melebihi makluk hidup lainnya. Lewat pikiran, manusia dapat berpikiran kreatif dan inovatif. Namun banyak orang lebih terjebak pada tidak mengoptimalkan kinerja pikiran, dan bersikap unreflective thinking. Orang-orang seperti ini, sering melihat kebenaran secara subjektif, hanya ada dalam diri dan kelompok mereka. Apa itu kebenaran? Kebenaran adalah apa yang telah saya pelajari dan saua yakini itu benar. Dan atau kebenaran adalah apa yang diyakini oleh kelompok saya sebagai kebenaran. Hal ini membuat sikap kritis hilang dan tidak bekerja.Sikap percaya diri berlebihan dalam memahami realitas, dan bahkan memaksakan kebenaran subyektifnya kepada orang lain. Sikap ini akan merusak kehidupan bersama dan bahkan meniadakan dialog. Sikap radikal dan menyebarkan teror merupakan akibat dari cara berpikir unreflective ini. Kebenaran dalam realitas diabaikan dan disingkirkan, karena merusak kebenaran subyektif yang dimilikinya.

Selain sikap unreflective thinking, tantangan lainnya yakni perkembangan penggunaan informasi yang berlebihan dalam dunia maya juga mengancam kekritisan. Jumlah gadget yang terkoneksi di Indonesia ditahun 2022 sebanyak 370 juta, berdasarkan hasil publikasi We are social dan Hoosuite (2022). Jumlah gadget tersebut melebihi jumlah penduduk Indonesia, yakni 277 juta orang. Dengan pengguna aktif media sosial sebanyak 191 juta orang. Berdasarkan laporan tersebut juga menyebutkan bahwa durasi waktu yang digunakan oleh orang Indonesia dalam menggunakan internet adalah 8 jam 36 menit per hari. Hal ini masih dibawah Negara Thailand, Filipina dan Brasil, yang menggunakan internet sekitar 9 jam per hari. Aktivitas yang banyak digunakan saat berselancar diinternet adalah 80,1% mencari informasi, 72% mencari ide dan inspirasi, 68,2% kontak dengan teman dan keluarga, serta 63,4% mengisi waktu luang. Data ini menunjukan bahwa kehidupan orang Indonesia di Internet sangat tinggi, dan terhubung dengan aktivitas pikiran selanjutnya. Menurut hasil riset World Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity ditahun 2016, menunjukan posisi Indonesia berada diurutan 60 dari 61 Negara tentang minat baca. Pada tahun 2021, UNESCO melaporkan bahwa minat baca orang Indonesia 0,001%. Hal ini menunjukan bawah diantara 1000 orang Indonesia, hanya 1 yang gemar membaca. Namun aktivitas dalam media sosial masyarakat Indonesia termasuk tinggi, dibandingkan Negara lainnya. Banyak pengguna media sosial yang telah mengenal netizen Indonesia sebagai masyarakat yang paling sibuk dan cerewet di media sosial. Minat baca kurang dan bersikap unreflective thinking, namun sangat aktif di media sosial. Hal ini menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia. Internet yang menyediakan berbagai informasi, fakta, data hingga hoaks, membutuhkan intelektual dan nalar kritis untuk mengoptimalkan teknologi ini.

Kebutuhan akan berpikir kritis merupakan pintu masuk kedalam moderasi kehidupan bersama, dengan kecepatan informasi teknologi yang sangat tinggi. Berpikir krtis akan menghadirkan kecakapan berpikir dalam memahami realitas dan identitas sosial dalam dunia riil maupun media sosial. Berpikir kritis membantu setiap individu memahami keyakinan dan nilai agamanya secara benar dan bijak. Sehingga tidak kehilangan kendali saat behadapan muka dengan pluralitas dan keberagaman. Berpikir kritis juga membantu tiap individu untuk bisa memiliki pengetahuan dan pemahaman yang tepat saat berselancar dalam media sosial. Dengan berpikir kritis membantu setiap orang untuk bersikap toleran dan terbuka, serta kreatif dan inovatif dalam memaknai realitas. Berpikir kritis mampu membentuk masyarakat yang rukun, harmonis dan membawa kedamaian bagi seluruh ciptaan.


Berpikir Kritis dan Moderasi Kehidupan Bersama
Bagaimana caranya berpikir kritis mampu membentuk moderasi kehidupan bersama?
Berpikir kritis berasal dari Bahasa Yunani, Kriticos, yang berarti penilaian dengan cermat dan tepat. Dan atau Kriterion, yang berarti standar. Dengan demikian berpikir kritis yakni pemikiran reflektif untuk mendapatkan penilaian yang cermat dan tepat, dengan menggunakan standar-standar berpikir. Dari akar kata ini menunjukan bahwa berpikir kritis tidak mengandung makna menyerang, berdebat, banyak berbicara atau arogansi pemikiran.lainnya.

Richard Paul dan Linda Elder (2002) memaparkan bahwa berpikir kritis merupakan kemampuan reflektif manusia dengan menggunakan standar intelektual dalam bernalar, sehingga menghasilkan kebajikan. Dengan demikian kemampuan reflektif ini merupakan hasil kerjasama antara intelektual dan nalar yang dilakukan terus menerus, hingga menghasilkan internalisasi sikap yang bajik secara intelektual.

Kebajikan merupakan akibat dari aktivitas intelektual dan penalaran. Ketekunan, kerendahan hati, empati, keterbukaan, kepercayaan diri, keberanian, dan kemandirian intelektual merupakan kebajikan yang diakibat dari kedua aktivitas tersebut. Dengan demikian sikap moderat akan terbentuk, saat setiap individu selalu mengoptimalkan kinerja intelektual dan nalarnya. Moderasi tidak akan terbentuk, jika setiap orang masih terjebak dengan pengkerdilan intelektual dan keterbatasan dalam bernalar.

Standar intelektual yang dimaksud adalah kejelasan, kedalaman, relevansi, akurasi, logika ketepatan dan keadilan. Standar tersebut dapat digunakan saat individu diperhadapkan dengan realitas. Standar tersebut terjadi secara implisit dalam pikiran manusia saat melakukan penalaran terhadap realitas yang ditangkap oleh inderawi maupun rasio manusia. Kejelasan obyek dan realitas harus dicari tahu secara mendalam, dan berasl dari sumber yang akurat. Informasi dalam media sosial harus diabaikan, jika fakta dan data dalam media sosial merupakan sumber sekunder atau tersier. Logika untuk melihat keterhubungan realitas obyek dengan konsep umum yang dipahami oleh masyarakat juga harus digunakan secara tepat. Jangan sampai subyek terjebak dengan membangun logika sesat berdasarkan kepentingan dan penilaian subyektifnya. Aspek keadilan dengan membuka berbagai pandangan dan perspektif juga membantu intelektual untuk melihat obyek secara lebih jelas dan bebas dari bias atau ambiguitas. Dalam menentapkan standar intelektual, bisa juga memasukan nilai internal yang menjadi ciri khas. Misalnya intelektual harus menggunakan standar bahwa semua ciptaan adalah sempurna (berdasarkan nilai agama); setiap makluk hidup memiliki peran dalam alam semesta (berdasarkan nilai kepercayaan tertentu; dan lainnya. Memasukan nilai internal indentitas dalam standar intelektual berguna untuk mewujudkan karakter subyek yang melekat dengan identitas tertentu, misalnya intelektual agama, intelektual budaya, dan lainnya. Hanya perlu diingat bahwa standar intelektual tidak boleh bersifat tertutup, namun bersifat universal.

Standar intelektual diatas diterapkan dalam penalaran. Elemen-elemen penalaran meliputi, asumsi, konsep, tujuan, pertanyaan, informasi, dan kesimpulan. Berpikir kritis tidak meniadakan sikap pemikiran sementara atau asumsi subyektif dalam berpikir. Pemikiran sementara atau asumsi merupakan buah pemikiran yang diwadahi oleh pengalaman atau pengetahuan seseorang dimasa lalu. Dengan demikian asumsi atau pemikiran sementara merupakan prasyarat untuk memulai proses penalaran. Saat seseorang diperhadapkan dengan obyek dana tau realitas, maka ia akan menggunakan asumsi untuk memahami realitas tersebut. Namun tidak sampai disitu. Asumsi tersebut harus berdiri diatas konsep umum yang jelas dan tepat. Sehingga tidak terjadi kesalahan dalam mengambil kesimpulan. Setelah memahami konsep umum, maka dilanjutkan dengan membuat tujuan penalaran dan membentuk pertanyaan untuk mengapai tujuan tersebut. Pertanyaan merupakan langkah yang digunakan untuk mengumpulkan fakta dan data untuk membangun kesimpulan yang sahih terhadap realitas yang ada. Dalam menerapkan elemen-elemen ini, individu harus terus terkoneksi dengan standar intelektual. Sehingga penalaran yang dibangun dapat dipertanggungjawabkan dan tidak jauh dari realitas kebenaran.

Intelektualitas dan penalaran jika digunakan secara optimal dalam setiap aktivitas, akan menghasilkan sikap-sikap moderat dan tidak arogan. Berpikir kritis membantu setiap orang dan kelompok masyarakat untuk menjadi lebih moderat dan bertanggungjawab dalam menjalani kehidupan yang majemuk ini. Ketekunan dan kerendahan hati muncul dari sikap tidak bosan-bosan mencari tahu dan menguji setiap realitas yang diketahui. Setiap orang tidak akan terburu-buru mengambil kesimpulan dalam kebenaran tunggalnya, namun terus berdialektika antara realitas dan pikiran yang dimilikinya.

Menjadi moderat tidak secara sengaja menurunkan derajat pembelajaran dan pemahaman. Namun menjadi moderat adalah sikap kebajikan intelektual yang lahir dari kesadaraan penuh akan realitas plural dan majemuk, ditengah-tengah identitas kelompok.

Pustaka:
  • Hadi, Sofyan. Urgensi Nilai-nilai Moderat dalam lembaga Pendidikan Di Indonesia, Artikel, (2019), Vol. 1:11-12.
  • Fisher, Alec. 2009. Berpikir Kritis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga.
  • Browne, Neil dan Stuart M. Keeley. 2012. Pemikiran Kritis. Jakarta: PT Indeks.
  • Paul, R. & Elder, L. 2002. Critical Thinking Tools for Taking Charge of Your Professional and Personal Life. Dillon Beach, CA: Foundation for Critical Thinking Press

(Materi ini disusun oleh Ricky Arnold Nggili, dan diberikan dalam kegiatan "Workshop Moderasi Digital: Kelas dan Praktik Aktivisme Agama," yang diselenggarakan oleh HMI Cabang Salatiga dan Surau Menyala, pada tanggal 26 November 2022, pukul 09.00-13.00 WIB)


Posting Komentar

Posting Komentar