Estetika memiliki kekuatan mengikat kesadaran manusia yang pada akhirnya membentuk loyalitas, terutama dalam konteks merek (brand). Keindahan tidak hanya bersifat visual, tetapi juga emosional dan eksistensial, yang menyentuh kesadaran manusia secara mendalam. Kesadaran akan keindahan mendorong keterhubungan antara subjek dan objek, menciptakan refleksi dan identifikasi. Dalam ranah bisnis dan pemasaran, kesadaran merek yang dibangun melalui elemen seperti logo, warna, dan bentuk mampu menumbuhkan persepsi positif, hingga keterikatan psikologis dan emosional terhadap merek, dan secara bertahap berkembang menjadi loyalitas konsumen. Untuk itu, estetika tidak hanya menjadi aspek visual, melainkan jembatan antara makna, identitas, dan komitmen dalam hubungan antara manusia dan merek, yang membentuk kesadaran akan nilai-nilai yang diyakini.
Keindahan merupakan sebuah kata benda yang mengakar dari kata sifat “indah”. Kata imbuhan yang ditambahkan di awal dan akhir kata sifat menunjukkan abstraksi dari sifat “indah” yang memiliki kualitas tertentu. “Indah” yang merupakan sebuah pernyataan terhadap sifat-sifat benda konkret, menjadi memiliki kualitas abstrak dalam menggambarkan keserasian, keharmonian, dan sesuatu yang menyenangkan. Pada akhirnya kata benda ini menjadi perwujudan sifat abstrak dari sebuah objek. Sifat abstrak yang di dalamnya terdapat penilaian visual, auditif, spiritual, hingga konseptual.
Sesuatu yang bersifat indah mampu mengikat kesadaran manusia-subjek untuk memiliki ketertarikan dan fokus kesadaran pada objek tersebut. Dalam karya fenomenal John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (1690), mengungkapkan bahwa ide dan konsep berasal dari pengalaman sensasi indera dan proses refleksi mendalam. Lebih lanjut David Hume (1739) menegaskan bahwa semua ide merupakan salinan dari kesan manusia-subjek. Maka itu, konsep keindahan bukanlah objek pasif yang diam dalam sebuah benda, namun memiliki kekuatan mengaktifkan, menarik, dan menahan perhatian kesadaran manusia. Dalam karya Edmund Burke, A Philosophical Enquiry into the Origin of Our Ideas of the Sublime and Beautiful (1757), mengungkapkan bahwa keindahan tidak datang dari rasionalitas, namun dari rasa dan emosi manusia. Pendapat ini menunjukkan bahwa sebuah objek dapat mengikat perhatian kesadaran, membuat subjek berefleksi, dan pada akhirnya membuat kesadaran subjek terhubung penuh dengan objek tersebut. Hal ini membuat seseorang terhubung masuk dalam sebuah objek seperti lukisan dan musik saat indera menikmati dan mendapatkan kesan dari objek tersebut.
Dalam kesadaran manusia terbentuk loyalitas atau kesetiaan pada hal yang disadarinya. Menurut Jean Paul-Sartre (1943), kesadaran manusia merupakan proses untuk menjadi. Kesadaran manusia bersifat bebas dan aktif. Kesadaran manusia selalu pada sesuatu yang memiliki kebebasan dan tanggung jawab individual. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran membuat manusia akan setia dan bersikap loyal, karena hal ini bersifat personal. Dalam karya Soren Kierkegaard, Fear and Trembling (Howard & Edna, 1983), mengungkapkan seseorang yang telah menjadi sadar akan memiliki kesetiaan dan komitmen. Bahkan menurut Kierkegaard, loyalitas akibat dari kesadaran mampu untuk melawan norma sosial. Begitu kuatnya kesetiaan pada kesadaran membuat seseorang menjadi bebas dan berkomitmen.
Dalam perkembangan masa, kesadaran akan keindahan digunakan untuk mengikat kesetiaan dan komitmen manusia. Keindahan sebagai bentuk kesadaran manusia menuntut adanya loyalitas yang bersifat bebas dan bertanggung jawab pada manusia secara individual. Seseorang mampu bertindak secara bebas sebagai bentuk kesetiaannya pada kesadarannya tentang objek di luar dirinya. Dalam karya berjudul Theory of Commitment and Trust (Morgan & Hunt, 1994), mengungkapkan bahwa jika seorang konsumen sudah terikat secara emosional kepada merek tertentu, maka mereka akan lebih setia pada merek tersebut dalam jangka waktu yang panjang. Manusia yang terikat dengan merek atau produk tertentu, merasa bertanggung jawab dan memiliki loyalitas terhadapnya (Pierce et al, 2001). Objek di luar diri manusia terikat dengan manusia-subjek, karena adanya sentuhan identitas, nilai, dan kepercayaan.
Merek-merek yang gambar logonya menonjolkan keindahan dan mengikat emosi, kesadaran serta loyalitas masyarakat, mampu untuk mengharmoniskan visual, warna, kesederhanaan, dan filosofi dari sebuah desain. Hal ini membuat setiap orang terikat dan terhubung dengan merek tersebut. Dan pada akhirnya memunculkan loyalitas tanpa batas.
Keindahan dalam Sebuah Gambar Membentuk Kesadaran
Gambar siluet buah apel tergigit yang ditampilkan secara minimal, simetris, dan elegan, mampu memberi kesan kesederhanaan, simbol pengetahuan, dan kreativitas, bagi orang yang melihatnya. Dengan logo ini, Apple menghantar pesan kepada setiap orang bahwa mereka dapat menjadi bagian dari Apple. Selain itu gambar garis lengkung dalam keadaan yang sederhana, namun memiliki makna simbolis tentang kecepatan dan dinamis, mampu memberi kesan semangat, kecepatan, gerakan, dan kemenangan. Logo ini membuat Nike mendapatkan kesan dalam persepsi para olahragawan dan kelompok masyarakat yang bergerak dinamis. Kedua gambar logo ini dibuat untuk menghantar pesan perusahaan bisnis bahwa mereka bagian dari nilainilai universal yang melekat secara individu pada setiap orang. Hal ini pada akhirnya membentuk kesadaran bahwa keindahan dalam gambar logo Apple dan Nike, merupakan bagian tidak terpisah dari tiap individu, dan pada akhirnya membentuk kesetiaan atau loyalitas terhadap produk dari kedua perusahaan tersebut.
Membentuk keindahan dalam sebuah logo merek tidaklah mudah. Dibutuhkan kemampuan untuk mengeluarkan nilai, identitas, dan keterikatan abstrak dengan individu yang akan melihat gambar logo tersebut. Dalam sebuah gambar logo merek harus mampu memicu persepsi positif. Persepsi positif ini harus berakar pada perasaan, yang pada akhirnya akan menggerakkan tindakan. Kualitas indah dari sebuah gambar logo harus mampu menyentuh emosional terdalam manusia, sehingga tidak hanya tertinggal dalam ingatan, namun menetap hingga relung-relung batin individu. Untuk itu sesuatu yang indah harus menekankan keselarasan dan keharmonisan. Dengan memerhatikan hal ini, maka akan membentuk keutuhan dan kejelasan identitas dari gambar logo tersebut. Sehingga gambar logo tersebut dapat merangsang kesadaran untuk melakukan refleksi hingga menjalin keterikatan antara manusia-subjek dan objek-simbolik. Tiap individu terikat menjadi bagian dari identitas dan nilai keindahan dari gambar logo yang dilihatnya.
Estetika tidak hanya menyentuh indera, tapi memberi makna lebih mendalam. Gambar logo dengan keindahan yang selaras akan memicu persepsi manusia dan membangun kesadarannya tentang produk tertentu. Identitas diri, emosi, dan pemahaman diri akan melekat dengan visual yang ditangkap dalam gambar logo. Banyak orang menggunakan logo Apple, Nike, Toyota, dan merek lainnya, karena terikat dengan desain dalam logo tersebut. Keterikatan disebabkan bukan karena mereka merupakan pembuat gambar logo dan atau bekerja pada perusahaan tersebut, melainkan banyak orang menyadari dan memahami bahwa keselarasan serta keharmonisan dalam logo itu, yang membuat mereka terikat.
Kesadaran akan Keindahan Membentuk Ikatan Loyalitas.
Dalam ilmu manajemen pemasaran, kesadaran merek (brand awareness) merupakan pintu masuk untuk mendapatkan kepercayaan konsumen. Kesadaran yang diperoleh dari warna, garis, atau simbol tertentu dari sebuah mereka, mampu membuat setiap orang menyimpan kesan terhadap merek atau produk tersebut. Kesadaran yang dibentuk berulang-ulang kali, sebagai akibat dari pertemuan terus menerus dengan simbol tertentu, membuat orang memiliki kesan positif, nyaman, dan terikat. Pada akhirnya akan membentuk komitmen dan kesetiaan pada merek atau produk tersebut.
Kesan keindahan yang ditangkap oleh indera, selanjutnya dibuat lebih stabil serta terstruktur menjadi persepsi, menjadi titik awal terbentuknya loyalitas. Manusia pada dasarnya secara emosional menyenangi hal-hal yang akrab, nyaman, dan mudah diterima, hal ini merupakan simpati positif. Keindahan merupakan bagian dari simpati positif yang membuat manusia memiliki kesadaran, menyadari hakikat dirinya dan objek eksternal di luar dirinya. Memahami hakikat objek konkret dan abstrak di luar dirinya, yang juga merupakan bagian dari dirinya sendiri. Pada bagian inilah manusia memahami keindahan sebagai bagian dari dirinya.
Hal di atas akan membentuk keterikatan secara psikologis dan emosional manusia dengan desain gambar logo yang dekat dengan hakikat dirinya. Kesederhanaan, keselarasan, dan keharmonisan merupakan bagian memahami keterikatan dirinya dengan gambar objek tertentu. Individu mulai melihat merek sebagai bagian dari gaya hidup, cerminan nilai-nilai pribadi, bahkan sebagai identitas. Loyalitas bukan lagi sekadar pilihan fungsional, melainkan pilihan emosional. Konsumen dalam membeli produk dari perusahaan tertentu dengan logo yang menarik, tidak hanya membeli ulang, tetapi juga merekomendasikan, membela, dan membentuk komunitas di sekitar merek tersebut.
Proses dari kesadaran ke loyalitas tidak terjadi secara instan. Ia merupakan transisi bertahap dari kognisi ke emosi, dari persepsi ke komitmen. Loyalitas hanya tumbuh jika kesadaran yang dibangun diperkuat oleh pengalaman, makna, dan konsistensi.
Loyalitas konsumen berakar pada kesadaran yang bermakna. Kesadaran bukan hanya tentang dikenal, tetapi tentang dikenang dan dirasakan. Saat desain gambar logo sebuah merek mampu menyentuh kesadaran konsumen dengan pengalaman yang kuat dan nilai yang autentik, loyalitas bukan hanya mungkin terjadi, melainkan ia akan tumbuh secara alami.
Desain yang indah tidak hanya menunjukkan wujud konkret dari sebuah objek, tetapi juga memberikan pemahaman abstrak tentang nilai, identitas, dan hakikat dari objek tersebut. Desain gambar logo sebuah merek tidak hanya memiliki garis, warna, dan bentuk. Namun memiliki hakikat entitas yang mampu menjalin keterhubungan dengan manusia, dan pada akhirnya membentuk kesadaran tentang keselarasan, keharmonisan dan keserasian. Hal inilah yang membentuk keterkaitan kesadaran dengan manusia. Ia memahami dirinya terikat dengan objek di luar dirinya. Untuk itu, individu akan membangun kesetiaan dan komitmen untuk menjaga hubungan dengan gambar logo merek tertentu, sebagai bagian dari menjaga hakikat dirinya. Kesadaran akan keindahan pada akhirnya membentuk manusia menjadi makhluk yang bebas dan bertanggung jawab.
Daftar Pustaka:
- Burke, E. (1757). A philosophical enquiry into the origin of our ideas of the sublime and beautiful. London: R. and J. Dodsley.
- Hume, David (1874). A Treatise of Human Nature. London: Longmans, Green, And Co.
- Kierkegaard, S. (1983). Fear and Trembling/Repetition. ed. and trans. Howard V Hong and Edna H. Hong. New Jersey: Princeton University.
- Locke, J. (1690). An Essay Concerning Human Understanding. London: Thomas Basset.
- Morgan, R. M., & Hunt, S. D. (1994). The Commitment-Trust Theory of Relationship Marketing. Journal of Marketing, 58(3), 20–38.
- Pierce, J. L., Kostova, T., & Dirks, K. T. (2001). Toward a Theory of Psychological Ownership in Organizations. Academy of Management Review, 26(2), 298–310.
- Sartre, J.-P. (1943). Being and Nothingness (H. E. Barnes, Trans., 1956). New York: Philosophical Library.
(Artikel ini ditulis oleh Ricky Arnold Nggili dan telah diterbitkan Agustus 2025 dalam salah satu bab di halaman 100-107, dalam buku "RUANG RASA: Menyelami Seni dan Estetika" oleh Penerbit PT Langgam Pustaka, Tasikmalaya, Jawa Barat. ISBN: 978-634-251-016-2).
Posting Komentar